Hari Rabu, Pekan Biasa ke-IX
2Tim. 1:1-3,6-12
Mzm. 123:1-2a,2bcd
Mrk. 12:18-27
Merenungkan Kebangkitan Badan kita
Saya pernah diundang untuk memimpin misa pemberkatan jenazah seorang tokoh umat di sebuah paroki. Sebelum memberkati jenazah, sang istri memohon untuk menyampaikan pesan-pesan akhir berupa ingatan akan kenangan kebersamaan mereka. Dia mengakhiri pesan-pesan yang mengharukan semua umat yang hadir dengan berkata: “Semoga ikatan kasih kita akan berlanjut di surga, di mana engkau tetaplah suami terhebat dan aku istrimu terkasih”. Pada mulanya saya terinspirasi untuk mendengar semua kesan dan pesan namun pada bagian terakhir mengagetkan aku. Sebab perkataan ini hendak mengatakan bahwa pada saat berada di surga pun relasi mereka sebagai suami dan istri akan tetap berlanjut. Banyak orang katolik masih berpikir seperti ini bahwa relasi manusiawi kita di dunia akan berlanjut hingga berada di rumah Bapa di Surga. Ini memang sebuah harapan yang bagus namun masih keliru dari ajaran Yesus yang sebenarnya.
Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Yesus di dalam Injil Markus yang bagi saya merupakan sebuah pengajaran iman yang patut kita ketahui bersama. Mulanya orang-orang Saduki yang berpendapat bahwa tidak ada kebangkitan datang kepada Yesus dan mencobai-Nya dengan sebuah pertanyaan seputar perkawinan levirat. Mereka memberikan sebuah kasus tentang perkawinan tujuh bersaudara dengan seorang wanita tanpa memberikan keturunan. Selanjutnya dari kasus perkawinan ini, kaum Saduki berpindah ke hal lain yang berkaitan dengan keyakinan mereka tentang tidak adanya kebangkitan. Sebab itu mereka mengangkat masalah kebangkitan badan sebagaimana diyakini oleh kaum Farisi. Pertanyaan sederhana ini jelas mau mencobai dan menguji posisi Yesus: “Pada hari kebangkitan, bilamana mereka bangkit, siapakah yang menjadi suami perempuan itu? Sebab ketujuhnya telah beristerikan dia.” ( Mrk 12:23). Pikiran kaum Saduki masih sama dengan pikiran orang-orang katolik masa kini yang berpikir bahwa hidup di dunia ini akan berlanjut seperti biasa di surga.
Tuhan Yesus menggunakan kesempatan ini untuk mengoreksi cara pikir kaum Saduki ini. Ia berkata: “Kamu sesat, justru karena kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah. Sebab apabila orang bangkit dari antara orang mati, orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga.” (Mrk 12:24-25). Siapakah malaikat itu? Santo Agustinus mengatakan: “‘Malaikat’ menunjukkan jabatan, bukan kodrat. Kalau engkau menanyakan kodratnya, maka ia adalah roh; kalau engkau menanyakan jabatannya, maka ia adalah malaikat” (Psal. 103,1,15). Menurut seluruh keadaannya malaikat adalah pelayan dan pesuruh Allah. Karena “mereka selalu memandang wajah Bapa-Ku, yang ada di surga” (Mat 18:10), mereka “melaksanakan firman-Nya dengan mendengarkan suara firman-Nya” (Mzm 103:20). Perkataan St Agustinus mengikuti Sabda Tuhan Yesus, membantu kita untuk mengerti bahwa pada saatnya nanti kita semua, entah yang tidak menikah dan menikah akan menjadi pelayan atau pesuruh Allah. Kita akan memandang wajah Bapa yang kudus di dalam surga. Kita juga melaksanakan firman dengan mendengar suara firman-Nya.
Tuhan Yesus juga mempertegas keberadaan Tuhan Allah kita. Ia berkata: “Dan juga tentang bangkitnya orang-orang mati, tidakkah kamu baca dalam kitab Musa, dalam ceritera tentang semak duri, bagaimana bunyi firman Allah kepadanya: Akulah Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub? Ia bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup. Kamu benar-benar sesat!” (Mrk 12:26-27). Allah memperkenalkan diri sebagai Allah orang hidup bukan Allah orang mati. Abraham, Ishak dan Yakub pernah hidup dan mengimani Allah yang satu dan sama. Ia tidak pernah memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah orang mati. Di sini kita melihat betapa pemahaman kaum Saduki keliru memahami tubuh. Mereka berpikir bahwa tubuh sebelum kebangkitan dan sesuda kebangkitan itu identik atau sama saja. Paham semacam ini jauh dari ajaran Tuhan Yesus Kristus. Banyak kali kita justru tersesat dan berpikir yang sesat tentang Allah kita.
Saya selalu mengingat ungkapan iman kita dalam doa “Aku Percaya”. Kita selalu mengulangi kata-kata ini: “Aku percaya akan kebangkitan badan dan kehidupan kekal”. Apa yang ada di dalam pikiran kita ketika mengucapkan kalimat “Aku percaya akan kebangkitan badan?” Katekismus Gereja Katolik (KGK, 298) mengajarkan bahwa: “Karena Allah dapat mencipta dari ketidakadaan, dapatlah Ia oleh Roh Kudus memberikan kepada para pendosa kehidupan jiwa, dengan menciptakan hati yang murni di dalam mereka (Mzm 51:12), dan memberikan kehidupan badan kepada yang meninggal, dengan membangkitkan badan itu, karena Ia adalah “Allah yang menghidupkan orang mati dan menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada” (Rm 4:17). Dan karena Ia mampu memancarkan cahaya dari kegelapan melalui Sabda-Nya (Kej 1:3), Ia juga dapat menganugerahkan cahaya iman kepada mereka yang tidak mengenal-Nya (2 Kor 4:6).
Maka kebangkitan badan adalah badan yang telah terurai dan hancur akibat kematian dan akan dibangkitkan pada akhir zaman, selanjutnya akan bersatu dengan jiwa. Setiap pribadi akan bersatu kembali jiwa dan badannya, dan hidup dalam keabadian. Kita semua percaya bahwa mereka yang masuk dalam Kerajaan Sorga akan mengalami kebahagiaan dalam persatuan jiwa dan badan yang telah dimuliakan, sedangkan mereka yang masuk ke dalam neraka akan mendapatkan hukuman dalam persatuan jiwa dan badan.Dari situ, kita percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian, dan kebahagiaan Sorgawi yang telah dijanjikan oleh Yesus menanti kita di kehidupan mendatang.
Bacaan Injil hari ini meneguhkan kita untuk semakin percaya kepada kebangkitan badan dan kehidupan kekal sebab Allah kita sungguh-sungguh Allah yang hidup. Saya mengakhiri refleksi ini dengan mengutip perkataan St. Yohanes Paulus II ini: “Dalam kebangkitan badan di masa depan, setelah mendapatkan kembali tubuh-tubuh mereka dalam kepenuhan kesempurnaan yang sesuai dengan gambaran dan rupa Allah, setelah mendapatkan kembali tubuh-tubuh itu dalam maskulinitas dan femininitas mereka, manusia “tidak akan mengambil baik istri maupun suami” (TOB 66:1; 2 Desember 1981). Mari kita menjauhkan diri dari kesesatan, dan berusaha untuk mencapai hidup seperti malaikat kelak dengan berbuat baik dan saling mengasihi.
PJ-SDB