Homili 13 Maret 2021

Hari biasa Pekan III Prapaskah
Hos. 6:1-6;
Mzm. 51:3-4,18-19,20-21ab;
Luk. 18:9-14

Berbaliklah kepada Tuhan

Hari Sabtu, pekan ke-III Prapaskah. Ini adalah hari terakhir pekan ke-III ini. Waktu seakan mengalir begitu cepat maka aroma Hari Raya Paskah di masa pandemi perlahan mulai dirasakan. Belanja lilin paskah adalah salah satu contohnya, Latihan koor untuk misa online juga sedang dilakukan. Seorang sahabat mengatakan bahwa pada masa pandemi ini Latihan koornya memang cukup ribet. Mereka Latihan bersama secara online, dilanjutkan dengan rekaman pribadi sesuai pembagian suara, kemudian diedit di studio. Ini tentu membutuhkan waktu dan tenaga yang ekstra. Namun karena situasi dan kondisi maka orang tetap berusaha untuk melayani Tuhan dengan sukacita.

Di balik persiapan jasmani ini, kita semua sudah mengawali persiapan rohani sejak hari Rabu Abu yang lalu. Kita semua diingatkan untuk bertobat dan percaya kepada Injil, dan juga ajakan untuk sadar diri bahwa kita semua berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu. Untuk itu kita menyiapkan jasmani dan rohani kita dengan berdoa lebih baik lagi secara pribadi dan komunitas, melakukan karya amal kasih dan menjalani puasa. Para Bapa Gereja mengingatkan kita bahwa berpuasa yang baik bukan soal urusan makan dan minum semata, tetapi lebih dari itu kita semua diingatkan untuk mengoyakan hati kita supaya layak dan berbalik kepada Tuhan dengan segenap hati.

Tuhan menyapa kita pada hari Sabtu ini untuk berbalik kepada-Nya. Kita berjumpa dengan sosok nabi Hosea. Nama Hosea (הוֹשֵׁעַ berate “Keselamatan (ada) pada Tuhan” atau “Tuhan adalah keselamatan”. Beliau dikenal sebagai adalah anak Beeri dan seorang nabi di Kerajaan Israel pada abad ke-8 SM. Hosea berkarya pada masa yang bersamaan dengan nabi Amos dan nabi Yesaya, yaitu sekitar zaman Raja Uzia (781-740 SM) dan Yotam (740-736 SM), Ahas (736-716 SM), dan Hizkia (716-687 SM) raja Yehuda, yang sezaman dengan raja Israel, Yerobeam II (783-743 SM). Dalam pewartaannya, ia sangat menekankan bahwa hanya kasih setia dan belas kasihan Allah yang dapat mendatangkan anugerah bagi bangsa Israel. Tetapi perbuatan dosa membuat bangsa Israel mengalami hukuman dari Allah, yaitu hukuman yang bertujuan untuk mendisiplinkan umat. Dosa ketidaksetiaan dan penyembahan berhala menguasai banyak orang di Israel karena mereka menyembah dewa dewi di gunung Ebal dan gunung Garizim. Ia bahkan tidak segan-segan menyamakan para pendosa dan istrinya sendiri sebagai pesundal.

Perikop kita hari ini berisi ajakan untuk bertobat. Caranya adalah dengan berbalik kepada Tuhan. Ia berkata: “Mari, kita akan berbalik kepada Tuhan, sebab Dialah yang telah menerkam dan yang akan menyembuhkan kita, yang telah memukul dan yang akan membalut kita. Ia akan menghidupkan kita sesudah dua hari, pada hari yang ketiga Ia akan membangkitkan kita, dan kita akan hidup di hadapan-Nya.” (Hos 6:1-2). Point penting di sini adalah bahwa kita sadar diri sebagai orang berdosa. Kesadaran diri ini penting karena dapat membantu kita untuk berani berbalik kepada Tuhan. Tuhan adalah penyembuh dan pemberi keselamatan, tidak ada yang lain.

Apa yang harus kita lakukan? Kita butuh kesempatan untuk mengenal Tuhan secara pribadi lebih dalam lagi. Tentu saja ini mengandaikan semangat untuk berdoa lebih baik lagi. Kita mengangkat hati dan pikiran kita kepada Tuhan secara total. Hose mengatakan bahwa kita perlu berusaha untuk mengenal Tuhan seba “Ia pasti muncul seperti fajar, Ia akan datang kepada kita seperti hujan, seperti hujan pada akhir musim yang mengairi bumi.” (Hos 6:3). Sabda Tuhan itu laksana pedang bermata dua yang akan mengubah hidup kita secara total. Mengapa demikian? Melalui Hosea Tuhan mengatakan: “Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran.” (Hos 6: 6). Kita berpikir secara manusiawi bahwa kurban persembahan, pemberian materil itu sudah cukup. Tuhan menyukai kasih setia karena Dia adalah kasih.

Doa adalah jalan untuk menunjukkan kasih setia kita kepada Tuhan. Tuhan Yesus dalam kotba di bukit mengingatkan kita sebelum mengajar doa Bapa kami supaya ketika berdoa, kita jangan menyerupai orang-orang munafik (Mat 6:5). Kemunafikan itu bisa berasal dari dalam hati kita saat sedang berdoa bersama di satu tempat yang sama. Tuhan Yesus memberikan contoh di dalam bacaan Injil hari ini. Dikisahkan bahwa ada dua orang yang sama-sama berdoa di dalam Bait Allah, seorang adalah orang Farisi dan lainnya seorang pemukut cukai. Orang Farisi berpikir bahwa dialah yang terbaik sehingga sambil berdoa dia mengadili orang lain di sampingnya. Ia berdoa: “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.” (Luk 18:11-12). Sikap orang Farisi adalah sikap banyak di antara kita saat ini. Banyak kali kita mudah mengadili sesama meskipun sedang berdoa. Kita berada di dalam Gereja, sedang berarak untuk menerima komuni kudus tetapi pikiran kita negatif terhadap sesama yang lain.

Ada juga seorang pemungut cukai. Ia datang ke dalam Bait Allah untuk berdoa. Hanya saja ia berdiri agak jauh, tidak berani mengangkat muka dan beberapa kali menepuk dadanya. Ia jujur kepada Tuhan dengan berkata: “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” (Luk 18:13). Orang seperti ini tahu diri bahwa dia orang berdosa. Dia membutuhkan Tuhan makai a berani berbalik kepada-Nya. Yesus membenarkan orang berdosa yang rendah hati dan membutuhkan pengampunan yang berlimpah.

Tuhan menyapa dan memanggil kita untuk kembali kepada-Nya. Pertobatan adalah jalan yang benar bagi kita di masa prapaskah ini. Apakah kita cukup rendah hati untuk mengakui diri sebagai orang berdosa dan kembali kepada Tuhan? Apakah kita siap untuk berbalik kepada Tuhan yang Mahapengasih dan penyayang? Bertobatlah dan ingat selalu bahwa engkau berasal dari debu dan anak kembali menjadi debu.

P. John Laba, SDB