Hari Rabu, Pekan Biasa XXII
Peringatan St. Gregorius Agung
1Kor 3:1-9
Mzm 33:12-13.14-15. 20-21
Luk 4:38-44
Untuk Itulah Aku diutus!
Pada hari ini seluruh Gereja katolik memperingati St. Gregorius Agung. Ia lahir di Roma pada tahun 540. Ibunya bernama Silvia dan ayahnya bernama Geordianus. Ketika masih kecil ia mengalami suasana pendudukan suku bangsa Goth, Jerman atas kota Roma sehingga dengan sendirinya ia mengalami berkurangnya penduduk kota Roma dan kacaunya kehidupan kota. Meskipun mengalami situasi seperti ini, Gregorius memiliki kesempatan untuk belajar. Ia tergolong siswa yang pandai dalam pelajaran tata bahasa, retorik dan dialetika. Ia aktif dalam kehidupan sosial politik sehinggap pada usia 33 tahun ia menjadi Prefek kota Roma.
Tuhan memiliki rencana yang indah bagi Gregorius yakni menjadi pekerjaNya. Ia meletakkan jabatan politik sebagai prefek kota Roma lalu masuk ke dalam biara. Pada tahun 586 ia dipilih menjadi Abbas di biara Santo Andreas di Roma. Di sana ia berjuang membebaskan para budak belian yang dijual di pasar – pasar kota Roma. Pada tahun 590, dia diangkat menjadi Paus. Gregorius adalah Paus pertama yang secara resmi mengumumkan dirinya sebagai Kepala Gereja Katolik sedunia. Ia memimpin Gereja selama 14 tahun, dan dikenal sebagai seorang Paus, negarawan dan administrator ulung pada awal abad pertengahan serta Bapa Gereja Latin yang terakhir. Ia tetap rendah hati dan menyebut dirinya sebagai ‘Abdi para abdi Allah’ (servus servorum Dei). Gregorius meninggal dunia pada tahun 604.
St. Gregorius Agung menyebut dirinya “Servus Servorum Dei”. Ia merasa ditutus oleh Tuhan untuk menjadi abdi. Sebutan yang sama sudah pernah menjadi bagian dari kehidupan Yesus. Yesus adalah abdi dari para abdi. St. Paulus bersaksi bahwa meskipun Anak Allah, Yesus rela mengosongkan dirinya untuk menjadi abdi bagi manusia terutama mereka yang berdosa (Flp 2:7). Apa yang dilakukan Yesus sebagai abdi? Ia datang untuk mengabdi bagi manusia yang sakit, yang kerasukan setan bahkan mereka yang sudah meninggal dunia juga dibangkitkan dari kematiannya. Itu sebabnya orang-orang berdatangan untuk meminta supaya disembuhkan. Para murid merasa perlu membawa saudara-saudaranya yang sakit untuk disembuhkan. Petrus misalnya membawa Yesus ke rumahnya supaya Yesus menyembuhkan ibu mertuanya yang sakit demam. Yesus menghardik demam dan penyakit itu pun lenyap. Ibu Mertua Petrus sembuh dan melayani mereka. Pada sore harinya semua orang membawa kepada Yesus orang-orang yang menderita aneka penyakit untuk disembuhkan oleh Yesus. Yesus meletakkan tangan atas mereka dan mereka pun menjadi sembuh. Yesus benar-benar Mesias yang datang untuk mengabdi manusia.
Apa yang Tuhan mau katakan kepada kita?
Pertama, Tuhan Yesus menghendaki supaya kita hidup sebagai orang merdeka. Pada waktu itu orang menderita beraneka macam penyakit. Mereka yang datang kepada Yesus percaya bahwa Ia bisa melakukan yang terbaik. Yesus memang melakukan hal terbaik yakni memerdekakan mereka dari belenggu penyakit dan kuasa roh jahat. Hanya Yesus saja yang dapat memerdekakan manusia dari dosa dan kejahatan.
Kedua, Yesus tidak pernah lelah mendengar dan menjawab kebutuhan kita. Pada waktu itu suasana sudah sore. Ia masih menerima kehadiran banyak orang dan menyembuhkan mereka. Ia menyembuhkan manusia dan manusia yang sembuh menjadi abdi bagi sesamanya. Mari kita juga selalu setia mendengar dan menjawabi sesama yang membutuhkan pengabdian kita.
Ketiga, Kesiapsediaan sebagai utusan Tuhan. Yesus selalu bergerak untuk melayani manusia yang berdosa dan menyukai kejahatan. Kesiapsediaan Yesus untuk melayani ini mengubah hidup banyak orang untuk menjadi baik dan hidup sebagai Anak Allah. Kita juga diutus untuk mewartakan kasih dan kebaikan Tuhan. Kita dipanggil untuk menghadirkan Kerajaan Allah sebagai Kerajaan kasih.
Ketiga hal ini boleh menjadi kekuatan bagi kita untuk siap menjadi utusan. Kita juga diutus untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan Tuhan bukan pekerjaan-pekerjaan kita.
Saya mengakhiri renungan ini dengan mengisahkan sebuah pengalaman pribadi. Sebelum merayakan Ekaristi, saya merasa kesal dengan seorang umat di depan pintu Gereja. Ia protes terhadap sebuah kebijakan pastoral di Paroki. Saya menanggapinya dengan sinis. Ketika berada di sakristi, saya mengucapkan doa persiapan untuk merayakan Ekaristi. Di bagian terakhir doa itu, ada sebuah kalimat: “Untuk itulah Engkau ditahbiskan.” Saya merasa malu karena selalu mengucapkan doa ini setiap hari di tempat yang sama tetapi akan memulai perayaan Ekaristi dengan menyakiti hati umat. Sejak saat itu saya berubah. Terima kasih Tuhan.
Doa: Tuhan, bantulah kami untuk selalu menyadari tugas perutusan kami. Semoga kami tidak pernah merasa jenuh dan pura-pura lelah dalam melayani Engkau dan sesama kami. Amen.
PJSDB