Homili 19 Oktober 2015

Hari Senin, Pekan Biasa XXIX
Rm. 4:20-25
MT Luk. 1:69-70,71-72,73-75
Luk. 12: 13-21

Belajar Berbagi Bersama Yesus

imageBeberapa hari yang lalu, saya didatangi oleh sepasang suami dan istri. Mereka sedang mengalami kesulitan untuk membantu anak sulung mereka. Belakangan ini ia lebih banyak menyendiri di kamar dan lebih akrab dengan gadget yang dimilikinya. Mereka sudah berusaha memanggil, menasihati bahkan memarahinya namun ia belum berubah juga. Dampak lebih lanjut adalah ia tidak bergaul dengan mereka sebagai orang tua dan juga kedua adiknya. Saya mendengar semua pembicaraan mereka dengan baik. Setelah itu, saya hanya mengatakan kepada mereka untuk terus mendoakannya, meluangkan waktu lebih banyak bersamanya dengan kegiatan-kegiatan tertentu yang bisa melibatkannya, mengajaknya berbicara, dan aneka tip sederhana lainnya. Saya juga mengingatkan orang tua untuk melihat masalah anak ini secara umum bukan hanya dari aspek kepemilikan gadget saja. Mereka harus berusaha bersama sambil melihat kelemahan dan kekuatan sebagai orang tua dalam mendidik anak-anaknya.

Banyak orang tua memiliki kesulitan berhadapan dengan anak-anak yang memiliki sifat suka mengumpulkan barang, sifat possessive terhadap barang-barang yang sangat dominan dalam diri mereka. Banyak di antara mereka menjadi pelit, mengalami kesulitan dalam hidup sosial. Tuhan Yesus mengenal hati para murid-Nya. Mereka juga memiliki kecenderungan tertentu untuk mengumpulkan harta, melekat pada harta dan lupa untuk mengasihi sesama dengan berbagi. Dalam kotbah di bukit, Ia berkata: “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” (Mat 6:19-21).

Teguran Yesus ini memang tidak bisa disangkal oleh kita semua. Fakta menunjukkan bahwa ada kecenderungan alamiah bagi pribadi tertentu untuk mengumpulkan sebanyak mungkin barang-barang di dunia ini. Ada yang memang ia butuhkan, ada juga yang ia tidak butuhkan dalam hidupnya. Sifat possessive terhadap barang-barang duniawi telah mengalahkan cinta kasih kepada Tuhan dan sesama. Mengapa demikian? Karena di mana harta benda berada, di situ hati manusia juga berada. Karena hati dan harta melekat maka sesama menjadi orang lain, bukan saudara yang harus dibantu.

Pada hari ini kita mendengar kisah Yesus yang mengajar kita untuk bisa berbagi dengan sesama. Ada seorang, tanpa nama datang kepada Yesus dan meminta-Nya untuk menegur saudaranya supaya berbagi warisan dengan adil. Yesus menolak permintaan itu karena merasa bahwa dirinya bukanlah seorang hakim atau pengantara bagi kedua bersaudara. Persoalah yang Yesus lihat dalam kasus ini bukan semata-mata tentang keadilan atau pembagian harta warisan yang merata melainkan ketamakan dan kepemilikan yang berlebihan. Fenomena kepemilikan atau kelekatan pada harta benda ini menimbulkan persoala baru yakni sikap lebih mengasihi harta benda yang dimiliki dari pada mengasihi sesama.

Pada kesepuluh perintah Allah terdapat dua perintah yang saling melengkapi dan frekuensi pelanggarannya lebih besar dari pihak manusia. Kedua perintah yang dimaksudkan adalah jangan memuja berhala dan jangan mengingini barang-barang milik sesamamu. Kedua perintah Tuhan ini sebenarnya mencerminkan kemampuan kita untuk mengasihi Tuhan dan sesama. Yesus menegur orang yang berbicara dengan-Nya untuk berbagi warisan dengan berkata: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.” (Luk 12:15). Manusia bisa memiliki ketamakan tertentu.

Selanjutnya, Yesus menceritakan sebuah kisah. Ada seorang kaya yang bodoh tetapi memiliki banyak harta dan tanahnya juga berlimpah-limpah. Sambil memandang semua harta yang dimilikinya, ia berkata dalam hatinya: “Inilah yang akan aku perbuat; aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku. Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!” (Luk 12:18-19). Persoalan utamanya adalah kelekatan hati pada harta benda dan sikap mengabaikan segala cara untuk mendapatkan barang tersebut. Setelah mendapatkannya, ia tidak bisa berbagi dengan sesama.

Sikap tamak ini yang menjadi pokok kritikan Yesus. Ia berkata: “Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah.” (Luk. 12:20-21). Yesus tidak mempersalahkan orang kaya tanpa nama karena banyak hartanya tetapi kesalahannya adalah pada ketidakmampuannya untuk berbagi dengan sesama yang lain. Ia seorang egois dan lebih mengutamakan dirinya sendiri. Tuhan Yesus mengatakan bahwa di mana harta berada, hati juga turut berada di dalamnya. Hati adalah totalitas kedirian kita di hadapan Tuhan dan sesama. Hati adalah tempat munculnya keinginan-keinginan untuk mencari dan menemukan harta benda lainnya. Hati adalah tempat bagi kehendak dan pusat perhatian kita.

St. Paulus masih melanjutkan pengajarannya tentang Abraham sebagai bapak kaum beriman. Paulus berkata, “Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah, dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.” (Rm 4:20-21). Paulus menambahkan: “Kepada kitapun Allah memperhitungkannya, karena kita percaya kepada Dia, yang telah membangkitkan Yesus, Tuhan kita, dari antara orang mati, yaitu Yesus, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita.” (Rm 24-25).

Pada hari ini Tuhan Yesus mengajar kita untuk berani berbagi dengan sesama. Tuhan Yesus tidak hanya berbicara tetapi Ia melakukannya di dalam hidup-Nya. Ia hadir di dalam Ekaristi. Ia memberikan Sabda-Nya, Tubuh dan Darah-Nya disambut oleh kita semua. Dalam Roti Ekaristi kita belajar bagaimana Tuhan merelakan diri-Nya untuk diambil oleh tangan manusia, dipecah, dibagi-bagikan dan disantap. Yesus berbagi maka kita pun boleh melakukan hal yang sama. Mari kita belajar berbagi bersama Yesus.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply