Hari Selasa Pekan Biasa VII
Mzm 37:3-4.18-19.27-28.39-40
Nilai rohani sebuah pelayanan
Kita semua mengenal lagu dengan lirik: “Melayani-melayani lebih sungguh. Tuhan lebih dulu melayani kepadaku. Melayani, melayani lebih sungguh”. Lagu ini memang hanya mengulangi kata “melayani” tetapi sebenarnya dapat membangkitkan semangat yang benar dan sungguh-sungguh untuk melayani Tuhan dan sesama. Tantangan dalam pelayanan adalah ketidakmampuan pribadi untuk melupakan apa yang kita lakukan dalam melayani Tuhan dan sesama. Seringkali orang melayani tetapi penuh perhitungan: menceritakan apa yang sudah sedang dikerjakan, berapa jumlah uang yang keluar dari dompet sendiri, berapa lama waktu melayani dan lain sebagainya. Memang sangat manusiawi cerita-cerita seperti ini karena orang hanya mau menunjukkan bahwa dirinya ada. Tetapi coba kita memandang kepada Tuhan. Tuhan Yesus melayani para muridNya sampai tuntas dan hanya mengatakan kepada mereka: “Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu.” (Yoh 13:14).
Penginjil Markus hari ini melaporkan kisah pelayanan Yesus bersama para muridNya.
Ketika suatu saat melintasi daerah Galilea, Ia mengajar para muridNya: “Anak manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia dan mereka akan membunuh Dia. Tetapi tiga hari setelah dibunuh, Ia akan bangkit” (Mrk 9:31). Pelayanan Yesus yang paling luhur adalah pengorbanan diriNya, bahkan Ia rela dibunuh demi keselamatan umat manusia. Ia sendiri berkata: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Melayani lebih sungguh karena Tuhanlah yang lebih dahulu melayani dengan menyerahkan nyawaNya sampai tuntas. Yesus juga tidak membuat perhitungan apa pun terkait pengorbanan diriNya itu. Dia mengurbankan diriNya karena cintaNya kepada manusia.
Para murid tidak bereaksi atas pernyataan Yesus ini. Dikatakan bahwa mereka tidak mengerti namun tidak berani bertanya kepada Yesus alasan mengapa mengatakan masa depanNya demikian kepada mereka. Mengapa demikian? Karena hati para murid masih tertutup. Mereka memiliki mata tetapi tidak melihat, memiliki telinga tetapi tidak mendengar. Hati mereka masih penuh dengan ambisi-ambisi tertentu. Hal ini ditunjukkan dengan perdebatan di
antara mereka tentang siapa yang terbesar sekaligus menjadi pemimpin di antara mereka. Mereka sungguh-sungguh lupa bahwa ketika dipilih menjadi murid, Yesus mau menjadikan mereka sebagai pelayan dalam arti menjadi penjala manusia (Mat 4:19; Mrk 1:17).
Yesus tidak terpancing emosi karena kerapuhan hati para murid. Ia berusaha untuk membina mereka supaya mereka tahu diri dengan berkata: “Jika seorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaknya ia menjadi yang terakhir dari semuanya, dan menjadi pelayan semuanya” (Mrk 9:35). Tetapi supaya para murid dapat lebih memahami maksud Yesus, Ia memanggil seorang anak kecil, memeluknya dan berkata: “Barangsiapa menerima seorang anak seperti ini demi namaKu, dia menerima Aku. Dan barangsiapa menerima Aku, sebenarnya bukan Aku yang mereka terima, melainkan Dia yang mengutus Aku” (Mrk 9: 37). Menjadi pemimpin atau orang terkemuka berarti siap untuk melayani. Untuk menjadi pelayan yang baik, orang harus rela menjadi kecil, tidak terkenal tetapi membuat orang lain menjadi bahagia dan terkenal.
Sekarang mari kita teliti semua pelayanan yang sedang kita lakukan. Apakah kita pernah
sadar dan merasa bahwa pelayanan kita akan sukses dan menyenangkan kalau kita juga boleh mengalami disakiti, dianggap tidak berarti apa-apa tetapi kita sendiri tidak putus asa, dan tetap setia melayani? Ataukan yang terjadi adalah rasa putus asa yang membara, kurang percaya diri dan benci yang berkobar-kobar kepada seseorang? Melayani seperti Yesus berarti menderita, memikul salib dan membuat orang lain bahagia.
Kitab Putra Sirak dalam bacaan pertama membantu kita untuk bertahan dalam penderitaan. Ada aneka pencobaan yang akan dialami sepanjang hidup namun hal terpenting adalah kesabaran dan kepercayaan kepada Allah. Mengabdi dengan setia Tuhan berarti siap menghadapi dan mengalami pencobaan. Kita juga diharapkan untuk selalu bersatu dengan Tuhan dan tidak berpaling dariNya. Mencintai
Tuhan berarti siap dihina, dianiaya. Barangsiapa bertahan maka ia akan memperoleh sukacita kekal di surga. Tuhan memang pengasih dan penyayang, Ia mengampuni dosa dan menyelamatkann di waktu kemalangan.
Sabda Tuhan pada hari ini mengajak kita untuk setia melayani seperti Yesus sang pelayan sejati. Ia melayani sampai tuntas dengan mengorbankan diriNya hingga sengsara, wafat dan bangkit pada hari ketiga. Menjadi pelayan berarti siap untuk dihina, dianiaya dan kalau bertahan dalam situasi yang sulit maka ia sendiri menyelamatkan nyawanya (Mat 16:25). Yesus sendiri sebagai Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa (Mat 20:28). Dalam situasi yang sulit karena penganiayaan, jangan pernah takut untuk tetap siap melayani Tuhan dan sesama.
Doa: Tuhan Yesus, bantulah kami agar memiliki kemampuan melayani lebih sungguh lagi di dalam hidup dan karya kami. Amen