Homili Hari Minggu Biasa XXX/A – 2014

Hari Minggu Biasa XXX/A
Kel 22:21-27
Mzm 18:2-3a. 3bc-4.47.51ab
1Tes 1:5c-10
Mat 22:34-40

Jangan hanya bicara tentang Kasih

Fr. JohnPada hari ini saya mendapat dua pesan singkat dari dua orang sahabat yang berbeda. Sahabat pertama adalah seorang pengagum Kahlil Gibran. Ia mengutip Gibran: “Love one another but make not a bond of love: Let it rather be a moving sea between the shores of your souls” (Saling mengasihi satu sama lain tetapi janganlah menciptakan ikatan kasih: biarkanlah kasih itu laksana lautan yang bergerak di antara tepian jiwamu). Seorang sahabat lain mengutip Meister Eckhart (1260-1328) yang pernah berkata: “Jam terpenting adalah selalu saat ini; orang terpenting adalah selalu orang yang duduk di paling dekat denganmu saat ini; pekerjaan yang paling perlu adalah selalu mengasihi.” Kedua kutipan ini sama-sama mengatakan tentang makna kasih dalam pengalaman manusiawi kita setiap saat.

Katekismus Gereja Katolik (KGK), membantu kita untuk memahami makna cinta kasih secara rohani. Kasih adalah kekuatan yang dengannya kita yang telah lebih dahulu dikasihi Allah, dapat memberikan diri kepadaNya sehingga kita bersatu dengan Dia dan dapat menerima sesama kita tanpa syarat seperti kita menerima diri kita sendiri (KGK 1822-1829.1844). Tuhan Yesus menempatkan kasih di atas semua hukum, tanpa menghapus hukum-hukum yang ada. St. Agustinus pernah berkata: “Kasihilah dan lakukanlah apa yang kaukehendaki!” Kebajikan kasih menjadi sebuah energi yang besar bagi setiap orang untuk hidup layak di hadirat Tuhan sebagai sumber kasih sejati. St. Paulus mengatakan bahwa kasih itu tidak berkesudahan, kasih itu merupakan kebajikan paling besar sehingga kita harus mengejar dan memilikinya (1Kor 13:8.13; 14:1).

Pada hari Minggu Biasa XXX/A ini kita mendengar bacaan-bacaan Kitab Suci yang membantu kita memahami makna kasih yang sesungguhnya dalam pikiran Tuhan. Di dalam bacaan Injil, kita mendengar bagaimana kaum Farisi merasa kesal dengan Yesus karena Ia berhasil membungkam orang-orang Saduki. Situasi ini tentu menjadi pukulan bagi kaum Farisi karena meskipun mereka berbeda dengan kaum Saduki tetapi mereka juga bersama-sama dengan para ahli Taurat melawan Yesus. Pada waktu itu, seorang ahli Taurat mengajukan pertanyaan yang sifatnya mencobai Yesus. Inilah pertanyaannya: “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” (Mat 22:36). Pertanyaan ahli Taurat ini merupakan pertanyaan yang biasa karena sebagai orang Yahudi mereka mengenal 613 hukum yang berisi perintah dan larangan. Dari ke-613 hukum ini terdapat 248 perintah dan 365 larangan. Konon semua hukum yang berjumlah 613 ini sesuai dengan semua organ tubuh kita dan sepanjang tahun ada larangannya. Ini tentu membuat mereka semua bingung. Para Rabi Israel saja saling bertanya manakah hukum yang paling utama atau yang paling penting apalagi kalangan umum.

Tuhan Yesus menunjukkan kuasa dan kebijaksanaanNya. Ia menjawab dengan mengingatkan kembali semua yang sudah mereka dengar dari Kitab Suci khususnya dari Kitab Ulangan: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” (Ul 6:5; Mat 22:37). Ini merupakan perintah kasih yang pertama dan yang kedua juga sama dengan pertama yakni “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Im 19:18; Mat 22:39). Kedua hukum kasih ini merupakan inti dari seluruh hukum Taurat. Maka semua perintah dan larangan seharusnya berorientasi pada kasih sehingga bisa membuat manusia bahagia bukan menderita atau teraniaya karena hukum dan peraturan.

Sebagai anak-anak Tuhan yang lebih dahulu mengasihi kita, Yesus Putera Allah mengarahkan kita untuk membalas kasih Allah dengan segenap hati. Mengasihi Allah dengan hati yang bulat, hati yang tidak terbagi. Seluruh totalitas diri kita termasuk di dalamnya kemauan, emosi, kerinduan, pikiran semuanya terarah hanya kepada Tuhan. Ini juga menunjukkan kesetiaan total kepada Tuhan yang lebih dahulu mengasihi kita.

St. Paulus dalam bacaan kedua merasa bersyukur kepada Tuhan karena jemaat di Tesalonika memusatkan iman dan harapannya kepada Tuhan. Meskipun Gereja di Tesalonika mengalami aneka penderitaan tetapi Firman Tuhan tetap mereka terima dan menghayatinya di dalam hidup setiap hari. Ini semua karena bantuan dari Roh Kudus yang selalu meneguhkan dan menguatkan mereka. Ketekunan dalam menghayati Firman Tuhan ini juga menjadi teladan yang baik bagi orang-orang lain pada saat itu. Satu hal lain yang juga penting adalah pertobatan sebagai saat untuk mengalami Allah. Paulus memuji jemaat di Tesalonika dengan berkata: “Kamu berbalik dari berhala-berhala kepada Allah untuk melayani Allah yang hidup dan yang benar, dan untuk menantikan kedatangan Anak-Nya dari sorga, yang telah dibangkitkan-Nya dari antara orang mati, yaitu Yesus, yang menyelamatkan kita dari murka yang akan datang.” (1Tes 2:9-10). Paulus terang-terangan mengatakan tentang tiga kebajikan ilahi iman, harapan dan kasih. Iman dan harapan selalui dihubungkan dengan Tuhan, sedangkan kasih dihubungkan dengan sesama manusia. Dengan mengasihi sesama maka kita juga mengasihi Tuhan.

Bagaimana mewujudkan kasih kepada sesama? Kasih kepada sesama memiliki satu ukuran yang pasti yakni tidak boleh kalah atau melebihi kasih bagi diri kita sendiri. Nah, setiap orang yang mau menghayati perintah kedua ini, ia harus memiliki kemampuan untuk mengasihi dirinya secara sehat di hadapan Tuhan dan sesama. Wujud nyata kasih yang sehat ini terungkap dalam usaha untuk mengasihi sesama sebagaimana dikatakan dalam bacaan pertama yakni para janda, yatim piatu dan orang-orang lain yang lemah dan kurang diperhatikan (Kel 22:21-27). kategori orang seperti inilah yang menjadi opsi pelayanan kasih.

Kasih kepada sesama tidak terlepas dari kasih kepada Allah. Ada ikatan yang erat di antara keduanya. Kasih itu tidak bermakna ketika orang terang-terangan mengatakan bahwa dirinya mengasihi Tuhan tetapi tidak mengasihi sesamanya. Kasih seperti ini kosong adanya. Kalau seorang mengatakan bahwa ia mengasihi sesama tetapi ia sendiri tidak mengasihi Allah maka kasih itu tidak akan bertahan lama. Setiap kesulitan yang dialami akan menghancurkan kasih itu. Mungkin ini mirip dengan orang yang mengikrarkan janji pernikahan. Kalau hanya berjanji untuk mengasihi pasangan tetapi tidak mengasihi Allah maka setiap kali ada kesulitan, pasangan itu akan saling mengancam untuk bercerai.

Pada hari ini kita semua diajak untuk tidak hanya berbicara tentang kasih tetapi haruslah berbicara dengan kasih. Kita harus akrab dengan kasih yaitu Tuhan supaya kita juga bisa mengasihi sesama dengan baik. Kita juga bisa mengasihi sesama seperti diri sendiri kalau kita sudah mengalami kasih di dalam keluarga dan dalam hidup sebagai orang beriman. Tanpa pengalaman dikasihi oleh Tuhan dan sesama, sangat sulitlah bagi anda dan saya untuk mampu mengasihi.

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip St. Paulus yang berkata: “Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.” (1Kor 13:2).

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk mampu mengasihi Engakau dan sesama kami. Amen

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply