Masa lalu itu sangat mendidik
Selama menjadi seorang biarawan dan imam dalam Serikat Salesian Don Bosco, banyak waktu saya habiskan sebagai formator atau Pembina di tempat pembinaan para calon imam dan bruder. Sebenarnya tempat pembinaan para calon imam dan bruder bukanlah tempat yang enak. Mungkin orang lebih suka menjadi imam di Paroki, Sekolah atau lembaga-lembaga social dalam Gereja tetapi bukan tempat pembinaan calon imam dan bruder. Betapa tidak, setiap formator harus memberi yang terbaik bagi para formandi atau mereka yang dibina. Perlu diketahui bahwa setiap jenjang pembinan selalu disesuaikan dengan Ratio Fundamentalis Institutionis Sacerdotalis dari Takhta Suci dan dari kongregasi sendiri. Penjabaran Ratio selalu disesuaikan dengan spiritualitas kongregasi masing-masing.
Bagi para calon imam dan bruder yang baru masuk sebagai Aspiran dan Postulan kami memberi pembinaan yang memadai sebelum mereka naik ke tingkat yang lebih lanjut yakni masa novisiat. Di masa aspiran dan postulant, hal yang banyak kali menjadi fokus pembinaan kami adalah bagaimana membantu para pria calon iman dan bruder untuk mengenal dirinya dengan baik dan mematangkan motivasi panggilan mereka supaya dapat menjadi imam dan bruder yang baik. Ini bukanlah pekerjaan mudah selama satu dan dua tahun menyiapkan mereka. Apalagi latar belakang mereka berbeda-beda, misalnya banyak di antara mereka yang bukan berasal dari seminari menengah tetapi dari sekolah umum dan kejuruan. Faktor keluarga dan budaya yang turut memanusiakan para calon juga ikut berpengaruh dalam karakter pribadi mereka.
Setiap bulan saya selalu melakukan wawancara dengan para calon. Istilah teknis dalam kongregasi kami disebut Rendiconto. Setiap calon datang kepada saya dan mengatakan dirinya apa adanya dari factor kesehatan, hidup rohani, panggilan, relasi dengan sesama dalam komunitas dan di luar komunitas, afektifitas dan lain sebagainya. Si calon diharapkan jujur mengatakan apa adanya tentang dirinya sehingga sebagai formator saya bisa membantunya. Apabila ia tidak jujur maka ia juga tidak akan berkembang dalam kaitannya dengan dirinya sebagai calon imam dan bruder dalam kongregasi kami.
Satu kesulitan yang selalu dialami oleh para calon imam dan bruder adalah bagaimana mereka mampu membereskan masa lalu mereka. Banyak dari penderitaan dan nyeri fisik, masalah hubungan antar pribadi itu berakar pada masa lalu. Ketika saya memberi konferensi tentang kemurnian hidup, seorang calon imam dengan jujur datang kepada saya saat rendiconto dan mengatakan tentang penderitaan dan kekerasan masa lalunya karena menjadi korban pelecehan seksual dari orang yang lebih dewasa. Selama beberapa hari, pikirannya tentang penderitaan masa lalu itu selalu mengejar-ngejar dirinya, dan dia mengakui lelah segalanya, sehingga meminta dirinya untuk mundur dari statusnya sebagai calon imam. Nah, masalahnya bukan pada dirinya mundur dari biara tetapi pada bagaimana menyembuhkan luka masa lalu itu sehingga dia bisa menjadi pemuda yang sehat dan normal kembali. Bagaimana dirinya yang dihantui kekerasan dan pelecehan seksual itu dan membebaskan dia supaya dia jangan mencari korban baru.
Membereskan masa lalu bisa berarti memaafkan seseorang atas ketidakadilan atau kesalahannya yang telah dilakukannya bagi diri kita. Tindakan mereka telah melukai hidup dan masa depan kita. Nah masa lalu ini menjadi titik acuan untuk maju atau mundur. Memaafkan disini merupakan cara baru yang lazim untuk mengendalikan rasa marah, mengurangi stress dan memulihkan kesehatan. Saya teringat pada Mohandas Gandhi yang pernah berkata: “Orang yang lemah tidak pernah bisa memaafkan, kemampuan untuk memaafkan adalah sifat orang kuat”. Ketika kita merasa bahwa masa lalu itu menyakitkan maka kita harus berjuang untuk menjadi kuat sehingga mampu menaklukan diri kita yang terluka, bisa menyembuhkan diri kita. Ini berarti kita harus menjadi orang kuat untuk melawan diri kita sebagai musuh nomor satu.
Catherine Ponder adalah seorang penulis yang juga prihatin terhadap masa lalu. Di dalam bukunya The Dynamic Laws of Prosperity, ia mengatakan bahwa memaafkan masa lalu adalah salah satu teknik yang dapat membuat kita menjadi kaya raya. Memaafkan diri dan masa lalu itu memiliki power yang luar biasa. Cobalah sebagai seorang pria katolik anda duduk sebentar dan tanyalah dirimu sendiri apa dan siapa yang perlu anda maafkan pada masa lalu. Apakah dia adalah Tuhan, orang tua, mantan pacar, istri, pimpinanmu yang harus anda maafkan. Pikirkan wajah mereka dan katakan dengan jujur, apakah anda yakin dapat memaafkan mereka dengan sepenuh hati.
Tentu memikirkan kembali itu sama dengan mengorek luka lama dan pedih rasanya. Nah, memaafkan berarti menghentikan perasaan sebagai korban dan berhenti menjadikan orang lain bertanggung jawab terhadap kehidupan kita. Dengan mempersalahkan orang lain kita secara pribadi mengesampingkan tanggung jawab pribadi kita. Misalnya saya adalah korban yang telah menderita karena dilecehkan, kini saya memberi mereka kekuasaan untuk menentukan kebahagiaan saya. Pikiran semacam ini dapat menyerang bagian-bagian tubuh yang lemah seperti perut, kepala, punggung sehingga terasa nyeri dan sakit. Sebenarnya kemampuan untuk memaafkan dapat mengobati luka-luka fisik kita: nyeri punggung, mengurangi stress dan memulihkan suasana hati.
Masa lalu itu sangat mendidik. Oleh karena itu kalau anda terluka silakan membereskan masa lalumu. Memaafkan adalah membebaskan orang yang dipenjarakan dan menyadari bahwa yang terpenjara itu adalah diri kita sendiri. Anda bisa keluar dari penjara itu kalau dirimu menyadari kehadiran Tuhan yang selalu menyapamu: “Aku ini, Jangan Takut”. (Yoh 6:20).
PJSDB