Homili 16 Januari 2025

Hari Kamis, Pekan biasa I
Ibr. 3:7-14
Mzm. 95:6-7, 8-9, 10-11
Mrk. 1:40-45

Janganlah Kepala Batu!

Saya pernah mendengar sebuah nasihat dari seorang ibu kepada putranya di sebuah restoran: “Nak, kamu adalah anak laki-laki yang harus bertumbuh menjadi anak mama yang terbaik dan berguna di masa depan. Hindarilah menjadi pribadi yang kepala batu”. Saya keluar dari restoran itu lebih dahulu untuk melanjutkan perjalanan sambil merenung nasihat yang saya dengar tadi. Saya mengingat kata ‘kepala batu’ dan membayangkan kerasnya sebuah batu. Kepala batu adalah kiasan bagi pribadi yang tidak mau menuruti nasihat orang lain. Kepala batu selalu ada di dalam diri kita semua. Namun kita ingat bahwa yang terjadi pada sebuah batu yang keras sekalipun, ketika ada tetesan air di atasnya terus menerus, meski hanya setitik demi setitik saja, lama kelamaan batu yang keras itu menjadi lunak, bisa berlubang sampai pecah dan hancur menjadi tanah. Batu yang keras dapatlah menjadi gambaran diri kita di hadirat Tuhan. Betapa kita pun sadar atau tidak sadar ‘kepala batu’ di hadirat Tuhan. Tuhan begitu baik tetapi balasan kita kepada-Nya adalah kita ‘kepala batu’.

Saya mengingat bangsa Israel yang kepala batu kepada Tuhan Allah. Mereka merasakan kasih dan kebaikan Tuhan namun selalu bersungut-sungut kepada Tuhan melalu Musa. Kita membaca di dalam Kitab Bilangan: “Pada suatu kali bangsa Israel bersungut-sungut di hadapan Tuhan tentang nasib buruk mereka, dan ketika Tuhan mendengarnya bangkitlah murka-Nya, kemudian menyalalah api Tuhan di antara mereka dan merajalela di tepi tempat perkemahan. Lalu berteriaklah bangsa itu kepada Musa, dan Musa berdoa kepada Tuhan; maka padamlah api itu. Sebab itu orang menamai tempat itu Tabera, karena telah menyala api Tuhan di antara mereka.” (Bil 11:1-3). Banga Israel bersungut-sungut tentang makanan dan mulai membayangkan kembali di Mesir: “Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat.” (Bil 11:5-6).

Kita mungkin menertawakan mereka tetapi pengalaman bangsa Israel adalah pengalaman kita juga. Berapa kali kita bersungut-sungut kepada Tuhan dalam sehari? Berapa kali kita bertegar hati seperti bangsa Israel di Masa dan Meriba yang bersungut-sungut dan mencobai Tuhan Allah, hanya soal makanan dan minuman? Kita mengingat bahwa Musa yang adalah sahabat Tuhan saja pernah bersalah karena tidak menghormati kekudusan Tuhan Allah di dalam peristiwa dekat mata air di Meriba, akibatnya Musa sendiri tidak masuk ke tanah terjanji. Kita juga mengingat Miriam saudari kandung Musa. Dia mendapat hukuman yakni sakit kusta selama tujuh hari yang diberikan Tuhan kepadanya karena ia menghasut Harun untuk memberontak kepada Musa (Bil 12:1-10). Miriam kemudian disembuhkan kembali (Bil 12:11-16) dan akhirnya meninggal dan dikuburkan (Bil 20:1). Penyakit kusta lalu dianggap sebagai hukuman dari Tuhan karena kepala batu kepada Tuhan dan sesama.

Semua contoh ini menunjukkan betapa manusia itu kepala batunya dari dulu hingga saat ini. Maka benarlah nashat dari penulis surat kepada umat Ibrani: “Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegeraman pada waktu pencobaan di padang gurun, di mana nenek moyangmu mencobai Aku dengan jalan menguji Aku, sekalipun mereka melihat perbuatan-perbuatan-Ku, empat puluh tahun lamanya.” (Ibr 3:7-9). Kita mesti belajar untuk malu di hadirat Tuhan karena kepala batu, bertegar hati, bersungut-sungut dan mencobai Tuhan sendiri. Kita berusaha supaya hati kita tidak jahat dan tidak murtad (Ibr 3:12). Tugas kita adalah: “Nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan “hari ini”, supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar hatinya karena tipu daya dosa.” (Ibr 3:13).

Tadi saya menyinggung bahwa Miriam pernah menghasut saudaranya Harun dan Musa sehngga ia mengalami penyakit kusta selama tujuh hari lalu disembuhkan kembali oleh Tuhan melalui Musa. Dalam dunia perjanjian lama lalu menganggap penyakit kusta sebagai sebuah hukuman dari Tuhan kepada manusia yang melakukan dosa tertentu. Ketika mengalami sakit kusta ini, si kusta diasingkan jauh dari sesame yang lain. Ketika melewati jalan umum, ia harus berteriak bahwa ia seorang kusta, berpakaian compang camping dan rambut tidak terurus supaya manusia yang bukan kusta bisa menjauhinya. Dia Najis. Tentu saja manusia bukanlah sesama yang baik karena menolak sesamanya yang sakit kusta.

Penginjil Markus menceritakan seorang kusta tanpa nama yang datang kepada Yesus untuk meminta supaya disembuhkan: “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” (Mrk 1:40). Tuhan Yesus tergerak hati oleh belas kasihan dan menyembuhkan orang kusta ini. Cara Tuhan Yesus menyembuhkannya adalah: menunduk sambil mengulurkan tangan, menjamah dan berbicara dengan orang kusta ini. Orang kusta yang kehilangan harapan akhirnya memiliki harapan untuk sembuh dan memviralkan Yesus ke mana-mana. Orang kusta memiliki dosa. Dia terbuka, jujur kepada Tuhan sehungga mengalami penyembuhan sekaligus pengampunan berlimpah.

Mari kita memeriksa diri kita di hadapan Tuhan dan sesama. Kita kepala batu dan suka bersungut-sungut kepada Tuhan dan sesama di sekita kita. Kita menutup diri sehingga sulit menunduk, mengulurkan tangan, menjamah dan berbicara dengan orang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Itulah kita saat ini! Mari kita berubah.

P. John Laba, SDB