Homili 19 Juli 2014

Hari Sabtu, Pekan Biasa XV
Mi 2:1-5
Mzm 10:1-2.3-4.7-8.14
Mat 12:14-21

Berani menjadi Hamba

Fr. JohnAda sebuah lingkungan yang mengadakan rekoleksi sehari dengan tema “Berani menjadi hamba”. Rekoleksi ini diadakan pada bulan Mei untuk menyadarkan serta memantapkan tenaga pastoral pada lingkungan tersebut sehingga mereka bisa berani menjadi hamba Tuhan yang melayani dengan sukacita. Saya menyiapkan refleksi-refleksi tertentu dengan sumber inspirasinya dari figur Tuhan Yesus sebagai Anak Allah yang merelakan diriNya menjadi Hamba. Bunda Maria menjadi figur Hamba Tuhan Allah yang dengan sadar melakukan kehendak Tuhan hari demi hari. Beberapa orang kudus juga saya sertakan untuk membantu para tenaga pastoral ini lebih bersemangat untuk melayani. Setelah rekoleksi itu mereka merasa ada kekuatan baru dan bertekad untuk berani menjadi hamba yang melayani. Lingkungan itu sangat hidup di parokinya karena banyak orang berani melayani.

Pada zaman ini orang sulit untuk menjadi hamba. Orang lebih suka memimpin dan menguasai daripada memimpin dan melayani. Kekuasaan itu lebih menonjol sehingga “pelayanan” kehilangan jati dirinya dalam diri para pelayan, para pejabat public dan siapa saja yang harusnya melayani demi kebaikan orang banyak. Satu contoh yang sedang terjadi di negeri kita ini. Setelah pemilihan presiden 9 Juli yang lalu sudah ada klaim kemenangan berdasarkan perhitungan cepat, bahkan kemarin hari Jumat 18 Juli 2014, sudah ada syukuran kemenangan capres tertentu dari orang yang mengaku beragama kristen. Hal-hal ini belumlah mencerminkan hasrat untuk melayani melainkan hasrat untuk menguasai. Agama dijadikan kuda beban politik untuk berkuasa bukan untuk melayani. Orang yang beriman kepada Kristus akan melayani lebih sungguh seperti Kristus Hamba Allah yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani.

Orang-orang Farisi di dalam Injil selalu digambarkan berlawanan pandangannya dengan Tuhan Yesus. Mereka bahkan bersekongkol untuk membunuh Yesus tetapi Ia sendiri bisa menghindarinya karena mengetahui persekongkolan itu. Memang mengherankan karena Yesus sendiri melakukan perbuatan-perbuatan baik seperti menyembuhkan orang-orang sakit, mengusir setan-setan dan mengajar dengan kuasa dan wibawa tetapi orang belum juga percaya kepadaNya. Sikap orang-orang Farisi ini banyak kali terjadi juga dalam diri kita masing-masing. Kita tidak melihat perbuatan baik yang dilakukan sesama tetapi hanya melihat kelemahan-kelemahan manusiawi mereka dan menertawakannya. Di samping itu pikiran kita juga hanya terarah pada diri kita sendiri dan menjadikan diri kita sebagai pembanding. Artinya ketika orang hidup dalam kuasa dosa, dia akan tetap berpikir bahwa dia tidak berdosa dan membandingkan orang lain dengan dirinya.

Kita mendapat gambaran dalam Injil bahwa kaum Farisi menjadi tidak toleran dengan Yesus karena mereka selalu berpikiran negatif dan prasangka buruk terhadap Yesus. Apa yang yang Yesus lakukan yakni perbuatan-perbuatan baik itu selalu dilihat secara negatif oleh mereka. Itulah sebabnya mereka berkonspirasi bukan hanya untuk melawanNya bahkan mau melenyapkanNya dari bumi.

Menghadapi situasi seperti ini, apakah yang harus Yesus lakukan? Tuhan Yesus tidak pernah takut menghadapi kaum Farisi dan para imam kepala. Ia tetap berani menghadapi segala hal karena Ia sungguh-sungguh mau melaksanakan kehendak Bapa. Ia menggunakan situasi yang sulit, semacam krisis untuk mengajar para muridNya bertahan dalam hidup hingga mencapai kemenangan atas krisis atau pergumulan hidup. Hal ini akan nampak jelas dalam misteri salib di mana Yesus menderita dan direndahkan demi keselamatan kita. Dari situ kita pun dipanggil untuk memikul salib untuk mati dalam dosa, ingat diri, benci, sombong dan masa bodoh dengan merendahkan diri dan mengasihi sesama yang lain.

Matius mengutip nabi Yesaya yang sudah bernubuat tentang Yesus sang Mesias, Hamba Yahwe. Inilah nubuatNya: “Lihat, itu hambaKu yang Kupilih, yang Kukasihi, yang kepadanya jiwaKu berkenan. RohKu akan Kucurahkan atas Dia dan Ia akan memaklumkan hukum kepada sekalian bangsa. Ia tidak akan berbantah dan tidak akan berteriak, suaraNya tidak terdengar di jalan-jalan. Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskanNya dan sumbuh yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkanNya, sampai Ia menjadikan hukum itu menang. KepadaNyalah semua bangsa akan berharap.” (Yes 42:1-4; Mat 12: 18-21).

Mari kita memandang Yesus Kristus. Ia sebagai raja kita tetapi tidak memilih Takhta sebagai tempat untuk berkuasa. Dia memilih salib, kayu yang kasar untuk melayani orang berdosa. Ia juga mengenakan mahkota duri sebagai topi kuasa Anak Allah. Dialah yang disalibkan sebagai Raja kita (Yoh 19:19; Flp 2:11). Inilah tanda kasih Allah yang besar dimana Ia mengutus PutraNya datang ke dunia untuk menyelamatkan kita semua (Yoh 3:16).

Dengan jiwa sebagai hamba yang siap melayani, Yesus menunjukkan semangat pelayan bagi kaum papa dan miskin. Orang yang tidak memiliki jiwa sebagai hamba akan menindas kaum papa dan miskin. Sikap hidup seperti ini ditantang habis-habisan oleh nabi Mikha. Bagi Mikha, munculnya sikap jahat itu berawal dari rancangan dilakukan di tempat tidur dan ketika bangun orang itu melakukan apa yang sudah dirancang atau direncanakannya. Orang bisa saja memainkan kuasa jabatan untuk kepentingan pribadi, merampas, menyerobot hak milik orang lain. Perbuatan seperti ini tidak dikehendaki Allah. Kita butuh semangat baru untuk bertobat.

Sabda Tuhan mendorong kita untuk senantiasa memandang Yesus. Dialah Hamba Allah yang mengasihi kita semua sampai tuntas. Mari kita memandang Bunda Maria dan para kudus. Mereka menjadi kudus karena memiliki hati sebagai hamba yang siap untuk membaktikan diri bagi Tuhan dan sesama. Dengan semangat Yesus marilah kita memihak dan memperjuangkan kaum kecil supaya memiliki martabat sebagai anak-anak Allah.

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk memiliki hati sebagai hamba yang selalu siap untuk melayani. Amen

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply