Seorang yang tulus hati!
Seorang ibu pendengar setia Renungan Pria Katolik mendapat nomor HP saya entah dari siapa dan mengirim sebuah pertanyaan yang kelihatan sederhana tetapi sangat bermakna. Pertanyaannya adalah: “Apakah masih ada Pria Katolik yang tulus hatinya?” Saya membalas pesan singkatnya dengan bertanya kembali maksud dibalik pertanyaannya itu. Dia lalu bercerita cukup panjang tentang keadaan perkawinannya yang baru berlangsung satu tahun. Dia merasa ada yang tidak beres dengan suaminya karena dua bulan setelah menikah relasi mereka mulai terasa hambar, padahal masa pacaran mereka supuluh tahun. Hingga sekarang usia kehamilannya sudah enam bulan tetapi dia merasa seperti single parent karena suaminya selalu pulang malam dengan seribu satu alasan, membiarkan dia mengatur dirinya sendiri sebagai ibu hamil, banyak kali mendapat kekerasan verbal dan fisik. Singkat kata keaslian suaminya baru kelihatan di tahun pertama pernikahan ini. Makanya ia bertanya kepadaku apakah masih ada Pria Katolik yang yang tulus. Dia juga berharap semoga Renungan Pria Katolik dapat membangunkan suaminya dari alam ketidatulusan hati.
Saya membaca sharing pengalamannya itu melalui pesan singkat sambil membayangkan situasi keluarga muda ini. Mungkin yang di idam-idamkan sebelumnya adalah sebuah keluarga yang bahagia meskipun ada juga penderitaan, tetapi yang terjadi bagi seorang ibu muda yang sedang hamil adalah merasa menderita karena suaminya tidak tulus hati. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tulus berarti sungguh dan bersih hati (benar-benar keluar dari dalam hati yang suci), jujur, tidak pura-pura, tidak serong. Jadi kalau kita berbicara tentang ketulusan hati berarti kita berbicara tentang hati yang bersih. Hati bagi orang-orang Yahudi di dalam Kitab Suci menunjukkan totalitas seluruh hidup manusia. Makanya Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang suci hatinya karena mereka akan melihat Allah” (Mat 5:8). Hati yang suci itu adalah hati yang transparan, tembus pandang. Hati yang hanya terarah saja kepada Tuhan.
Mengingat kembali pengalaman dan pertanyaan ibu muda di atas membuat kita semua patut berefleksi tentang ketulusan hati sebagai pria katolik. Banyak kali orang yang berkeluarga mudah menjadi tidak tulus hati karena kurang memiliki komitmen dalam hidup berkeluarga. Tujuan hidup bersama di dalam berkeluarga adalah saling melengkapi untuk menjadi sempurna. Yesus dengan jelas mengatakan: “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduannya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu dan Tuhanlah yang mempersatukan mereka sehingga tidak dapat dipisahkan” (Mat 19:5-6). Dua kata kunci yang patut kita pegang adalah kata meninggalkan dan bersatu. Pria katolik yang tulus hati memiliki kerelaan dan komitmen untuk meninggalkan orang-orang yang dikasihinya yakni ayah dan ibunya supaya ia bisa mengasihi dan bersatu dengan istrinya. Hanya orang beriman yang mengerti makna meninggalkan dan bersatu.
Dalam pengalaman sebagai seorang pastor, saya tidak hanya mengenal keluarga-keluarga yang tidak tulus hati. Ada lebih banyak keluarga yang tulus hati dan mau mewujudkan kekudusan diri sebagai suami dan istri dan juga kekudusan anak-anak mereka. Saya menyaksikan bagaimana mereka datang ke gereja bersama-sama dan dalam tanda-tanda lahiria mereka menunjukkan devosi dan mengajarkannya kepada anak-anak mereka. Mereka yang tulus hati juga merasa bahagia dalam hidup bersama. Tentu saja ada juga pengalaman pergumulan tertentu karena biasanya pasangan suami istri sungguh-sungguh jatuh cinta pada saat mereka sudah hidup bersama sebagai suami dan istri yang sah. Keaslian karakter mereka itu baru nampak dengan jelas ketika mereka tinggal serumah. Maka sepuluh tahun berpacaran ternyata masih belum cukup sehingga penuh dengan kekurangan.
Pada hari ini para Pria Katolik patut memandang figur St. Yusuf yang kita baca riwayatnya di dalam Injil. Dikisahkan bahwa Yusuf keturunan Daud bertunangan dengan Maria. Maria menerima kabar sukacita dari Malaikat Gabriel bahwa ia akan mengandung dari Roh Kudus. Maka terjadilah bahwa Maria hamil dan bisa dibayangkan bagaimana suasana bathin dari Yusuf sang tunangan. Secara manusiawi dan sebagai seorang pria sejati, ia tentu patah hati dan marah. Dalam situasi yang sulit ini ia masih mengontrol diri dan menaruh rasa hormatnya kepada Maria. Penginjil Matius mengatakan: “Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam” (Mat 1:19). Tetapi sambil mempertimbangkan maksudnya itu Tuhan meluruskan kembali hatinya sehingga ia menerima Maria dengan tulus hati (Mat 1:24).
Lihatlah bahwa pengalaman Yusuf sebagai seorang pria sejati itu sangatlah berat. Ia berada dalam suatu pergumulan sebagai seorang pria Yahudi yang menjunjung tinggi martabat pria sebagai kepala keluarga. Tetapi Yusuf taat kepada kehendak Tuhan. Ketulusan hatinnya mengubah hidupnya dan mempersembahkan hidupnya untuk memelihara Maria dan Yesus. Kita mengingat episode ketika Yesus berusia 12 tahun dan hilang di dalam Bait Allah. Setelah tiga hari mencari dan menemukanNya, Bunda Maria berkata: “Nak,mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapamu dan aku cemas mencari Engkau” (Luk 2:48). Ketulusan Yusuf ditunjukkan dengan selalu berada bersama Maria dan Yesus. Ada kecemasan untuk mencari dan menemukan Yesus di dalam hidupnya.
Pada hari ini kita semua merasa diteguhkan. Banyak orang tidak tulus di dalam hidup berkeluarga, pekerjaan dan pelayanan di dalam Gereja. Mari kita memandang St. Yusuf yang tulus hati. Dia percaya dan mempercayakan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Saya yakin bahwa St. Yusuf menjadi inspirator ketulusan hati bagi para Pria Katolik. Kalau anda seorang suami jadilah suami yang tulus. Kalau anda seorang pacar, jadilah pacar yang tulus hati. Kalau anda seorang pemimpin, jadilah seorang pemimpin yang tulus hati. Seharusnya anda merasa malu kalau pasanganmu tulus hati dan anda sendiri tidak tulus hati.
PJSDB