Mari Bereksodus
Satu kata yang menjadi permenungan saya pada hari ini adalah kata bereksodus atau berhijrah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata eksodus berarti usaha untuk meninggalkan tempat asal (kampung halaman, kota, negeri) oleh penduduk secara besar-besaran. Secara etimologis, kata exodus sendiri berasal dari bahasa Latin Exodus yang tentu saja berhubungan dengan nama Kitab Keluaran, dan sebenarnya dari Bahasa Yunani yakni Exodus yang berarti “jalan atau perjalanan keluar,” dari ex- “keluar” dan hodos “jalan”. Kata eksodus memiliki makna yang sama dengan kata Hijrah. Kata ini memiliki dua makna. Pertama, secara zhahiriy, hijrah berarti perpindahan manusia dari suatu tempat menuju ke tempat yang lebih baik. Kedua secara ma’nawiy, kata hijrah berarti perubahan dari satu kondisi kepada kondisi yang lebih baik. Maka kata eksodus dan hijrah sama-sama mengandaikan sebuah gerakan, perpindahan, transformasi menuju kepada kebaikan sebagai manusia.
Mari kita memandang Tuhan Yesus. Dia selalu bereksodus dengan berkeliling sambil berbuat baik (Kis 10:38). Yesus melakukan eksosud-Nya yang pertama kali ketika Dia berinkarnasi. Dia adalah Sabda yang menjadi Daging dan Tinggal di antara kita (Yoh 1:14). Dia adalah Imanuel, Allah beserta kita. Keluarga kudus berkesodus dari Bethlehem ke Mesir dan akhirnya kembali ke Nazaret sehingga disapa Yesus dari Nazaret. Yesus sempat bereksodus dari Nazaret ke Sungai Yordan untuk dibaptis, dari Sungai Yordan ke padang gurun dan dicobai iblis dan dimenangkan-Nya. Dari padang gurun, Ia bereksodus ke Galilea, sempat ke Nazaret untuk menyampaikan visi dan misi-Nya (Luk 4: 18-19) yang sebenarnya beradasar pada Kitab Nabi Yesaya bab 61:1-2 dan bab 58:6. Sepanjang hidup-Nya Yesus bereksodus hingga kembali kepada Bapa di Surga.
Hidup kita haruslah selalu bereksodus, menjadi baru setiap hari. Kita tidak dapat berpuas diri dan berhenti di tempat. Kita perlu keluar dari diri kita sendiri untuk menyapa sesama di sekitar kita. Mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel (KLMTD). Kita tidak hanya menyapa, tetapi berani menunduk untuk mengangkat sesama dari lumpur yang mengotori kehidupan mereka. Yohanes dalam suratnya mengingatkan kita supaya terus mengasihi Allah sebab Allah lebih dahulu mengasihi kita. Kita perlu bereksodus, keluar dari diri kita sendiri untuk dapat mengasihi Allah. Yohanes juga mengingatkan kita bahwa kalau kita mengatakan kita mengasihi Allah berarti kita juga harus mengasihi sesama yang kelihatan. Ketika kita membenci sesama maka kita tidak lebih dari seorang pendusta atau penyebar hoax.
Eksodus adalah sebuah pengalaman kasih. Kita mengasihi Allah di dalam diri Yesus Kristus dan kita juga mengasihi sesama kita yang kelihatan di depan mata kita. Selain mengasihi, kita bereksodus untuk semakin percaya kepada Tuhan bukan hanya percaya pada diri kita sendiri atau percaya saja kepada sesama manusia. Ketika kita percaya kepada Allah maka kita sungguh lahir dari Allah dan menjadi anak Allah. Tugas kita sebagai Anak Allah adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah di dalam hidup kita. Pekerjaan Allah adalah mengasihi, mengasihi dan mengasihi karena Allah adalah kasih (1Yoh 4:8.16).
Lalu?
Mari kita bereksodus. Kita keluar dari diri kita sendiri supaya dapat menyapa Tuhan dan sesama kita. Kalau kita tidak dapat bereksodus maka sia-sia saja iman kita kepad Tuhan. Kita hanya akan hidup dalam dunia kita sendiri, menjadi terasing dalam diri kita, tidak berkembang dan kita seakan mati meskipun masih bernafas. Bereksodus menuju sebuah dunia yang baru, dunia yang penuh harapan akan kebaikan. Kita pasti bisa bereksodus.
P. John Laba, SDB