Homili 13 Desember 2021

Hari Senin, Pekan Adven ke-III
Peringatan Wajib Lusia
Bil. 24:2-7,15-17a;
Mzm. 25:4bc-5ab,6-7c,8-9;
Mat. 21:23-27;

Terangmu bersinar

Kita sedang berada di Hari Senin, Pekan Adven ke-III, sambil mengenang Santa Lusia. Mari kita mengucapkan selamat pesta nama pe;indung kepada semua orang yang menggunakan nama baptis Lusia. Siapakah Santa Lusia? Orang kudus ini dilahirkan pada akhir abad ketiga di Syracuse, pulau Sicilia. Ia lahir di dalam sebuah keluarga bangsawan Kristen yang saleh dan kaya-raya. Ayahnya meninggal ketika Lusia masih kecil. Ia secara diam-diam berjanji kepada Yesus bahwa ia tidak akan pernah menikah agar ia dapat menjadi milik-Nya saja. Namun Ibunya, Eutychia, telah mengatur sebuah pernikahan untuknya. Selama tiga tahun Lucia berhasil menunda rencana pernikahan yang diatur ibunya itu. Untuk mengubah pikiran ibu, Lusia mengajak ibunya yang sedang sakit untuk berdoa memohon kesembuhan di makam Santa Agatha, dan secara ajaib penyakit hemoragik panjang ibunya disembuhkan. Sebagai ungkapan rasa terima kasih atas kesembuhannya, ibunya mengijinkan Lusia memenuhi panggilan hidupnya.

Namun Paschasius, pemuda kepada siapa ibunya pernah menjanjikan Lusia; amat marah karena kehilangan Lusia. Dalam puncak kemarahannya, ia melaporkan Lusia sebagai seorang pengikut Kristus kepada Gubernur Sicilia. Gubernur memerintahkan agar Lusia ditangkap dan dibuang ke tempat pelacuran. Tetapi ketika para penjaga pergi untuk menjemputnya, mereka tidak bisa membawa lucia pergi karena Tuhan menjadikan tubuh wanita suci ini menjadi demikian berat. Bahkan walau mereka sudah mengikat Lusia pada seekor lembu; namun lembu tersebut tetap tidak dapat menyeret Lucia. Gubernur memerintahkan untuk menyiksa dan membunuhnya. Santa lusia kemudian mengalami penyiksaan yang sangat hebat. Ia dianiaya dan kedua matanya dicongkel keluar. Bundel kayu diletakkan dikelilingnya lalu dibakar agar Lusia tersiksa dalam api yang bernyala-nyala. Namun sungguh ajaib; Lusia sama sekali tidak merasa kepanasan dalam perapian itu. Karena itu seorang algojo kemudian menghunus pedangnya lalu menusukkannya ke arah leher perawan suci ini sampai ia meninggal. Lusia menjadi martir bagi Yesus pada tahun 304. Namanya tercantum dalam doa “Nobis quoque peccatoribus” dalam Kanon Misa.

Masa Adventus memanggil kita untuk menjadi martir. Tentu saja bukan untuk menumpahkan darah seperti santa Lusia. Martir berasal dari bahasa Yunan yakni kata μαρτυρ, berarti “saksi” atau “orang yang memberikan kesaksian”. Maka di dalam gereja Katolik, orang dapat memberi kesaksian dengan menumpahkan darahnya karena mencintai Kristus. Orang juga tidak menumpahkan darah tetapi memberi kesaksian hidup melalui karya amal kasih kepada sesama yang sangat membutuhkan, semangat rela berkorban bagi sesama manusia. Ini boleh disebut sebagai martir cinta kasih. Misalnya, Yohanes Pembaptis pernah di tanya oleh orang-orang banyak tentang bagaimana melakukan pertobatan untuk layak menantikan Mesias. Dia menjawab: “Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian.” (Luk 3:11). Sikap empati dengan menolong sesama manusia merupakan sebuah bentuk kemartiran masa kini tentang kasih dan kebaikan Tuhan.

Pada hari ini kita medengar kisah Injil yang menarik. Ketika itu Tuhan Yesus sedang mengajar di dalam Bait Allah. Para imam kepala dan tua-tua Yahudi datang dan mempertanyakan kuasa Yesus. Tuhan Yesus hebat. Dia tidak menjawab pertanyaan para imam dan tua-tua Yahudi ini tetapi memakai pengalaman iman saat itu yakni sekitar baptisan Yohanes untuk mengedukasi mereka. Ia berkata: “Aku juga akan mengajukan satu pertanyaan kepadamu dan jikalau kamu memberi jawabnya kepada-Ku, Aku akan mengatakan juga kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu. Dari manakah baptisan Yohanes? Dari sorga atau dari manusia?” (Mat 21:24-25).

Sangatlah disayangkan karena ternyata kemampuan mereka terbatas. Mereka seakan tak berdaya di hadirat Tuhan. Sebab itu mereka berkata satu sama lain: “Jikalau kita katakan: Dari sorga, Ia akan berkata kepada kita: Kalau begitu, mengapakah kamu tidak percaya kepadanya? Tetapi jikalau kita katakan: Dari manusia, kita takut kepada orang banyak, sebab semua orang menganggap Yohanes ini nabi.” (Mat 21:25-26). Mereka akhirnya tak berdaya dan mengatakan: “Kami tidak tahu.” (Mat 21:27). Tuhan Yesus pun berkata: “Jika demikian, Aku juga tidak mengatakan kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu.” (Mat 21:27).

Seringkali kita serupa dengan para imam dan tua-tua Yahudi yang lebih menuntut orang lain dari pada diri kita. Ada perasaan disaingi oleh orang lain padahal orang itu berbuat baik. Akibatnya adalah iri hati, dendam, pikiran negatif kepada orang lain. Para imam dan tua-tua Yahudi memandang Yesus seperti itu sehingga mereka mempertanyakan kuasa-Nya. Mereka lupa bahwa Yesus memberi kesaksian, kemartiran dengan cinta kasih tanpa batas kepada manusia saat itu. Sikap-sikap para imam dan tua-tua Yahudi selalu ada pada kita, di dalam keluarga, di tempat kerja, dalam kelompok-kelompok kategorial bahkan dengan Tuhan sendiri. Kita selalu ingin lebih dari yang lain, iri hati kalau orang lain lebih hebat atau mereka lebih murah hati dan suka berbuat baik.

Pada pekan Adven ketiga ini, penantian kita semakin menjadi kenyataan. Rasa sukacita karena Mesias semakin dekat. Bileam adalah sosok yang menginspirasi kita pada hari ini untuk menanti kedatangan Tuhan: “Tutur kata Bileam bin Beor, tutur kata orang yang terbuka matanya; tutur kata orang yang mendengar firman Allah, dan yang beroleh pengenalan akan Yang Mahatinggi, yang melihat penglihatan dari Yang Mahakuasa, sambil rebah, namun dengan mata tersingkap. Aku melihat dia, tetapi bukan sekarang; aku memandang dia, tetapi bukan dari dekat; bintang terbit dari Yakub, tongkat kerajaan timbul dari Israel, dan meremukkan pelipis-pelipis Moab, dan menghancurkan semua anak Set.” (Bil 24:15-17)

Hari ini kita memandang santa Lusia dan kemartirannya. Dia telah bercahaya, menerangi kita supaya berbakti kepada Tuhan dan sesama. Cinta kepada Tuhan tanpa batas, demikian juga kepada sesama tanpa hitungan untung dan rugi. Memberi dengan sukacita dan menerima dengan sukacita pula. Itulah tanda empati kita kepada sesame sambil menanti kedatangan Tuhan.

P. John Laba, SDB