Homili 6 Maret 2021

Hari biasa Pekan II Prapaskah
Mi. 7:14-15,18-20;
Mzm. 103:1-2,3-4,9-10,11-12;
Luk. 15:1-3,11-32

Terima kasih atas kerahiman-Mu, Tuhan

Saya pernah memakai sebuah buku Puji Syukur milik seorang umat yang dipinjamkan kepada saya selama perayaan misa di sebuah lingkungan. Saya menemukan sebuah kertas kecil yang sudah usang, bertuliskan kalimat ini: “Terima kasih atas kerahiman-Mu, Tuhan”. Saya sempat berpikir bahwa dari banyak orang yang pernah menggunakan buku Puji Syukur ini, mungkin kertas ini hanya sekedar lembaran usang yang dipakai sebagai pembatas buku. Tetapi bagi orang yang pernah menulis kalimat ini, kalimat ini merupakan sebuah doa syukur kepada Tuhan yang Maharahim dan kertas usang ini melambangkan dirinya sendiri yang lemah, rapuh dan membutuhkan kerahiman Tuhan. Saya kembali ke komunitas dengan sebuah permenungan yang mendalam tentang hidup yang usang di hadirat Tuhan Allah yang Maharahim.

Kita berada di hari terakhir dalam pekan kedua masa prapaskah yang juga dikenal sebagai pekan transfigurasi. Sabda Tuhan perlahan-lahan membawa kita kepada sebuah titik terang tentang kerahiman Allah. Saya teringat pada Bulla Misercordia Vultus yang ditulis Paus Fransiskus tanggal 11 April 2015 lalu dalam menyongsong tahun kerahiman, di mana beliau menaruh harapan kepada Gereja seperti ini: “Semoga warta kerahiman menjangkau setiap orang, dan semoga tidak seorang pun acuh tak acuh terhadap panggilan untuk mengalami kerahiman-Nya. Dengan penuh harapan saya menyampaikan undangan untuk bertobat ini kepada orang-orang yang perilaku hidupnya menjauhkan mereka dari rahmat Allah” (MV no. 19). Allah Maharahim dan setiap orang perlu mengalami kerahiman-Nya.

Apa yang hendak Tuhan katakan pada hari ini? Nabi Mikha dalam bacaan pertama menunjukkan wajah Allah yang Maharahim. Seorang Allah yang tidak mengingat dosa-dosa kita tetapi berusaha untuk melupakannya. Tuhan diperkenalkan oleh Mikha sebagai Gembala yang baik. Gembala yang baik selalu berusaha melupakan kelemahan domba-dombanya. Demikian juga Tuhan sebagai Gembala Baik. Dia melupakan dosa dan salah kita. Mikha berkata kepada Tuhan: “Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada kasih setia? Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut.” (Mi 7:18-19). Kerahiman Allah kepada manusia ditunjukkan dengan menyayangi, menghapuskan dosa kita dan melemparkan dosa-dosa kita ke tubir-tubir laut. Tuhan bisa melupakan dosa-dosa kita, mengapa kita selalu ingat akan dosa-dosa sesama kita?

Pewartaan nabi Mikha tentang kerahiman Allah menjadi nyata dalam Injil. Tuhan Yesus dalam perumpamaan-Nya sungguh menghadirkan wajah kerahiman Allah (MV,1). Mengapa demikian? Melalui perumpamaan tentang anak yang hilang, Tuhan Yesus menghadirkan sosok seorang Bapa yang Maharahim, yang tidak mengingat-ngat kesalahan anak-anaknya tetapi mencari yang terbaik di dalam diri anak-anaknya. Dikisahkan bahwa ada seorang Bapa yang memiliki dua orang anak. Anak bungsu merasa diri sebagai orang merdeka sehingga ia meminta warisan yang menjadi haknya kepada bapanya. Segera ia meninggalkan rumahnya dan hidup sebagai orang merdeka, hedonis dan pada akhirnya menderita dan melarat karena hartanya habis dan daerah di mana dia berada mengalami musim kemarau yang panjang dan kelaparan melanda seluruh negeri itu. Ia mencari kerja dan mendapat pekerjaan sebagai penjaga babi, bahkan ia nyaris memakan makanan babi. Betapa derajatnya sampai setingkat dengan babi.

Anak bungsu ini duduk dan memikirkan kembali suasana keluarganya. Ia melihat sosok Bapa yang baik. Para pekerja saja diperhatikan dan tentu saja anaknya sendiri pasti diperhatikan. Ia berniat untuk kembali dan memohon ampun dan rela dianggap bukan anak lagi. Ia pun bangun dan kembali kepada ayahnya dengan keadaan yang ‘usang’ bukan hanya pakaian tetapi keadaan lahir dan batinnya. Prinsipnya adalah: “Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.” (Luk 15:17-19).

Bagaimana dengan anak sulung? Dia juga mendapat warisan namun ia tetap tingga di rumah. Semua harta ayahnya dirasa sebagai miliknya juga padahal ia sendiri sudah memilikinya. Saya sekali dia berada di zona nyaman sehingga lupa pada kasih dan kebaikan ayahnya. Dia juga menutup hatinya, merasa tidak berdosa sehingga tidak rela mengampuni dan menerima adiknya yang sudah mati dan hidup lagi, yang kembali ke rumah Bapa mereka. Banyak di antara kita berpikir bahwa anak sulung itu lebih baik dari pada bungsu. Bukan demikian, anak sulung lupa diri. Dia tidak mengingat-ingat kasih dan kemurahan ayahnya dan dia juga tidak menerima saudaranya. Kasih kepada bapa dan saudara tidak dilakukannya. Dia egois! Perhatikan perkataannya ini: “Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.” (Luk 15:29-30).

Sosok Bapa yang penuh kerahiman mendominasi perumpamaan ini. Dialah sosok yang menjadi pemenang dalam kisah ini. Kepada anak bungsu, ia tetap memandangnya sebagai anaknya meskipun sudah jatuh ke dalam lumpur bahkan setingkat babi. Ketika melihat anaknya kembali dialah yang berlari mendapatkan anaknya. Ia memeluk, mencium bahkan memberikan yang terbaik kepadanya: “Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria.” (Luk 15:22-24). Anak bungsu mendapatkan pengampunan berlimpah dan mendapatkan kembali status sebagai anak.

Ketika anak sulung berulah, dialah yang keluar untuk membujuknya. Inilah perkataannya kepada anak sulung: “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.” (Luk 15:31-32). Sosok bapa luar biasa. Ia tidak mengingat-ingat kesalahan anak-anaknya. Ia hadir dan menebarkan kasih dan kebaikan kepada mereka meskipun anak sulungnya tidak menangkap dan memahami kasih dan kebaikannya.

Mari kita memandang diri kita. Apakah kita adalah sosok anak bungsu, anak sulung ataukah Bapa dari kedua anak ini? Masa prapaskah merupakan masa di mana kita berusaha menjadi seperti Bapa yang murah hati kepada semua orang. Maka pertobatan kita adalah kemurahan hati kita kepada semua orang. Terima kasih atas kerahiman Tuhan bagi diri kita masing-masing.

P. John Laba, SDB