Homili 25 Juli 2014

St. Yakobus, Rasul
2Kor 4:7-15
Mzm 126:1-2ab.2cd-3.4-5.6
Mat 20:20-28

Diutus Untuk Melayani

Fr. JohnSaya barusan mengikuti perayaan penerimaan kaul pertama para frater di dalam Kongregasi Salesian Don Bosco Delegasi Indonesia di Weepengali, Sumba, NTT. Ada lima frater baru yang menjawabi kasih Yesus dan berikrar untuk mengasihi dan mengikuti Yesus dari dekat. Banyak ucapan selamat diberikan oleh para sahabat kenalan kepada mereka. Ada orang yang mengatakan selamat melayani kaum muda. Ada orang lagi yang mengatakan layanilah dengan sukacita. Inti ucapan selamat adalah “Diutus untuk melayani”. Orang-orang yang menghayati hidup bakti haruslah melayani dengan sukacita komunitas dan perutusannya. Hal yang sama terjadi juga dalam hidup berkeluarga. Di dalam keluarga sebagai sebuah komunitas kasih, masing-masing pribadi hendak mewujudkan kasih dalam usaha saling melayani satu sama lain. Saling melayani sebagai pasangan, melayani anak-anak dan anak-anak melayani orang tua selamanya.

Pada hari ini kita merayakan pesta St. Yakobus, Rasul. Yakobus merupakan salah seorang yang dipanggil dan dipilih oleh Tuhan Yesus untuk melayani. Namun demikian tantangan yang muncul adalah adanya kecenderungan manusiawi berupa ambisi-ambisi tertentu untuk mendapat kesempatan berkuasa dalam Kerajaan Yesus. Yakobus dan Yohanes meminta tolong kepada ibu mereka untuk menjumpai Yesus dan “meminta jatah” di masa depan. Ibu dan kedua anak Zebedeus itu sujud menyembah dan berkata kepada Yesus: “Berilah perintah, supaya kedua anakku ini kelak boleh duduk di dalam KerajaanMu, yang seorang di sebelah kananMu dan yang seorang lagi di sebelah kiriMu” (Mat 20:21). Yesus mendengar dengan saksama dan menjawabnya: “Kamu tidak tahu apa yang kamu minta! Dapatkah kamu meminum cawan yang Aku minum?” Mereka pun menunjukkan kemampuan mereka bahwa mereka bisa meminumnya tetapi Yesus mengatakan bahwa hal duduk di sebelah kiri atau sebelah kanan diberikan oleh Bapa kepada orang yang kepadanya tempat itu disediakan.

Reaksi dari para murid lain adalah mereka marah kepada kedua saudara ini. Tetapi Yesus tahu bahwa ambisi adalah bagian dari hidup setiap orang. Dia lalu membandingkan dengan pemerintah bangsa-bangsa yang represif karena mereka sungguh gila kuasa dan harta. Tetapi Ia menghendaki agar komunitasNya itu benar-benar berbeda dari yang lain. Perbedaannya adalah bahwa di dalam komunitasNya, seorang yang ingin menjadi besar adalah seorang pelayan dan seorang yang terkemuka menjadi hamba karena Yesus sebagai Anak Manusia pun datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan lebih dari itu memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang. (Mat 20:26-28).

Kisah Injil ini menarik perhatian kita. Di dalam hidup setiap hari selalu saja kita menemukan diri kita atau pribadi-pribadi yang memiliki ambisi untuk mendapatkan posisi dan status sosial yang baik. Orang akhirinya berhenti pada status sosial, pupularitas, karier dan lupa kepada tujuan dari posisi atau jabatan itu yakni untuk menjadi abdi yang siap melayani. Tuhan sendiri datang untuk melayani manusia yang berdosa. Ini berbeda dengan manusia. Orang bisa menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya untuk kebaikan pribadinya. Dengan tindakan represif, ia bisa menguras harta kekayaan yang bukan miliknya untuk keperluan pribadi. Yesus mengoreksi diri kita hari ini untuk lebih baik melayani dari pada dilayani.

St. Paulus dalam bacaan pertama mengatakan bahwa harta pelayanan sebagai rasul dimiliki dalam bejana tanah liat supaya menjadi nyata bahwa kekuatan yang berlimpah itu berasal dari Allah bukan dari diri manusia. (2Kor 4:7). Perkataan Paulus ini berdasar pada pengalaman pribadinya bahwa Tuhan Yesus sungguh-sungguh hadir di dalam diri para rasul. Tuhan yang menyelamatkan manusia hadir dan berkarya di dalam diri mereka. Maka dalam situasi apa pun, misalnya ketika ditindas dan dianiaya, sorang rasul tetap merasa bahagia untuk melayaniNya. Bagi Paulus: “Kami senantiasa membawa kematian Kristus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami.”

Paulus juga menunjukkan identitas para rasul yang hidup dalam roh iman sebagaimana tertulis: “Aku percaya, sebab itu aku berbicara.” Iman dan kepercayaan kepada Allah yang telah membangkitkan Yesus dan kelak membangkitkan semua orang harus diwartakan oleh seorang rasul. Artinya semua orang mesti menunjukkan sekaligus mewartakan imannya kepada semua orang. Hal ini juga merupakan bukti bahwa seorang utusan Tuhan juga ikut meminum cawan, artinya siap menderita seperti Yesus sendiri. Rasul Kristus hidupnya juga menyerupai Kristus!

Kita berdoa dan berharap supaya teladan kekudusan para rasul sebagai fondasi bagi Gereja tetap menyemangati kita semua dalam peziarahan hidup di dunia ini. Dengan berdasar pada Sabda Tuhan kita juga berani menjadi utusan untuk melayani Tuhan dan sesama.

Doa: Tuhan, berkatikah kami semua supaya selalu siap untuk melayani. Amen

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply