Hari Rabu, Pekan Biasa XXIII
Mzm 145: 2-3.10-11.12-13b
Luk 6:20-26
Ada seorang konfrater di Siria menulis kepada saya untuk mendoakan negaranya yang sedang mengalami kemalangan akibat ulah manusia yang sombong. Ia menulis “Gereja di Siria sedang mengalami penganiayaan. Iblis sedang bekerja di negeri kami sehingga darah mengalir di mana-mana. Doakan kami!” Ketika membaca pesannya ini saya lalu mengingat komunitas Kristiani yang berada di Mesir, Pakistan dan tempat-tempat lain yang mengalami penganiayaan. Mereka mengalami kemiskinan, lapar, menangis dan dianiaya. Situasi ini membutuhkan rasa empati yang mendalam sebagai saudara di dalam Kristus. Pada hari ini tanggal 11 September, kita juga mengingat peristiwa yang mengagetkan dunia. Ada empat serangan bunuh diri yang telah diatur terhadap beberapa target di New York City dan Washington DC. Pada pagi itu ada 19 pembajak dari kelompok militant Islam, al-Qaeda membajak empat pesawat jet penumpang. Para pembajak sengaja menabrakan dua pesawat ke Menara Kembar World Trade Center di New York City. Pembajak juga menabrakkan pesawat ketiga ke Pentagon di Arlington, Virginia. Ada 3000 jiwa tewas dalam serangan itu.
Merenungkan peristiwa-peristiwa yang keji di Siria, Mesir, dan serangan para teroris yang mengakibatkan korban jiwa yang tidak bersalah membuat kita menyadari bahwa di dunia ini ada kejahatan terstruktur. Tuhan menciptakan manusia sebagai pribadi-pribadi yang merdeka tetapi manusia menyalahgunakan kemerdekaannya untuk melakukan tindakan kejahatan. St. Paulus dalam bacaan pertama mengajak kita semua untuk menjadi manusia baru. Bagi Paulus manusia baru berarti manusia lama yang ada di dalam diri pribadi haruslah dimatikan. Paulus berkata: “Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah.Apabila Kristus yang adalah hidup kita, menyatakan diri kelak, kamu pun akan menyatakan diri bersama dengan Dia di dalam kemuliaan” (Kol 3:3-4).
Bagaimana menjadi manusia baru? Paulus memberi syarat penting yakni pertama, bermati raga. Ia berkata, “Matikanlah di dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat, dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala.” (Kol 3:5). Bagi Paulus, semua dosa ini menggambarkan hidup lama dari setiap pribadi dan semua ini dapat mendatangkan murka Allah. Kedua, membuang rasa marah, geram, kejahatan, fitnah, dan kata-kata kotor yang keluar dari mulut. jangan saling mendustai”. Ketiga, menganggap semua orang sebagai saudara. Maka tidak ada lagi orang Yunani atau Yahudi, orang bersunat atau tidak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu. Paulus mengatakan bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu. Perkataan Paulus ini memang benar dan patut kita akui. Tuhan Yesus Kristus adalah segalanya. Dia yang berkuasa untuk memanggil dan memilih para muridNya, mengutus mereka sebagai Mitra KerjaNya. Para Rasul pilihanNya akan bekerja atas nama Yesus sendiri untuk menyelamatkan semua orang.
Di dalam bacaan Injil kemarin (Luk 6: 12-19),Tuhan Yesus Kristus memanggil dan memilih duabelas orang menjadi Rasul-RasulNya. Mereka turun dan berhenti di sebuah tempat yang datar di mana terdapat sejumlah besar dari murid-muridNya dan banyak orang lain yang datang dari Yudea, dari Yerusalem, dari daerah Pantai Tirus dan Sidon. Mereka semua adalah simbol umat Mesianis yang sedang menantikan Yesus sang Mesias untuk menyampaikan Kabar gembira kepada mereka yang miskin, para tawanan, orang-orang buta dan orang-orang tertindas (Luk 4:18-19; Yes 61:1-2; 58:6). Ketika itu Yesus mengangkat kepala dan memandang mereka penuh kasih lalu mengucapkan Sabda Bahagia kepada mereka. Di sini Sabda Bahagia yang diucapkan Yesus ditujukan secara langsung kepada mereka semua dalam situasi hidup mereka yang konkret (karena menggunakan orang kedua: kamu). Mereka yang disapa berbahagia adalah mereka yang masuk dalam empat kategori ini: miskin, lapar, menangis dan dianiaya. Yesus juga langsung mengecam orang-orang yang kaya, kenyang, tertawa dan suka dipuji.
bergantung pada orang lain). Orang miskin adalah orang yang hidupnya bergantung pada orang lain. Mengapa? Karena Ia hidup dalam suasana penindasan dan direndahkan. Sekedar untuk diketahui bahwa bentukan kata yang muncul kemudian adalah ‘anaw yang berarti orang miskin, orang bersahaja, orang saleh. Yesus memandang para muridNya sebagai orang ‘anaw dan mengatakan kepada mereka berbahagia karena mereka memang orang-orang sederhana dan miskin sehingga mereka juga terbuka pada Sabda dan PengajaranNya.
Mereka yang menangis. Siapakah orang yang menangis? Mereka yang mengalami penderitaan karena kemiskinan akibat situasi sosial, mereka yang menderita karena mengimani Kristus. Yesus menjanjikan suka cita Mesianis dimana mereka semua akan tertawa (Mzm 126, 2).
Mereka yang mengalami penganiayaan. Banyak orang mengalami penganiayaan karena nama Yesus Kristus yang mereka imani. Yesus mengetahui bahwa di antara mereka yang mendengarnya mengalami penderitaan tersendiri. Mereka memiliki salib-salib kehidupan yang harus mereka pikul. Yesus berkata, “Barangsiapa mau mengikuti Aku harus menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Aku” (Mat 16:24; Mrk 8:34 dan Luk 9:23).
Di samping mengucapkan Sabda Bahagia kepada kaum miskin, yang lapar, menangis dan dianiaya, Yesus juga mengecam orang-orang yang mendengarNya tetapi hati mereka masih tertutup untuk menerima sesama yang miskin, lapar, menangis dan dianiaya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kekayaan, kepuasan, kepemilikan harta duniawi, hormat akan membawa orang menutup dirinya terhadap sesama dan Tuhan sendiri. Orang tidak lagi mengandalkan Tuhan dan membuka dirinya kepada sesama. Orang kaya dalam pikiran Lukas adalah mereka yang puas dengan semua kebutuhan hidupnya sehingga tidak lagi membutuhkan Tuhan dan sesama. Rasanya kecaman Yesus ini lebih ditujukan kepada kaum Farisi dan para ahli Taurat namun demikian, perilaku hidup kita setiap hari pun menyerupainya sehingga pantas untuk dikecam Yesus.
Sabda Tuhan Yesus pada hari ini sangat nyata di dalam hidup kita. Pertanyaan bagi kita adalah Apakah anda dan saya merasa bahagia di dalam hidup ini dengan segala sesuatu yang sudah kita miliki? Atau kita masih bersifat avarice sehingga melupakan orang lain? Apakah dalam upaya membangun Kerajaan Allah di dunia ini kita dapat memiliki perhatian yang besar kepada sesama yang papa miskin, yang lapar dan haus, yang menangis, yang mengalami penganiayaan? Kalau kita akhirnya menutup mata hati kita kepada mereka maka kecaman Yesus akan sungguh nyata kita alami di dunia ini. Mari kita mewujudkan cinta kasih kepada Tuhan dan sesama.