Merenungkan Pertobatan Santo Paulus
Pertobatan Saulus/Paulus adalah salah satu kisah paling dramatis di dalam Kitab Suci. Kisah ini juga merupakan salah satu kisah pertobatan yang sangat terkenal, kadang orang salah dalam memahaminya. Apakah maknanya, dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan kita? Ada lima hal yang patut kita pelajari dari kehidupan santo Paulus:
Pertama-tama, Paulus sendiri mengingatkan kita tentang apa yang harus kita pelajari dari pertobatannya. Dalam suratnya yang pertama kepada Timotius, Paulus berkata:
“Perkataan ini dapat dipercaya dan patut diterima sepenuhnya, yaitu bahwa Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang-orang berdosa, dan aku adalah yang terutama di antara mereka.” (1Tim 1:15). Dengan kata lain, pertobatannya sendiri menjadi contoh untuk mengajarkan kepada kita bahwa setiap orang dapat datang kepada Kristus. Tidak ada dosa yang terlalu buruk, tidak ada kejahatan yang terlalu jahat, yang dapat menghalangi kita untuk menerima kasih karunia Kristus-jika, seperti Paulus, kita bertobat. Kisah ini kemudian digunakan dengan tepat sebagai paradigma pertobatan. Tentu saja tidak semua pertobatan sedramatis itu! Tetapi semua pertobatan kepada Kristus adalah kelahiran kembali dari orang yang berdosa, menerima Roh Allah, dan dinyatakan benar oleh iman kepada Yesus. Seperti Paulus, jika kita ingin benar-benar bertobat, kita harus merendahkan diri. Kita harus bertobat. Kita harus memulai hidup yang baru. Jika kita melakukan itu, kita akan diterima, betapapun buruknya dosa-dosa kita.
Kedua, Paulus mengingatkan kita bahwa meskipun di satu sisi pertobatannya merupakan paradigma dari semua pertobatan, pertobatannya juga unik dan berbeda, dan memberi tahu kita bahwa Paulus adalah seorang rasul. Tanda-tanda seorang rasul adalah bahwa rasul adalah saksi kebangkitan Yesus dan ditunjuk oleh Yesus sendiri untuk menjadi wakil-Nya (dan bukan hanya wakil gereja). Tetapi bagaimana dengan Paulus? Dia tidak bersama Yesus sebelum kematian Yesus. Tetapi Paulus menjadi seorang rasul melalui pengalamannya di Jalan Damaskus. Dengan kata lain, ia tidak hanya memiliki pengalaman subjektif tentang Yesus, ia benar-benar melihat Tuhan yang telah bangkit. Ia menegaskan hal ini di berbagai tempat. Misalnya dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Paulus menulis: “Kemudian Ia menampakkan diri kepada Yakobus, lalu kepada semua rasul. Dan yang terakhir, kepada seorang yang lahir sebelum waktunya, Ia menampakkan diri-Nya kepadaku.” (1Kor 15: 7-8).
Poin yang ia sampaikan adalah bahwa dengan cara yang sama Yesus menampakkan diri-Nya yang telah bangkit kepada para rasul yang lain, demikian juga Ia menampakkan diri-Nya kepada Paulus-meskipun dengan cara yang tidak biasa, “seperti seorang yang dilahirkan sebelum waktunya.” Atau sekali lagi, ia menegaskan kerasulannya karena pengalamannya melihat Yesus yang telah bangkit dalam suratnya kepada jemaat di Galatia: “Sebab aku tidak menerimanya dari manusia, dan tidak pula diajarkan oleh manusia, tetapi aku menerimanya oleh penyataan Yesus Kristus.” (Gal 1:12).
“Wahyu” yang dimaksud adalah melihat Yesus sebagai Tuhan yang Bangkit, di Jalan menuju Damaskus. Jadi, sebagian yang kita pelajari dari pengalaman di Jalan Damaskus ini adalah untuk menerima kata-kata Paulus sebagai kata-kata seorang rasul, dan dengan otoritas Roh Allah yang dihembuskan melaluinya.
Ketiga, kita belajar bahwa pada prinsipnya tidak ada seorang pun di dalam kehidupan ini yang tidak dapat diselamatkan. Adalah mungkin untuk menolak Yesus. Banyak orang melakukannya. Tetapi pada prinsipnya, tidak ada seorang pun yang tidak dapat diselamatkan. Hal ini seharusnya mendorong kita ketika kita memikirkan anggota keluarga atau teman yang belum mengenal Yesus. Dan juga memotivasi kita untuk terus berdoa bagi mereka dan bersaksi kepada mereka.
Keempat, marilah kita berbicara tentang Ananias. Apa yang akan terjadi jika Ananias tidak taat pada tugasnya? Allah pasti akan menemukan orang lain. Namun ketaatan Ananias sangatlah penting. Maukah kita taat kepada Allah untuk melayani seseorang yang bertobat dari latar belakang seperti Paulus? Kadang-kadang Tuhan meminta kita untuk melakukan hal-hal yang sulit, berat, bahkan berisiko. Maukah kita taat? Maukah kita mengutamakan Kristus dan mempertaruhkan pekerjaan atau mata pencaharian kita? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu perlu kita ajukan ketika kita tidak sedang diuji, sehingga ketika kita diuji, kita akan memiliki tulang punggung yang diperlukan untuk dapat berdiri dan melakukan apa yang benar di mata Tuhan.
Kelima, kita belajar betapa Yesus mengasihi gereja, karena gereja adalah tubuh-Nya sendiri. Inti dari teologi Paulus adalah teologi tentang gereja. Dan sebagian besar dari hal ini tentu saja berasal dari pengalaman pertobatannya – sering kali teologi seorang pria atau wanita dibangun di atas cara mereka pertama kali berjumpa dengan Kristus. Di sini ia bertemu dengan Kristus yang berkata kepadanya, “mengapa kamu menganiaya umat-Ku,” tetapi “mengapa kamu menganiaya Aku?” Gereja adalah tubuh Kristus. Oleh karena itu, kita harus mengasihi gereja. Serahkan hidup kita kepada gereja. Melayani gereja. Bukankah gereja adalah tubuh Kristus? Apakah kita mengasihi Kristus? Jika demikian, kita juga harus mengasihi tubuh-Nya.
P. John Laba, SDB