Homili 17 Juni 2024

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XI
1Raj 21:1-16
Mzm 5:2-3.5-6.7
Mat 5:38-42

Akibat Harta dan Hati

Harta dan hati tidak pernah terpisah dalam hidup manusia. Dapatlah dikatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui apakah dia kaya atau miskin dengan melihat buku tabungannya. Buku tabungan belumlah menjadi cermin kebahagiaan hati seseorang. Haruslah diingat bahwa hatilah yang membuat seseorang menjadi kaya. Orang itu menjadi kaya dalam dirinya apa adanya, bukan menurut apa yang dia miliki. Bukan dia yang memiliki banyak yang kaya raya, tetapi dia yang memberi banyak itulaj yang kaya. Orang yang memberi dari kekurangan jauh lebih kaya. Artinya bahwa kita menjadi kaya hanya karena apa yang kita berikan, dan menjadi miskin hanya karena apa yang kita tolak dalam hidup kita. Kekayaan adalah milik orang yang menikmatinya dan bukan milik orang yang menyimpannya. Bukan orang yang memiliki terlalu sedikit, tetapi orang yang selalu menginginkan lebih, yang miskin. Semua ini adalah gambaran diri dan hidup manusia di hadirat Tuhan dan sesame manusia.

Tuhan Yesus mengenal hati setiap pribadi. Dia mengetahui hati setiap orang. Raja Daud pernah berdoa: “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku” (Mzm 139:29). Tuhan memangg sungguh mengenal hati sebagai totalitas kehidupan kita di hadirat-Nya. Hati menjadi bersemayamnya cinta, benci dan harta. Tuhan Yesus sendiri memberi pesan yang sangat bermakna: “Karena di tempat hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” (Mat 6:21). Harta dan hati atau hati dan harta selalu menyatu. Kita mengalami fenomena di dunia masa kini yang penuh dengan dosa korupsi, kolusi dan nepotisme. Orang sdah memiliki hati Nurani yang tumpul karena tidak ada perasaan malu dan bersalah ketika sangat terikat pada harta sampai melakukan korupsi. Ada orang yang juga terang-terangan mengatakan bahwa hanya korupsi sedikit saja, meskipun lama kelamaan menjadi banyak.

Pada hari ini kita mendengar kisah yang selalu actual sepankang zaman dalam Kitab Pertama Raja-Raja. Kisah tentang Ahab seorang raja dari Samaria yang menginginkah kebun anggur milik Nabot orang Yizreel. Ahab menginginkah tanah milik Nabot yang letaknya sabgat berdekatan dengan kebun milik raja Ahab. Tanah itu milik pusaka leluhur nabot. Maka tentu saja permintaan raja Ahab ditolah mentah-mentah oleh Nabot sehingga membuat Ahab menjadi stress. Ia tidur tertelungkup dan tidak mau makan. Istrinnya Bernama Izebel juga berniat jahat dan sama-sama gila harta sehingga Menyusun rencana jahat. Nyawa Nabot pun melayang dan kebun pusaka leluhunya menjadi milik raja Ahab. Lihatlah kejahatan suami dan istri raja di hadapan Tuhan.

Pengalaman keluarga Nabot masih ada saat ini. Banyak saudari dan saudara kita yang mengalami penyerobotan tanah hingga nyawa pemilik tanahnya melayang begitu saja. Orang benar-benar gila harta dan melakukan kejahatan yang bagi mereka menjadi hal biasa saja. Fenomena pemalsuan dokumen harta warisan di mana-mana bisa kita dengar atau mengalaminya sendiri. Masalah-masalah ini dapat terjadi di dalam rumah atau keluarga sendiri. Betapa hilangnya rasa kemanusiaan sebagai saudara dan sesame manusia.

Apa yang harus kita lakukan?

Tuhan Yesus di dalam Injil mengingatkan kita tentang pentingnya kasih dan pengampunan dalam hidup kita. Tidak ada saling membalas dendam ibarat mata ganti mata atau gigi ganti gigi sebagaimana dipraktekkan dalam dunia lama. Tuhan Yesus menghendaki ada kasih dan pengampunan tanpa batas. Ia berkata: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” (Mat 5:39).

Tuhan Yesus mewariskan harta yang sangat bernilai yakni kasih dan pengampunan. Ada orang mungkin tukang adu domba, mereka yang suka memaksa sesamanya maka hal yang terpenting adalah kemampuan mengasihi dan berbuat baik. Dalam hal ini maka kita akan menempatlan Tuhan menjadi segala-galanya. Hati kita akan tertuju kepada Tuhan bukan kepada harta yang fana di dunua ini. Apakah hati kita berfokus pada Tuhan atau pada harta dunia yang faana ini? Mari kita merenung dan memperbaiki diri.

P. John Laba, SDB