Renungan 17 Januari 2013

St. Antonius, Abas

Hari Kamis, Pekan Biasa I
Ibr 3:7-14
Mzm 95:6-11
Mrk 1:40-45
Janganlah bertegar hati!
Hari ini seluruh Gereja katolik merayakan pesta St. Antonius, Abas. Ia lahir di Mesir sekitar tahun 250. Orang tuanya mewariskan kekayaan yang berlimpah karena mereka meninggal ketika Antonius baru berusia 20 tahun. Namun demikian, ketika mendengar Injil Matius 19:21, ia tergerak hatinya dengan kaum papa miskin dan membagi seluruh harta warisannya kepada kaum miskin dan masuk  ke dalam pertapaan. Makanannya sederhana, pakaiannya dari kulit domba. Relasi dengan Tuhan begitu mendalam melalui doa, meditasi dan matiraga. Ia juga terkenal sebagai pembela iman. Kemampuan untuk berbagi dengan kaum miskin adalah kemartiran Antonius sebagai pengikut Yesus Kristus.
Seorang ibu merasa tersiksa karena sulit mengurus anaknya, padahal hanya satu anaknya. Ia bercerita bahwa anaknya mengalami perubahan perilaku sejak tamat SD. Ia sangat sulit untuk mengikuti nasihat dan perintah orang tua. Berbagai upaya dilakukan mulai dari mengevaluasi diri sebagai orang tua dalam mendidiknya, membawanya ke psikolog, memintanya untuk berbicara dan didoakan seorang romo tetapi belum ada perubahan yang siginfikan. Hatinya terlalu keras. Ini sebuah sharing sederhana dari seorang ibu yang hanya punya satu anak. Bayangkan orang tua yang mempunyai 7 sampai 12 anak, pasti lebih susah. Penulis kepada umat Ibrani akan memberi satu kunci untuk membuka keras dan tegarnya hati manusia: “Saling menasihati setiap hari”. 
Kemarin kita mendengar dari bacaan pertama, peran Yesus sebagai korban penghapus dosa manusia dan sebagai Imam Agung dalam peran sebagai pengantara Allah Bapa dan manusia. Oleh karena Yesus adalah satu-satunya Pengantara  kepada Allah Bapa dan manusia maka kita harus setia dalam mengikuti Yesus. Mengikuti Kristus berarti ikut berperan aktif kepada harapan akan keselamatan yang dilakukan oleh Yesus Kristus, Putera Allah. Berjalan mengikuti Yesus dari dekat bukan hanya tugas dan tanggung jawab pribadi tertentu karena setiap orang percaya adalah bagian dari Gereja yang sedang bergerak atau berjalan ke depan. Setiap orang juga memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mendukung para saudara yang lain. Pengalaman umat Perjanjian Lama di hadapan Yahwe adalah mereka bertegar hati meskipun mendengar suara Tuhan.
Lebih jelas menurut Penulis kepada umat Ibrani, “Pada hari ini, jika kamu mendengar suaraNya, janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegemaran, pada waktu pencobaan di padang gurun, pada saat nenek moyang mencobai Tuhan.” (Ibr 3:7-9). Sikap ini tentu bertentangan dengan Tuhan sebagai kasih. Kaum Israel pernah melakukannya di padang gurun dengan mengeraskan hati. Mereka tidak mengerti maksud dan bimbingan Tuhan. Maka Tuhan mau juga menunjukkan kuasaNya kepada orang yang tidak taat atau yang tersesat. Kita berusaha untuk menjadi diri sendiri. “Waspadalah, hai saudara-saudara supaya di antara kamu jangan terdapat orang yang hatinya jahat dan yang tidak percaya oleh karena ia murtad dari Allah yang hidup. Tetap nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari,  selama masih dapat dikatakan “hari ini”, supaya jangan ada di antara kalian yang tegar hatinya karena tipu daya dosa” (Ibr 3: 12-14)
Hati yang keras, mendengar suara tetapi seperti orang yang tidak memiliki telinga untuk mendengar dapat menimbulkan kesulitan dalam berelasi dengan sesama. Orang yang dapat mendengar dengan baik, ia dapat mengikuti dan mengasihi sesamanya. Orang yang sulit mendengar orang lain akan mengalami kesulitan dalam hidup sosialnya. Ia tidak akan disenangi banyak orang, dirinya dengan sendirinya terisolasi. Orang yang bertegar hati tidak akan percaya sepenuhnya pada Tuhan. Iman dan kepercayaan mereka terbatas bahkan cenderung menjadi ateis. Kunci supaya ada rasa saling percaya dalam komunitas adalah saling menasihati setiap hari. Kalau ada sesuatu yang terjadi dan keliru maka tugasmu adalah nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari.
Di dalam bacaan Injil kita mendengar perbuatan-perbuatan besar dilakukan Allah di dalam diri Yesus Kristus. Segala hal yang selama itu tabu disempurnakan dan diperbaharui oleh Yesus. Dikisahkan, ada seorang kusta datang dan tanpa malu-malu meminta Yesus untuk menyembuhkannya. Ini adalah hal yang tidak lazim bagi orang kusta zaman itu. Biasanya mereka terisolasi karena penyakit kulit seperti itu najis. Mereka berpakaian compang camping, rambut dan wajah tak terurus dan kalau berjalan di jalan raya mereka harus berteriak “Saya kusta, saya kusta” supaya orang sehat menjauh. Yesus membuat suatu yang baru dan berbeda. Ia tidak menjauh, malah mendekat. Ketika mendengar permohonan si kusta, Yesus mau menyembuhkannya. Ia mengulurkan tanganNya, menjamah dan menyembuhkan si kusta.
Yesus menunjukkan suatu hal yang baru di sini. Orang-orang buangan karena najis ternyata layak di mataNya. Ia mendekati dan menyembuhkan orang-orang sakit yang berharap kepadaNya. Tentu saja orang yang rendah hati akan terbuka pada setiap rencana dan kuasa Tuhan. Orang kusta di dalam Injil menginspirasikan kita untuk rendah hati dan selalu berharap pada pertolongan Tuhan. Pemazmur menulis, “Pertolongan kita dalam nama Tuhan yang menjadikan langit dan bumi” (Mzm 124:8).
Sabda Tuhan hari ini menguatkan kita untuk mengasihi Tuhan dan sesama. Kita mengasihi Tuhan karena Dialah yang pertama mengasihi dengan berbicara kepada kita. Maka dengarlah suara Tuhan, nasihatilah saudaramu setiap hari. Mari kita mengikuti teladan St. Antonius, Abas menunjukkan teladan kepada kita untuk mengasihi kaum papa dan miskin. 
Doa: Tuhan, semoga pada hari ini kami jangan bertegar hati tetapi selalu mendengar Engkau. Amen
PJSDB
Leave a Reply

Leave a Reply