Homili Hari Minggu Biasa ke-XXV/C – 2022

Hari Minggu Biasa XXV/C
Am. 8:4-7
Mzm. 113:1-2,4-6,7-8
1Tim. 2:1-8
Luk. 16:1-13

Butuh Kecerdikan Ilahi

Beberapa hari terakhir ini media-media cetak dan elektronik juga media sosial sedang membahas berita viral tentang ‘gunting pita’. Konon berawal dari pertemuan nasional sebuah partai dan dalam pertemuan itu ada sambutan dari pimpinan partai yang menyindir seseorang dengan perkataan ‘hanya gunting pita’ tanpa mengapresiasi pemimpin sebelumnya. Biasanya orang memiliki kebiasaan membanding-bandingkan sesuatu atau seseorang untuk membenarkan diri berdasarkan keberhasilannya. Entahlah keberhasilannya besar atau kecil itu urusan kedua yang penting ada alat pembandingnya. Kita jadi teringat perkataan ini ‘Piye iseh enak jamanku to?’ yang juga membuat kita mengenang pemimpin masa lalu. Terlepas dari perkataan-perkataan yang memicu perdebatan dalam masyarakat, yang namanya jejak digital itu tidak akan membohongi semua orang. Jejak digital menelanjangi semua orang dan mempermalukan atau membanggakan orang. Misalnya soal kenaikan harga bahan bakar minyak dan pengaruhnya terhadap kenaikan harga barang. Semua jejak digital terbongkar dengan sendirinya dan membuat ‘perang tanding’ di dunia maya. Selain itu telah terjadi perubahan zaman, tingkat kebutuhan juga berbeda-beda. Sebelumnya tak ada pandemi, tak ada perang anar negara maka situasi global pun berbeda satu sama lain.

Situasi ekonomi atau lebih cocok kalau kita berbicara tentang uang memang sangat sensitif. Sejak zaman dahulu ketika ada kenaikan bahan bakar minyak maka selalu ada keluhan yang muncul yakni harga-harga barang dan jasa naik namun orang tetap harus membeli dan membayar. Orang mengeluh harga sembako naik, tarif transportasi naik dan lain sebagainya namun orang tetap berjuang untuk hidup. Namun persoalan-persoalan yang tetap ada sepanjang zaman adalah permainan harga, perampasan hak-hak kaum miskin dan tindakan tidak manusiawi dari manusia yang satu dengan manusia yang lain. Situasi kita saat ini bukanlah hal yang baru. Di dalam Kitab Perjanjian Lama, kita dapat menemukan bukti-bukti yang nyata. Sebut saja pengalaman yang dibagikan oleh nabi Amos di dalam Kitabnya. Nama Amos berarti ‘beban’. Ia menjadi nabi pada abad ke-VIII SM di Israel. Ia berkarya pada masa pemerintahan raja Uzia, dari Kerajaan Selatan dan dalam zaman Yerobeam II, anak Yoas, Kerajaan Utara.

Apa yang sebenarnya terjadi pada zaman nabi Amos? Amos hidup pada zaman yang tidak jauh berbeda situasinya dengan kita saat ini. Ia menjumpai banyak ketidakadilan sosial yang marak dalam masyarakat; perdagangan internasional yang luas yang hanya menguntungkan para penguasa; ada praktik-praktik bisnis yang penuh tipuan terhadap orang miskin dan tak berdaya dan perampasan tanah milik orang yang miskin. Kita membaca kutipan ini: “Bilakah bulan baru berlalu, supaya kita boleh menjual gandum dan bilakah hari Sabat berlalu, supaya kita boleh menawarkan terigu dengan mengecilkan efa, membesarkan syikal, berbuat curang dengan neraca palsu, supaya kita membeli orang lemah karena uang dan orang yang miskin karena sepasang kasut; dan menjual terigu rosokan?” (Amos 8: 5-6). Dalam hal hidup beriman Amos mengamati bahwa upacara-upacara keagamaan terus dipelihara namun pada saat yang sama ada sifat kefasikan. Mengapa? Karena ada persembahan yang mahal itu berasal dari keringat kaum miskin. Situasi ini membuat Amos memberontak dan membuat kritik sosial yang tajam terhadap penguasa saat itu.

Kritik nabi Amos masih berlaku saat ini. Kita masih melihat banyak orang miskin yang semakin miskin karena dibodohi, ada sistem ijon, para tengkulak yang mempermainkan harga. Orang boleh mencari keuntungan tetapi tidak harus memeras. Harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Maka orang boleh mengingat perkataan: ‘Piye iseh enak jamanku to?’ tetapi kritik sosial tetap perlu dan harus karena masih ada kecurangan dan ketimpangan dalam masyarakat. Kita perlu mengingat Pujian Raja Daud di dalam Mzm 131: “Pujian kepada nama Tuhan. Tuhan Yang Mahatinggi menegakkan orang yang hina dan dalam debu mengangkat orang yang miskin dari lumpur untuk menundukkan bersama para bangsawan.”

Berbagai kecurangan di dalam masyarakat tidak terlepas dari kecerdikan manusiawi yang dilakukan untuk menjaga diri padahal sebenarnya merugikan orang lain. Kita mendengar kisah bendahara yang cerdik namun tidak jujur di dalam bacaan Injil. Bendahara yang tidak jujur ini telah menghamburkan harta milik tuannya sehingga ia dipecat. Dia lalu diminta untuk mempertanggungjawabkan tugasnya kemudian dipecat dari penugasannya ini. Namun kecerdikannya ditunjukkan sebelum dipecat. Ia dengan licik dengan mempermainkan surat utang kepada mereka yang sedang berutang pada tuannya. Ia membangun relasi di atas kecurangan dengan mengurangi surat utang bagi mereka yang berutang kepada tuannya: 100 menjadi 50 tempayan minyak. Seratus pikul gandum menjadi 80 pikul gandum.

Lalu apa yang terjadi?

Dalam kisah Injil ini Tuhan Yesus memuji bendahara yang tidak jujur karena kecerdikannya untuk membangun persahabatan dengan mereka yang berutang kepada tuannya. Tuhan Yesus: “Ikatlah persahabatan dengan menggunakan Mamon yang tidak jujur,supaya jika Mamon tidak dapat menolong lagi kamu diterima di dalam kemah abadi.” Tentu saja Tuhan Yesus tidak membenarkan kecurangan atau ketidakjujuran bendahara ini. Tuhan Yesus justru mau mengatakan bahwa ketika kita hidup sebagai anak-anak Tuhan, dalam situasi yang sulit sekalipun, kita perlu cerdik secara ilahi untuk mencari jalan menunju keselamatan. Kita selalu berhadapan dengan ‘pintu yang sempit’ maka berusaha untuk melewatinya supaya selamat. Pintu yang luas atau lebar hanyalah sebuah teriakan tentang ‘menggunting pita saja’. Maka sikap yang patut kita miliki adalah semangat sebagai abdi. Seorang abdi harus setia dalam perkara yang kecil sehingga dapat setia kepada perkara yang besar. Seorang abdi tidak dapat mengabdi kepada dua tuan! Kita tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dan kepada Mamon.

Apa yang harus kita lakukan?

Pada pekan keduapuluh lima ini, Tuhan menyapa dan mengajak kita untuk memiliki ‘hati sebagai hamba’ dengan prinsip: “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” (Luk 17:10). Kita mengingat semboyan Paus Gregorius Agung: ‘Servus Servorum Dei’ atau hamba dari segala hamba. Kita perlu hidup jujur di hadirat Tuhan. Mari kita menjadi cerdik dengan menghilangkan prinsip uanglah berkuasa! Santo Paulus dalam bacaan kedua mengajak kita untuk berdoa bagi para pemimpin yang dipercayakan untuk mengabdi dan mengusahakan kesejahteraan manusia. Kita boleh memberi kritikan dan koreksi yang membangun bukan mencela atau menjatuhkan para pemerintah kita. Jejak digital masing-masing kita tetap akan menelanjangi kita ketika kita tidak bijak atau menjadi tidak cerdik secara ilahi di hadirat Tuhan.

P. John Laba, SDB