Menerima apa adanya
Pada suatu kesempatan saya mendapat undangan untuk memberkati sebuah rumah. Keluarga itu saya belum kenal sebelumnya. Saya menemukan sesuatu yang unik di rumah itu. Pasutri ini memiliki seorang putera yang mengalami retardasi mental. Sambil duduk ngobrol, anak itu datang dan duduk di pangkuan ayahnya. Beberapa kali saya melihat ayahnya mengelus-elus kepala anak itu, mengatakan sayang kepadanya, anak papa paling paling hebat, ia memberi hp-nya supaya anak itu main game yang bisa dimainkannya. Suasananya sangat akrab. Sang ayah memperkenalkannya kepada saya. Ia masih malu-malu tetapi akhirnya bisa menyebut kata Mo. Ibunya juga menaruh kasih sayang kepada anak usia 10 tahun ini.
Pada kesempatan makan bersama, bapa keluarga itu memulai pembicaraan dengan saya. Ia mengharapkan supaya saya tidak merasa kaget karena mengetahui bahwa anaknya mengalami retardasi mental. Saya mengangguk dan mengatakan kepadanya bahwa anak itu adalah pemberian dari Tuhan. Semua orang tua menginginkan yang terbaik tetapi Tuhan yang memberi dan manusia dalam hal ini orang tua menerima apa adanya. Ia mengatakan bahwa jawaban saya tepat sekali bahwa anak adalah hadia dari Tuhan. Ia mengakui bahwa dari anaknya dia belajar banyak hal misalnya bagaimana menjadi orang sabar, bagaimana mengasihi istri dan anaknya. Dia juga bersyukur karena Tuhan memberkati usahanya yang berkembang luar biasa sehingga mereka tidak mengalami kesulitan apa pun. Rumah yang diberkati adalah salah satu berkat yang kelihatan. Ia juga berbangga karena anaknya adalah berkat istimewa dari Tuhan dan ia menerimanya apa adanya.
Ya, menerima apa adanya orang-orang di sekitar kita itu hal yang luhur. Bapa dari anak ini adalah orang hebat yang memiliki prinsip yang luhur. Ia mengakui tidak pernah mempersalahkan istrinya atau mempersalahkan Tuhan. Banyak orang tua khususnya ayah yang tidak berlaku demikian. Ketika memiliki anak berkebutuhan khusus mereka mudah putus asa, tidak menerima anaknya, mencari istri lain dengan harapan akan memiliki anak yang normal. Ini adalah kaum pria yang tidak memiliki jati diri yang normal. Pria semacam ini tidak legowo menerima kehendak Tuhan di dalam hidupnya.
Dari Kitab Suci, kita kembali ke Yusuf, Bapa Pengasuh Yesus. Ia menghormati Bunda Maria dan menerima Bunda Maria apa adanya. Hidup berkeluarga seperti ini benar-benar menghadirkan wajah Allah sebagai kasih. St. Yohanes mengatakan Allah adalah kasih. St. Paulus mengatakan kasih itu murah hati, ia tidak cemburu, ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Kasih itu sabar menanggung segala sesuatu (1Kor 13:4.7). Orang yang tingal di dalam kasih berarti tinggal di dalam Tuhan dan akan menerima semua orang apa adanya seperti yang Tuhan lakukan.
Tuhan Yesus menerima kita semua apa adanya. Di dalam episode Ia memanggil Lewi untuk mengikutiNya maka Lewi langsung mengikutiNya. Sebagai tanda syukur, Lewi mengadakan perjamuan yang dihadiri oleh para pemungut cukai sehingga menimbulkan konflik antara orang-orang Farisi dan Yesus. Di sini Yesus menunjukkan sesuatu yang sangat berbeda yakni Ia menerima semua orang apa adanya. Ia membenci dosa dan salah yang dilakukan manusia tetapi sangat mengasihi manusia yang berdosa sehingga Ia datang untuk menyelamatkan. Hal yang penting di sini adalah bagaimana Yesus menunjukkan satu bentuk hidup baru: Membenci dosa manusia tetapi mengasihi pendosa.
Contoh-contoh ini mau mengatakan kepada kita supaya mampu menerima semua orang apa adanya. Ketika kita belajar memaafkan diri kita maka kita dapat menerima orang lain apa adanya. Kita sendiri tidak akan merasa terganggu oleh sesuatu dari mereka bahkan sesuatu yang melebihi apa yang kita miliki. Saya ingat Sondra Ray pernah berkata: “Berserah diri adalah melepaskan kontrol tanpa kehilangan kekuatan”. Kasih yang agung membuat kita mampu menerima semua orang apa adanya. Pria Katoliki pasti bisa!
PJSDB