Uomo di Dio

Seorang ayah yang berkorban

 

P. John SDBSahabat saya adalah seorang petinggi militer. Ia memiliki banyak anak buahnya. Setiap kali ia lewat di depan mereka yang pangkatnya lebih rendah, mereka menaruh hormat kepadanya. Banyak orang juga merasa segan ketika bertemu dan berbicara dengannya. Pada suatu hari saya bertamu ke rumahnya. Ia memiliki cucu yang masih kecil. Saya memperhatikan bagaimana ia menunjukkan keaslian sebagai seorang ayah. Ia menggendong cucunya dan memberi susu kepadanya. Ia juga membersihkan mulut cucunya yang kotor karena makan biskuit. Saya bertanya kepadanya, mengapa tidak menggunakan babysitter. Ia mengatakan, sejauh ia dan istrinya masih bisa melakukannya, mereka akan melakukannya dengan sepenuh hati demi anak dan cucunya. Saya kembali ke rumah dengan hati yang penuh sukacita karena berjumpa dengan seorang pria yang disapa opa yang tetap memiliki hati sebagai ayah yang baik. Ayah yang berkorban untuk anak dan cucunya.

Pengalaman persahabatan ini sangat mendidik. Setiap ayah yang bekerja di kantor mungkin saja memiliki Parentkedudukan tertentu, ia memerintah siapa saja yang ada di bawahnya tetapi ketika kembali ke rumah, ia tetaplah seorang ayah bagi anak-anak dan suami bagi istri. Ia tetap melakukan tugasnya sebagai ayah atau opa yang mengasihi. Saya melihat aspek cinta kasih dan pengorbanan diri melekat di dalam diri para orang tua (ayah dan ibu). Seorang ayah tidak pernah kuliah jurusan Ayahlogi tetapi ia belajar dari pengalaman untuk menjadi ayah yang baik. Ia belajar dengan semangat rela berkorban di dalam hidupnya setiap hari. Ayah adalah sebuah panggilan yang Tuhan tanamkan di dalam hati mereka.

Mari kita memandang Yesus sang Inspirator kita. Penginjil Markus mengisahkan bahwa Yesus secara terang-terangan menunjukkan diriNya sebagai Mesias yang menderita. Ia berkata kepada para muridNya: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia. Tetapi tiga hari setelah dibunuh, Ia akan bangkit” (Mrk 9:31). Semua yang Yesus katakan di sini terlaksana ketika Ia mengorbankan diriNya di atas kayu Salib. Ia berkorban, wafat bagi kita semua. Semuanya ini Ia lakukan karena cinta kasihNya kepada kita semua.

Saya ingat St. Yohanes Bosco. Ia memang kehilangan figur seorang ayah karena ayahnya meninggal dunia ketika masih berusia dua tahun. Ibunya, Margaretha Occhiena selalu mengarahkan Yohanes Bosco untuk bersatu dengan Tuhan Allah Bapa. Persatuan yang akrab ini membuat Yohanes Bosco merasakan panggilan khusus untuk menjadi bapak, guru dan sahabat kaum muda. Kepada kaum muda, Yohanes Bosco berkata: “Bagi kalian saya belajar, bagi kalian saya hidup, bagi kalian saya bahkan rela menyerahkan nyawa saya”.

Bagaimana mewujudkan diri sebagai ayah yang berkorban?

Rekan-rekan Pria Katolik, nilai pengorbanan diri itu ada kalau kita memiliki waktu untuk berkorban. Tuhan Yesus mengatakan bahwa Ia akan mengalami misteri Paskah dengan menderita, wafat dan bangkit karena Ia memiliki waktu keselamatan bagi manusia. Don Bosco mengungkapkan pengorbanan dirinya bagi kaum muda melalui kehadirannya yang terus menerus untuk menyelamatkan mereka. Itulah sebabnya Beato Yohanes Paulus II mengatakan Don Bosco sebagai Iuvenum Patris (Bapak kaum muda). Sahabat saya adalah seorang petinggi militer di kantor, tetapi di rumah dia tetaplah ayah dan opa yang baik. Dia rela berkorban untuk anak dan cucunya.

Para Pria Katolik hendaknya menjadi pribadi-pribadi yang memilili semangat rela berkorban yang tinggi. Pria katolik yang siap memikul salib, siap menderita karena cintanya kepada sesama di dalam keluarga, gereja, bangsa dan negara. Tidak ada kasih yang paling besar selain kasih seorang yang menyerahkan nyawa untuk sahabat-sahabatnya (Yoh 15:13).

Rekan-rekan Pria Katolik, apakah anda memiliki waktu yang cukup setiap hari untuk keluarga, untuk Tuhan dan untuk masyarakat luas? Memanfaatkan waktu dalam melayani menuntut pengorbanan diri yang besar!

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply