Homili 15 September 2022 – Bunda Maria berdukacita

Kamis Peringatan Wajib Santa Perawan Maria Berdukacita
Ibr. 5: 7-9
Mzm 31:2-3a,3b-4,5-6,15-16, 20
Yoh. 19:25-27

Kemartiran Bunda Maria

Hari ini kita mengenang Bunda Maria Berdukacita (Maria Addolorata). Perayaan ini dirayakan sehari setelah kita merayakan Pesta Salib Suci. Tentu saja kita semua mengingat perkataan ini: ‘Ad Iesum per Mariam” artinya melalui Bunda Maria kita sampai pada Yesus. Kita menjadi akrab dan bersahabat dengan Yesus karena kita mengenal dan memiliki kedekatan hati dengan Bunda Maria, ibunda Yesus. Mengapa demikian? Karena Maria adalah satu-satunya manusia yang paling dekat dengan Yesus Kristus. Dialah yang mewujudnyatakan peristiwa inkarnasi di dalam dirinya: Sabda yang menjadi manusia. Dialah yang memiliki rahim di mana Sang Sabda menjadi manusia tinggal, bersemayam hingga kelahiran-Nya di Bethlehem. Maria benar-benar sosok yang patut kita kagumi dan kita ikuti semangat dan keteladanan hidupnya.

Apa yang menjadi dukacita atau kemartiran dari Bunda Maria? Mari kita mengingat perkataan St. Antonius berikut ini: “Sementara para martir lain menderita dengan mengurbankan nyawa mereka sendiri, Santa Perawan menderita dengan mengurbankan nyawa Putranya, nyawa yang dikasihinya jauh melampaui nyawanya sendiri. Maka Maria tidak saja menderita dalam jiwanya, semua yang diderita Putranya di Tubuh-Nya, tetapi lebih dari itu, Maria menyaksikan derita dan sengsara Putranya mendatangkan dukacita yang lebih dahsyat di hatinya daripada jika ia sendiri yang harus menderita segala sengsara itu di tubuhnya.” Perkataan ini semakin menegaskan bahwa tidak seorang pun dapat meragukan bahwa Bunda Maria menderita dalam hatinya segala kekejian yang ia saksikan menimpa Putranya yang terkasih. Berkaitan dengan dukacita dan kemartiran Bunda Maria, Santo Alfonsus Maria de Liguori mengajarkan bahwa ada tujuh dukacita Santa Perawan Maria yakni Nubuat Santo Simeon, Yesus Dilarikan ke Mesir, Hilangnya Yesus di Bait Allah, Perjumpaan Bunda Maria dengan Yesus saat Ia menjalani hukuman mati, wafat Yesus, lambung Yesus ditikam, Yesus diturunkan dari Salib dan Yesus dikuburkan. Semua dukacita yang Maria alami adalah bagian dari dukacita Yesus Kristus Puteranya sendiri. Seorang ibu yang menyaksikan kemartiran Anaknya laki-laki, satu-satunya.

Saya teringat pada Santo Efrem. Dia pernah berdoa begini: “Melalui engkau bunda terkudus, semua kemuliaan dan kehormatan dan janji suci bagi umat manusia, dari Adam sampai akhir abad telah diberikan, sedang diberikan, dan akan diberikan kepada para rasul, para nabi, para martir dan semua hati yang adil dan sederhana.” Segala kemuliaan dan hormat kepada Maria Bunda Yesus yang menderita sebagai ibu. Maria memberi segala-galanya kepada Tuhan dan kepada kita. Dia memberi rahimnya yang kudus bagi Yesus. Dia memberi waktunya bagi Yesus sejak saat inkarnasi, menemani Yesus sepanjang hidup-Nya hingga paskah-Nya. Dia menjadi ibu Gereja sejak saat gereja lahir di hari Raya Pentekosta sampai saat ini. Dialah yang selalu kita sapa sambil memintanya: “Santa Maria, Bunda Allah. Doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati, amen.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini memfokuskan perhatian kepada kemartiran Bunda Maria. Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa Maria menemani seluruh hidup Yesus, Puteranya. Di bawah kaki salib, Maria ada di sana. Ini adalah saat paling penting karena Yesus menyerahkan Gereja yang diwakili oleh Yohanes kepada Bunda Maria dan Bunda Maria kepada Gereja yang diwakili Yohanes. Inilah momen yang membuka pikiran kita untuk menyapa Maria sebagai ibu. Perhatikan perkataan Yesus ini: “Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: “Ibu, inilah, anakmu!” Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: “Inilah ibumu!” Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.” (Yoh 19:26-27). Hal yang menarik perhatian di sini adalah saling menerima satu sama lain adalah saat yang indah. Maria menjadi ibu, Yohanes menjadi anaknya.

Penulis surat kepada umat Ibrani menegaskan: “Dan sekalipun Ia (Yesus) adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya.” (Ibr 5:8-9). Ketaatan Yesus kepada Bapa adalah ketaatan kita semua. Bunda Maria taat kepada kehendak Allah dan dia melakukannya dengan sempurna. Yesus sang Anak Allah juga menjadi pribadi yang taat kepada Bapa di Surga. Ketaatan Bunda Maria untuk menjadi ibunda Yesus haruslah menjadi ketaatan kita. Kita berani berkata seperti Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38). Dengan hati sebagai hamba, apapun yang Tuhan tuntut dari hidup kita patutlah kita lakukan dengan sempurna.

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip santo Josemaria Escriva yang mengatakan: “Tidak ada bahaya melebih-lebihkan. Kita tidak pernah berharap untuk memahami misteri yang tak terungkapkan ini dan kita tidak akan pernah bisa memberikan rasa terima kasih yang cukup kepada Bunda kita yang telah membawa kita ke dalam keintiman yang begitu erat dengan Tritunggal Mahakudus.” Bunda Maria menyatukan kita dengan Allah Tritunggal Mahakudus. Ini sebuah kemartiran besar dari Bunda Maria bagi kita.

Mari kita mendoakan doa kepada Bunda Maria berduka cita oleh santo Bonaventura: “Ya Santa Perawan yang Berduka, persatukanlah aku setidak-tidaknya dengan penghinaan dan luka-luka Putramu, sehingga baik Dia maupun engkau mendapati penghiburan dengan memiliki seseorang yang berbagi penderitaan denganmu. Oh, alangkah bahagianya aku andai aku dapat melakukannya! Sebab, mungkinkah ada sesuatu yang lebih agung, lebih manis, ataupun lebih berguna bagi seorang daripada itu? Mengapakah engkau tak hendak meluluskan apa yang aku minta? Apabila aku menghina engkau, bersikaplah adil dan tembusilah hatiku. Apabila aku setia kepadamu, sudi janganlah tinggalkan aku tanpa ganjaran: berilah aku dukacitamu. Amin.”

P. John Laba, SDB