Pesta St. Matias Rasul
Kis 1:15-17,20-26
Mzm 113:1-2,3-4,5-6,7-8
Yoh 15:9-17
Mengasihi Lebih Sungguh!
Pada hari ini seluruh Gereja merayakan Pesta St. Matias, Rasul. Ketika para rasul masih berkumpul untuk menanti kedatangan Roh Kudus maka Petrus mengusulkan agar diadakan pemilihan seorang murid untuk menggantikan posisi Yudas Iskariot. Syaratnya adalah seorang yang mengikuti Yesus dari saat pembaptisanNya sampai Ia naik ke Surga karena seorang Rasul bertugas untuk bersaksi tentang Sabda, karya dan kebangkitan Yesus Kristus. Ada dua nama yang diusulkan yakni Yosef atau Barsabas dan Matias. Matias terpilih menjadi pengganti Yudas Iskariot. Ia adalah pribadi yang setia, tekun dan bersemangat prihatin. Ia menjadi pewarta cinta kasih Allah dalam diri Yesus Kristus hingga ke Eropa. Makamnya terdapat di Trier, Jerman.
Bacaan injil pada perayaan St. Matias berbicara tentang perintah Yesus bagi kita untuk saling mengasihi. Saya mulai renungan dengan sebuah pengalaman mendampingi sebuah keluarga yang pernah mengalami badai. “Cinta kasih di dalam keluarga itu adalah sebuah perjuangan istimewa setiap hari.” Inilah perkataan seorang sahabat ketika berbicara tentang masa depan keluarganya yang sedang mengalami badai. Ada sepasang suami dan istri datang kepadaku dan berbicara tentang masalah keluarga mereka yang sangat rumit. Usia pernikahan mereka adalah sepuluh tahun dan sudah dianugerahi dua orang anak yang baik-baik. Belakangan ini sang istri mencurigai suaminya karena ada perubahan perilaku suami dalam hal komunikasi dan sudah lama tidak melaporkan penghasilannya seperti lima tahun pertama pernikahan mereka. Kecurigaan istri semakin menjadi-jadi dan suami pun semakin salah tingkah. Ya, suaminya memang benar berselingkuh dengan salah seorang stafnya di kantor. Ia berpikir untuk merahasiakannya. Tetapi apa yang terjadi? Istrinya sudah memiliki bukti-bukti yang jelas dan suaminya harus berkata jujur bahwa ia sudah lima tahun terakhir berselingkuh. Istrinya sangat kecewa. Ia menangis dan mau meninggalkannya tetapi ia masih memikirkan kedua anaknya yang tidak bersalah.
Saya mendengar dengan tenang kisah yang panjang dan kemudian menyarankan mereka untuk mencari waktu istimewa untuk tinggal berduaan saja selama beberapa hari. Maka mereka menitip anak-anak di rumah opa dan omanya dan pergi ke sebuah rumah retret di luar kota. Mereka berdua tinggal di sana, berdoa dan belajar untuk mengambil keputusan yang tepat bagi masa depan keluarga. Saya sendiri berpikir apakah ketika mereka bersama-sama di rumah retret itu mereka akan saling berkomunikasi dan memaafkan atau justru bertengkar sehingga bercerai. Di rumah retret itu mereka punya banyak waktu untuk berdoa, berbicara satu sama lain, merenung, berjalan bersama di taman, makan dan istirahat bersama. Pada hari terakhir, suaminya masuk ke dalam kamar dan menemukan sebuah tulisan di atas kertas putih, bunyinya: “Saya lahir hanya satu kali. Saya memaafkanmu karena ternyata engkau juga manusia yang lemah. Saya mengasihimu karena engkau adalah bagian dari hidupku. Kita tetap bersama selamanya.” Suaminya meneteskan air mata penyesalan dan pertobatan. Ia berlutut dan mencium kaki istrinya. Sekarang mereka saling mengasihi.Ini sebuah kisah keluarga yang dialami juga oleh banyak orang di antara kita. Cinta kasih itu butuh pengorbanan diri dan perjuangan istimewa. Cinta kasih yang benar butuh kerendahan hati dan saling mengampuni. St. Paulus mengatakan: “Kasih itu tidak menyimpan kesalahan orang lain.” (1Kor 13: 5).
Dalam amanat perpisahannya, Yesus memberi perintah baru kepada para muridNya untuk saling mengasihi. Mengapa mereka harus saling mengasihi? Karena Yesus menyadari bahwa kodratNya sendiri adalah kasih (1Yoh 4:8.16), maka Ia berkata, “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggalah di dalam kasihKu itu.” (Yoh 15:9). Ketika kita mengikuti perintah Yesus yakni tinggal di dalam kasihNya maka dengan sendirinya kita juga tinggal di dalam kasih Bapa.
Cinta kasih itu berasal dari Allah dan bahwa Dialah yang pertama-tama mengasihi kita. Ia selalu mengasihi kita apa adanya maka kita pun dipanggil untuk saling mengasihi satu sama lain. Cinta kasih yang benar itu butuh pengorbanan diri bukan hanya sekedar berkata “Saya mengasihimu”. Kasih yang agung dan mulia adalah kasih yang didasari oleh pengorbanan diri. Yesus berkata: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13). Kisah pengorbanan Yesus karena kasihNya kepada kita, kisah perjuangan keluarga di atas mendorong kita untuk rela berkorban demi mempertahankan cinta kasih di dalam panggilan kita masing-masing. Tuhanlah yang memanggil dan memilih kita untuk hidup seperti apa adanya saat ini.
Pada hari ini Tuhan mengingatkan kita: “Kasihilah seorang akan yang lain.” Ya, mengasihi lebih sungguh!
Doa: Tuhan, semoga hari ini kami semakin bertumbuh dalam kasih sehingga mampu mengasihi Engkau dan sesama kami. Amen
PJSDB