Hari Raya Tritunggal Mahakudus
Kel 34:4b-6.8-9
Mzm (Dan) 3:52.53.54.55.56
2Kor 12:11-13
Yoh 3:16-18
Tritunggal Mahakudus Sebagai Persekutuan Kasih
Kita telah mengakhiri masa Paskah dengan merayakan Hari Raya Pentekosta. Pokok permenungan kita lima puluh hari setelah kebangkitan Yesus Kristus itu adalah bahwa Tuhan tetap mengasihi manusia sehingga Ia mengutus Roh Kudus atau Paracletos untuk mendampingi dan mengajar banyak hal tentang persekutuan kasih Bapa dan Putera. Dalam Roh Kudus kita menemukan kebahagiaan, kedamaian di hati dan kebebasan. St. Paulus berkata: “Kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu menerima Roh yang menjadikan kamu anak-anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru Abba.” (Rom 8:15).
Pada Hari Minggu ini seluruh Gereja Katolik merayakan Hari Raya Tritunggal Mahakudus. Umat Kristiani percaya kepada satu Allah dengan tiga pribadi ilahiNya yaitu Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dengan kata lain Gereja mengungkapkan iman trinitarisnya dengan percaya kepada keesaan Allah yang di dalamNya terdapat tiga Pribadi ilahi yakni Bapa, Putera dan Roh Kudus. Katekismus Gereja Katolik (KGK) mengajarkan bahwa ketiga Pribadi ilahi ini hanya satu Allah karena masing-masing memiliki secara setara kepenuhann kodrati ilahi yang satu dan tak terbagi. Mereka berbeda satu sama lain karena relasi yang menghubungkan mereka satu sama lain. Bapa melahirkan Putra, Putra dilahirkan oleh Bapa, Roh Kudus keluar dari Bapa dan Putra. (KGK, 249-256.266).
Lebih lanjut, Katekismus Gereja Katolik juga mengajarkan bahwa ketiga Pribadi ilahi ini memang berbeda satu sama lain, namun pertanyaannya adalah bagaimana Bapa, Putra dan Roh Kudus ini bekerja? Pertama-tama pemahaman kita adalah Bapa, Putra dan Roh Kudus adalah satu Pribadi, Allah sendiri. Ketiga Pribadi ilahi ini tidak terpisahkan dalam aktivitas mereka. Tritunggal memiliki satu tindakan yang satu dan sama. Namun di dalam tindakan yang satu ini, setiap Pribadi hadir menurut cara adanya yang khas baginya di dalam Tritunggal. (KGK, 257-260.267).
Tentang Trinitas ini, Paus Emeritus XVI pernah berkata: “Ingatan tentang Allah Bapa memancarkan cahaya dalam identitas kemanusiaan kita yang terdalam: dari mana kita berasal, siapakah kita, dan betapa agungnya martabat kita. Tentu saja kita berasal dari orang tua kita, dan kita adalah anak-anaknya, tetapi kita juga berasal dari Allah yang telah menciptakan kita semua sesuai citraNya dan memanggil kita untuk menjadi anak-anakNya. Oleh karenanya, pada setiap penciptaan manusia, tidak ada yang asal-asalan atau kebetulan, melainkan melulu oleh rencana kasih Allah. Hal ini diungkapkan oleh Yesus Kristus, sungguh Anak Allah dan Anak Manusia. Ia tahu dari mana Ia datang, dan dari mana kita semua datang: dari kasih BapaNya dan Bapa kita.”
Kita mengungkapkan iman kita kepada Allah Tritunggal Mahakudus ketika membuat tanda salib. Dalam bukunya “The Spirit of Liturgy”, Paus Benedictus XVI menulis bahwa tata gerak yang mendasar dalam doa adalah tanda salib dan akan selalu demikian.” Tanda salib di mana setiap orang katolik mengakui iman trinitaris sudah ada sejak gereja lahir. St. Paulus dalam surat-suratnya selalu berbicara tentang tanda salib. Misalnya ketika ia berkata: “…Aku sekali-kali tidak akan berfmegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia.” (Gal 6:14). Seorang Bapa Gereja bernama Tertullianus pernah menulis: “Dalam semua gerak dan perjalanan kami, dalam semua kedatangan dan keberangkatan kami, ketika kami mengenakan sepatu, ketika kami mau mandi, ketika kami duduk di meja makan, ketika kami menyalahkan lilin, ketika kami berbaring mau tidur, ketika duduk, apa pun kesibukan yang sedang kami lakukan, kami menandadi dahi dengan tanda salib.” (Kaplet, 3). Ia bahkan memuji istrinya yang rajin membuat tanda salib pada tubuhnya dan pada tempat tidurnya seelum beristirahat pada malam hari.
Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengantar kita untuk memfokuskan perhatian kita bahwa Allah itu kasih. Di dalam bacaan pertama kita mendengar kisah perjumpaan Tuhan dan Musa di gunung Sinai. setelah umat Israel menyembah berhala, Musa kembali memahat dua loh batu dan pada pagi-pagi buta ia naik ke atas puncak gunung untuk bertemu dengan Allah. Apa yang terjadi saat itu? Dikisahkan di dalam Kitab keluaran bahwa Tuhan turun dalam awan, lalu berdiri di sana dekat Musa serta menyerukan nama Tuhan. Maka berjalanlah Tuhan lewat dari depannya dan berseru: “Tuhan, Tuhan, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya.” (Kel 34:5-6). Musa melihatNya maka ia pun berlutut dengan muka ke tanah sambi menyembah. (Kel 34:8).
Di dalam tradisi Kitab Suci, hanya Musalah manusia yang bisa melihat kemuliaan Tuhan. Ia memandang Allah dengan mataNya sendiri. Ini juga menjadi tanda bahwa Tuhan amat mencintai dan bersahabat dengan Musa. Musa menjadi sahabatNya. Selanjutnya Musa mengakui imannya dengan berkata: “Jika aku telah mendapat kasih karunia di hadapan-Mu, ya Tuhan, berjalanlah kiranya Tuhan di tengah-tengah kami; sekalipun bangsa ini suatu bangsa yang tegar tengkuk, tetapi ampunilah kesalahan dan dosa kami; ambillah kami menjadi milik-Mu.” (Kel 34:9). Seruan Musa kepada Tuhan yang lewat di hadapannya menunjukkan bahwa Allah itu kasih. Ia mengasihi Musa dan Musa pun memohon supaya Tuhan menunjukkan kasihNya dengan mengampuni dosa dan menjadikan umat Israel sebagai milikNya. Kasih sejati itu berarti saling menerima apa adanya. Tuhan melakukan kasih dengan menerima manusia apa adanya, meskipun manusia tegar tengkuk.
Tuhan menunjukkan diriNya sebagai Allah pengasih dan murah hati kepada umat Israel yang tegar tengkuk karena menyembah berhala. Selama-lamanya kasih setiaNya bagi manusia. St. Paulus dalam bacaan kedua menyadarkan kita semua bahwa sebagai umat Allah kita dipersatukan oleh tiga ikatan yakni cinta kasih Bapa sebagai sumbernya, rahmat yang diperoleh dari Putra karena misteri PaskahNya dan persatuan cinta kasih Roh Kudus. Ia merumuskannya dalam perkataan ini: “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, cinta kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus.” Bagi Paulus setiap orang perlu berusaha untuk memperoleh kesempurnaan. Kesempurnaan itu bisa diperoleh dengan menerima semua nasihat dan pengajarannya, hidup dalam semangat sehati sepikir, hidup dalam damai sejahtera. Allah yang mengasihi dan menyertai mereka. Itulah tandanya bahwa Allah itu kasih.
Di dalam bacaan Injil, Yohanes mengisahkan tentang dialog antara Yesus dan Nikodemus. Di dalam dialog ini Yesus mengatakan bahwa cinta kasih Bapa yang kekal menjadi nyata di dalam diri Yesus PuteraNya yang akan berkorban demi keselamatan dunia. Dengan demikian apabila kita menerima Kristus maka kita memperoleh keselamatan kekal dan apabila menolak Kristus berarti kita menghakimi diri kita sendiri. Konsekuensinya adalah setiap orang yang sudah dibaptis dalam Roh akan mengakui imannya akan Yesus Putra Allah karena hanya di dalam namaNya kita memperoleh kehidupan kekal.
Sabda Tuhan pada hari ini menguatkan kita untuk beriman dengan teguh kepada Allah Tritunggal Mahakudus. Kita tidak mampu memahamiNya dengan akal budi kita tetapi iman yang menyelamatkan itu akan menyatukan kita dengan Dia. Kita diajak untuk mengimani Allah Tritunggal Mahakudus sebagai kasih. Dialah kaih sejati, kasih yang kekal. Kita semua tidak hanya mengimaniNya tetapi belajar untuk membentuk persekutuan pribadi-pribadi dalam keluarga dan komunitas kita. Apakah keluarga-keluarga juga dapat bersekutu seperti Tritunggal mahakudus? Apakah anda membuat tanda salib dengan penuh devosi?
Saya mengakhiri homili ini dengan doa ini: “Ya Allahku, Tritunggal yang kusembah, berilah damai di dalam jiwaku; jadikanlah ini surgaMu, tempat tinggaMu yang tercinta dan tempat istirahatMu. Semoga aku tak pernah meninggalkanMu, tetapi tetap tinggal di situ, seluruhnya dan seutuhnya, siap sedia di dalam imanku, sepenuhnya memujaMu, dan sepenuhnya menyerahkan diriku kepada tindakan kreatifMu.” (St. Elizabeth dari Tritunggal).
PJSDB