Hari Rabu, Pekan Biasa ke-V
1Raj. 10:1-10
Mzm. 37:5-6,30-31,39-40
Mrk. 7:14-23
Ish, masih banyak najisnya!
Saya pernah mendengar celetukan seorang anak remaja ketika mendengar salah seorang sahabatnya mengeluarkan kata cacian yang hanya bisa diucapkan oleh orang-orang dewasa. Ia berkata, “Ish, najis juga kamu ya?” Temannya kelihatan hanya tersenyum karena memang sudah terbiasa mengucapkan kata-kata demikian. Dari mana anak remaja itu mendengar kata cacian yang kasar ini? Ternyata dari orag tuanya yang terbiasa menggunakan kata cacian yang kasar itu. Benar-benar najis! Orang tua harus dapat sadar diri dan mengoreksi diri ketika mengajarkan sesuatu yang najis atau kotor kepada anak-anaknya. Itu dosa yang dapat mengubah kiblat karakter manusia muda.
Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Injil yang menarik perhatian kita semua. Tuhan Yesus sangat tanggap dengan orang-orang pada zamannya, terutama para ahli Taurat dan kaum Farisi. Yesus memanggil orang banyak dan mengedukasi mereka. Ia berkata: “Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah. Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya.” (Mrk 7:14-15). Kaum legalis hanya mengingat soal makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh. Mereka lupa bahwa justru yang keluar dari dalam hatinya itu yang menajiskan mereka. berkaitan dengan hal ini, Yesus mengatakan: “Sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan.” (Mrk 7:21-22).Semua hal yang menajiskan, semua dosa yang disebutkan di sini merupakan hal-hal yang keluar dari dalam hati dan pikiran manusia. Sebab itu Yesus dengan tegas mengatakan: “Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.” (Mrk 7:23).
Mari kita merenungkan hidup kita sendiri. Banyak kali kita berpikiran seperti kaum Farisi dan para ahli Taurat yang hanya melihat orang dari luarnya saja. Berapa kali kita hanya menilai sesama kita dengan mata semata tanpa hati nurani dan akal sehat. Berapa kali kita menjadikan diri kita sebagai pembanding untuk mempersalahkan orang lain, padahal belum tentu kita adalah orang baik. Banyak kali kita bersifat legalis, dengan berhenti pada observasi akan berbagai hal tanpa memperhitungkan aspek lain yakni cinta kasih, keadilan dan kebajikan-kebajikan lainnya. Tentu saja banyak kali kita menajiskan diri sendiri dengan memgeluarkan kata-kata kotor, menceritakan hal-hal yang menjerumuskan orang lain untuk jatuh ke dalam dosa. Lihatlah bapa-bapa, ibu-ibu, atau anak-anak remaja dan kaum muda ketika berkumpul bersama. Kadang obrolan mereka juga mengarah kepada hal-hal yang najis, dosa. Semua hal jahat yang keluar dari dalam itulah yang menajiskan orang!
Apa yang harus kita lakukan?
Kita harus menjadi bijaksana di dalam hidup. Raja Salomo dikenal sebagai seorang bijaksana. Ratu negeri Syeba datang jauh-jauh dari negerinya dengan berbagai persembahan, hanya untuk mengetahui apakah Salomo benar-benar bijaksana atau tidak. Kepadanya diberikan segala pertanyaan dan Salomo menjawabnya. Dikatakan: “Salomo menjawab segala pertanyaan ratu itu; bagi raja tidak ada yang tersembunyi, yang tidak dapat dijawabnya untuk ratu itu.” (1Raj 10:3). Ratu Syeba tidak hanya melihat aspek kognitif raja Salomo saja. Dia juga melihat rumah yang didirikan Salomo, perjamuan yang disediakan, tata krama para pegawai dan pelayang, persembahan kepada Tuhan yang membuat sang Ratu itu semakin mengakui kebijaksanaan Raja Salomo dan kuasa Tuhan Allah Israel. Pujian kepada Tuhan Allah Israel terungkap dalam perkataan ini: “Terpujilah Tuhan, Allahmu, yang telah berkenan kepadamu sedemikian, hingga Ia mendudukkan engkau di atas takhta kerajaan Israel! Karena Tuhan mengasihi orang Israel untuk selama-lamanya, maka Ia telah mengangkat engkau menjadi raja untuk melakukan keadilan dan kebenaran.” (1Raj 10:9).
Mari kita mengganti kata najis dengan kata bijaksana. Orang yang mengandalkan Tuhan dan tinggal di hadirat-Nya akan hidup dalam kebijaksanaan Allah. Orang bijak itu menghormati dan menghargai kehidupan sesamanya, menerima semua orang apa adanya buka ada apanya. Kaum najis hanya akan melihat hal-hal lahiria semata dan siap untuk berpikiran negative kepada sesama manusia. Hari ini kita berada dalam dua pilihan, apakah mau memilih kenajisan yang menggiurkan atau kebijaksanaan yang menyelamatkan. Silakan memilih di hadirat Tuhan.
P. John Laba, SDB