Homili 30 Juni 2023

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XIIA
Para Martir Pertama di Roma
Kej. 17:1,9-10,15-22
Mzm. 128:1-2,3,4-5
Mat. 8:1-4

Kesetiaan Tuhan tidak berkesudahan

Pada hari ini kita mengenang para martir pertama di Roma. Ini adalah sebuah perayaan liturgi setelah kemarin kita merayakan dengan meriah dua sosok Rasul besar di dalam Gereja yakni santo Petrus dan Santo Paulus. Saya mengingat Santo Klemens I. Beliau adalah Paus dan Martir di Roma. Ia pernah menulis sebuah surat peneguhan kepada jemaat di Korintus sekaligus sebuah kesaksian tentang pengurbanan para martir perdana di Roma. Ia menulis: “Marilah kita tinggalkan teladan-teladan dari masa lampau, dan datanglah kepada mereka yang berjuang paling dekat dengan kita; marilah kita perhatikan teladan-teladan mulia dari generasi kita sendiri. Melalui kecemburuan dan iri hati, pilar-pilar Gereja yang terbesar dan paling teguh telah dianiaya dan berjuang sampai mati. Marilah kita tampilkan di depan mata kita para rasul yang baik. Pertama-tama, Petrus, yang karena kecemburuan yang tidak beralasan, menderita bukan hanya sekali atau dua kali tetapi berkali-kali, dan setelah memberikan kesaksiannya, pergi ke tempat kemuliaan yang layak baginya. Melalui kecemburuan dan konflik, Paulus menunjukkan jalan menuju hadiah untuk ketekunan. Dia dibelenggu tujuh kali, dibuang ke pengasingan, dan dilempari dengan batu; seorang pemberita baik di timur maupun di barat, dia mencapai kemasyhuran karena imannya. Dia mengajarkan keadilan kepada seluruh dunia dan, ketika dia telah mencapai batas-batas dunia barat, dia memberikan kesaksiannya di hadapan para penguasa; kemudian dia meninggalkan dunia ini dan terangkat ke tempat kudus, sebuah teladan yang luar biasa dalam hal ketekunan.” Singkatnya, para martir adalah korban kecemburuan para penguasa saat itu, namum mereka tetap memberi teladan yang baik.

Pada akhirnya santo Klemens juga mengatakan kepada jemaat di Korintus: “Kami menulis ini, bukan hanya untuk mengingatkan Anda sekalian, tetapi juga sebagai pengingat bagi diri kita sendiri; karena kita ditempatkan di arena yang sama, dan kontes yang sama ada di hadapan kita. Oleh karena itu, kita harus mengesampingkan kekhawatiran yang sia-sia dan tidak berguna dan langsung menuju kepada norma yang mulia dan terhormat yang merupakan tradisi kita, dan kita harus mempertimbangkan apa yang baik, berkenan dan berkenan kepada Dia yang telah menciptakan kita. Marilah kita mengarahkan pandangan kita kepada darah Kristus, menyadari betapa berharganya darah itu bagi Bapa-Nya, karena darah itu dicurahkan untuk keselamatan kita dan membawa anugerah pertobatan kepada seluruh dunia.”

Sambil merenung tentang sosok para martir pertama di Roma, pada hari ini juga Tuhan menyapa kita sebagai sosok yang setia. Kesetiaan Tuhan kepada manusia yang Lemah Miskin Tersingkir dan Difabel (KLMTD). Mari kita perhatikan dalam bacaan pertama. Tuhan menunjukkan kesetiaan-Nya kepada Abram. Abram dan Tuhan Allah adalah sahabat yang baik yang selalu berbicara apa adanya. Abram berkeluh kesa kepada Tuhan karena ia belum memiliki keturunan dan Tuhan hadir untuk memberikan peneguhan dengan janji kepadanya. Tuhan mengingatkan Abram bahwa keturunan atau darah dagingnyalah yang akan menjadi ahliwarisnya bukan Eliezer. Pada hari ini kita mendnegar Tuhan mengikat perjanjian dengan Abraham. Perjanjian pertama, “Perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat” (Kej 17:10). Perjanjian kedua, “Tentang isterimu Sarai, janganlah engkau menyebut dia lagi Sarai, tetapi Sara, itulah namanya. Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya.” (Kej 17:15-16).

Abraham mendengar, menyimak dan mengimani perkataan Tuhan dan perjanjian-Nya ini. Ia sendiri sebenarnya masih ragu dan tertawa. Kita mendengar: “Tertunduklah Abraham dan tertawa serta berkata dalam hatinya: “Mungkinkah bagi seorang yang berumur seratus tahun dilahirkan seorang anak dan mungkinkah Sara, yang telah berumur sembilan puluh tahun itu melahirkan seorang anak?” (Kej 17:17). Dan lebih jelas lagi Tuhan berkata: “Perjanjian-Ku akan Kuadakan dengan Ishak, yang akan dilahirkan Sara bagimu tahun yang akan datang pada waktu seperti ini juga.” (Kej 17:21). Kisah Abraham dan Sara dalam bacaan pertama menunjukkan sosok Allah yang luar biasa. Allah yang besar kasih setia dan memenuhi janji-Nya kepada manusia. Abraham dan Sara sudah mengalami bukti kasih Tuhan dengan kelahiran Ishak di usia senja mereka. Hal yang paling penting adalah iman kepada Allah yang Mahabaik.

Dalam bacaan Injil kita mendengar Tuhan Yesus menunjukkan kasih setia-Nya kepada orang yang berdoa dan berharap kepada-Nya. Setelah mengajar Sabda Bahagia, Dia turun gunung dan diikuti begitu banyak orang. Orang kusta yang saat itu sebenarnya dikucilkan tidak malu-malu memohon kesembuhan. Tuhan Yesus menunjukkan kasih setia dengan mengulurkan tangan dan menyembuhkan-Nya. Ia berkata: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” (Mat 8:3). Tuhan Yesus juga mengingatkannya: “Ingatlah, jangan engkau memberitahukan hal ini kepada siapapun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah persembahan yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka.” (Mat 8:4).

Tuhan menunjukkan kasih setia-Nya kepada orang yang berdoa dan berharap kepada-Nya. Abraham dan Sara dalam bacaan pertama, Orang kusta tanpa nama dalam bacaan Injil adalah orang-orang yang menderita dan satu-satunya harapan mereka adalah Tuhan. Hal yang sama dialami oleh para martir yang begitu mencintai dan berharap kepada Tuhan. Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih berharap dan berdoa seraya memohon kasih kesetiaan kepada Tuhan atau lebih mengandalkan kemampuan diri kita sendiri? Para martir pertama di Roma, doakanlah kami. Amen.

P. John Laba, SDB