Homili 8 Februari 2022

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-V
1Raj. 8:22-23,27-30
Mzm. 84:3,4,5,10,11
Mrk. 7:1-13

Jangan hanya Lip Service saja!

Banyak di antara kita pernah mendengar sendiri atau mengucapkan kata ‘Lip Service’. Kata ‘lip service’ dalam bahasa Inggris bisa berarti layanan bibir. Kata Lip service ini selalu ditujukan kepada pribadi-pribadi tertentu yang hanya berjanji di bibir saja, janjinya itu hanya untuk berpura-pura saja, janji yang tidak jujur. Dari situ ‘lip service’ merupakan sebutan bagi orang-orang yang hanya ramah di mulut saja tetapi di hatinya beda. Dari pengertian sederhana ini, saya merasa yakin bahwa kita semua yang masih memiliki hati nurani tentu merasa malu karena kita juga pernah menjadi pribadi yang melakukan lip service demi popularitas, nama baik, modus untuk bersahabat saja dan lain sebagainya. Orang yang tidak jujur akan mengatakan bahwa dia tidak pernah jatuh ke dalam kebiasaan lip service. Orang-orang yang memiliki habitus lip service adalah orang-orang munafik.

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Injil yang menarik perhatian kita semua. Ketika itu ada orang-orang Farisi dan para ahli Taurat dari Yerusalem menemui serta menegur Yesus karena mereka melihat para murid Yesus makan tanpa membasu tangannya. Ini adalah hal yang najis bagi mereka. Mereka sendiri memiliki kebiasaan membasu tangan setelah kembali dari pasar, mencuci peralatan makan dan minum yakni cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga. Berhadapan dengan situasi ini Yesus mengatakan kepada mereka sebagai pribadi lip service. Lebih jelas Yesus berkata: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” (Mrk 7:6-8). Benar-benar lip service, mereka hanya seola-ola memuliakan Allah padahal hatinya jauh dari Tuhan. Sekali lagi orang lip service adalah orang munafik karena hati dan bibir tidak sinkron.

Tuhan Yesus juga mengungkapkan kelemahan lain dari kaum Farisi dan para ahli Taurat yakni mereka itu sangat pandai mengesampingkan perintah Allah, supaya mereka dapat memelihara adat istiadatnya sendiri. Bahkan firman Allah mereka nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang mereka ikuti itu. Dan banyak hal lain seperti itu yang mereka lakukan. Sikap kaum Farisi dan para ahli Taurat masih ada di dalam Gereja kita. Kita masih menemukan banyak orang yang sangat legalis dan berpikir bahwa mereka jauh lebih sempurna daripada orang lain. Ada kesombongan rohani yang dimiliki kalangan tertentu, mungkin mereka adalah para pengurus Gereja. Pertanyaan sederhanannya adalah apakah para pengurus Gereja ini mengaku dosa? Apakah mereka mengikuti perayaan Ekaristi dengan hati atau hanya supaya dilihat orang saja. Bahaya bagi kita adalah hanya lip service di hadirat Tuhan. Hanya bisa memuliakan Allah denga bibir tetapi tidak dengan hati.

Hidup kristiani bermakna ketika kita berusaha untuk mengimani, mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati bukan dengan setengah hati. Pikirkanlah saat-saat tertentu di dalam hidup ketika kita melayani hanya untuk mencari nama atau popularitas semata. Pikirkanlah saat-saat di mana kita sadar atau tidak sadar menjadi sombong secara rohani. Hal yang lebih penting bukan soal bibir berucap saja, tetapi hati dan pikiran kita yang senantiasa tertuju kepada Allah. Kita tidak hanya bisa melayani saja, tidak hanya berkata-kata atau menata kata tetapi hati dan pikiran kita benar-benar tertuju kepada Tuhan.

Apa yang harus kita lakukan?

Supaya kita tidak jatuh ke dalam kebiasaan lip service kita perlu berdoa dengan penuh rasa syukur. Bacaan pertama menghadirkan sosok Salomo yang berdoa kepada Tuhan dengan penuh rasa syukur di dalam rumah Tuhan. Dengan tangan terangkat ke langit di depan Mezbah, Salomo berdoa: “Ya Tuhan, Allah Israel! Tidak ada Allah seperti Engkau di langit di atas dan di bumi di bawah; Engkau yang memelihara perjanjian dan kasih setia kepada hamba-hamba-Mu yang dengan segenap hatinya hidup di hadapan-Mu.” (1Raj 8:23). Tentu saja doa semacam ini bukan bualan semata atau sekedar lip service seorang pemimpin. Ini benar-benar doa syukur kepada Tuhan, dari dalam hati raja Salomo.

Salomo melanjutkan doanya: “Kiranya mata-Mu terbuka terhadap rumah ini, siang dan malam, terhadap tempat yang Kaukatakan: nama-Ku akan tinggal di sana; dengarkanlah doa yang hamba-Mu panjatkan di tempat ini. Dan dengarkanlah permohonan hamba-Mu dan umat-Mu Israel yang mereka panjatkan di tempat ini; bahwa Engkau juga yang mendengarnya di tempat kediaman-Mu di sorga; dan apabila Engkau mendengarnya, maka Engkau akan mengampuni.” (1Raj 8:29-30). Satu perkataan yang menarik dari doa Salomo adalah mengutip perkataan Tuhan bahwa ‘nama-Ku akan tinggal di sana’. Ya nama Tuhan itu mulia, kudus dan tetap tinggal selamanya di dalam rumah Tuhan.

Marilah kita pikirkan kebiasaan lips service yang mungkin kita selalu melakukannya di dalam Gereja saat beribadat atau dalam doa bersama di kelompok kategorial. Kita selalu berpikir bahwa dengan menggunakan Bahasa yang indah dan doa yang panjang itu akan sangat berkenan di mata dan hati Tuhan. Sebelum membuka mulut kita, Tuhan sudah mengetahui permohonan kita. Sebab itu janganlah berpikir bahwa doa dengan Bahasa yang indah, tata bahasanya benar dan panjang itu lebih bermakna. Mungkin itu benar-benar menjadi lip service juga. Maka hari ini mari kita mengubah doa-doa kita, benar-benar berasal dari dalam hati kita yang tulus dan murni.

P. John Laba, SDB