Beranilah dalam hidupmu!
Ada seorang romo yang menceritakan pengalamannya seperti ini: Dia adalah seorang penakut. Ketika masih kecil ia tidak berani keluar malam untuk buang air, harus ada orang yang lebih dewasa menemaninya. Pengalaman paling menakutkan adalah ketika ada kematian. Ia tidak berani dekat dengan jenazah. Ia dapat mengingat jenazah itu sampai berhari-hari dan membuatnya merasa takut berkepanjangan. Ketika ia mengatakan niatnya untuk menjadi seorang imam, muncul banyak keberatan termasuk salah satunya adalah ketakutannya terhadap jenazah. Orang tuanya mengingatkannya bahwa nantinya ia akan memberkati jenazah maka ia akan melihat secara langsung jenazah yang menakutkannya di masa kecil. Tetapi ia berusaha untuk menjadi berani, dan lama kelamaan ia menjadi akrab dengan jenazah. Ketika mendengarnya bercerita, saya ingat seorang kudus dari Serikat Salesian Don Bosco (SDB) yaitu Beato Artemide Zatti. Dia adalah seorang mantri maka berani meminta supaya jenazah tertentu boleh dibaringkan di kamar tidurnya, ketika tidak ada lagi tempat tidur di rumah sakityang ia layani.
Di dalam masyarakat kita pada umumnya kaum pria dianggap sebagai pribadi-pribadi yang berani di dalam hidupnya. Apabila para pria tidak berani maka dianggap menyerupai wanita, meskipun banyak wanita juga kaum pemberani. Karena anggapan bahwa kaum pria adalah kaum pemberani maka kadang-kadang bisa muncul kekerasan tertentu yang dilakukan kaum pria terhadap kaum lemah seperti para wanita dan anak-anak dan juga terhadap kaum pria lain sehingga dapat menimbulkan pergolakan tertentu.
Ketakutan sebenarnya sudah melekat di dalam diri manusia sejak adanya manusia pertama. Tuhan sudah memberikan keberanian kepada mereka untuk tinggal di taman Eden yang nyaman tetapi akibat mereka jatuh dalam dosa maka berdampak juga pada ketakutannya. Kita ingat episode Adam dan Hawa bersembunyi di balik pohon saat Tuhan berjalan-jalan dan memanggil mereka: “Dimanakah engkau?” (Kej 3:9). Adam dan Hawa mendengar Tuhan dan mereka takut (Kej 3:10). Ketakutan ini berlangsung turun temurun hingga kita saat ini. Namun Kitab Suci juga mengajarkan kita supaya tidak menjadi penakut tetapi hidup dalam keberanian. Kita ingat ketika Petrus dan Yohanes dilepaskan, bersama jemaat mereka berdoa supaya diberikan keberanian untuk memberitakan Firman (Kis 4:29). Di dalam Yesus, Paulus mengingatkan jemaat di Efesus bahwa mereka akan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan dan iman kita kepadaNya (Ef 3:12). Dalam sejarah Gereja, kaum pria dan wanita berani mempertaruhkan nyawanya bagi Yesus. Banyak yang meninggal dunia sebagai martir.
Apakah para Pria Katolik masih bermentalitas penakut? Saya teringat pada C. S Lewis yang berkata: “Keberanian bukan sekadar salah satu wujud kebajikan melainkan wujud setiap kebajikan yang tengah diuji”. Perkataan Lewis ini kiranya sangat logis dengan hidup kita. Ada saja belenggu yang menghalangi kemerdekaan pribadi sehingga yang ada di dalam diri kita adalah roh ketakutan bukan roh keberanian. Keberanian dapat kita miliki ketika kita merasa bahwa di dunia ini kita tidak sendirian. Artinya kita memang membutuhkan orang lain supaya hidup kita lebih bermakna. Kita dapat membungkus ketakutan dengan lapisan keberanian. Helen Keller pernah berkata: “Kapankah kita akan sadar bahwa kita semua terikat satu sama lain, sehingga kita semua adalah bagian dari satu tubuh?” Maka kita dapat menjadi pribadi yang berani ketika kita merasa membutuhkan orang lain yang dapat meringankan hidup kita dari segala beban yang kita pikul.
Mari kita memandang Yesus sang inspirator kita. Selama hidupNya, Yesus tidak pernah merasa takut. Dia adalah seorang pemberani. Ia selalu frontal dengan kaum Farisi dan para ahli Taurat yang lebih mementingkan adat istiadat dan lupa memperjuangkan kasih dan keadilan. Puncak keberanianNya adalah ketika Ia siap memikul salib dan wafat di atas kayu salib. Ia tidak takut kepada kematian, Ia justru mengalahkan kematian dengan kebangkitanNya yang mulia pada hari ketiga.
Mark Twain pernah berkata: “Keberanian adalah perlawanan terhadap rasa takut, penguasaan rasa takut, tidak adanya rasa takut”. Alan Cohen juga berkata: “Sangatlah dibutuhkan keberanian untuk melepaskan diri dari rasa nyaman untuk merangkul hal baru. Tetapi tidak ada keamanan yang nyata dalam apa yang tidak lagi bermakna. Ada keamanan lebih dalam petualangan menarik, karena dalam gerakan ada kehidupan, dan dalam perubahan ada kekuatan”.
Anda sebagai seorang pria, mengapa masih merasa takut? Mengapa anda tidak berani di dalam hidupmu? Anda sebagai pria katolik, mengapa anda tidak berani mewartakan Injil? Anda sebagai pria katolik, mengapa anda tidak mampu mempertahankan bahtera pernikahanmu? Mengapa anda tidak berani mempertahankan panggilan dan pengabdianmu di dalam gereja dan masyarakat? Ingatlah, hanya orang beriman dapat menjadi berani di dalam hidupnya karena ia merasa bahwa Tuhan menyertainya.
PJSDB