Food For Thought: Yesus juga lahir dalam keluarga dan komunitasmu

Yesus juga lahir dalam Keluarga dan Komunitasmu!

1. Belajar dari mereka…

P. John SDBMasa Adventus, perlahan-lahan berakhir. Kita berjumpa dengan figur-figur dari bacaan-bacaan Kitab Suci yang menginspirasikan kita untuk bisa merayakan Natal di dalam keluarga dan komunitas masing-masing dengan baik. Figur-figur yang saya maksudkan adalah:

Pertama, Nabi Yesaya. Nubuat-nubuat Tuhan melaluinya menguatkan hati banyak orang untuk kembali kepada Tuhan. Umat Israel ketika masih berada di Babel hingga kembali ke Sion mendapat penghiburan melalui Yesaya. Optimisme karena memiliki Allah yang menyelamatkan ditanamkan ke dalam hati umat oleh nabi Yesaya.

Kedua, Bunda Maria. Dalam masa adventus kita menjumpainya sebagai Santa Perawan Maria dikandung tanpa noda dosa. Kita merayakan pestanya pada tanggal 8 Desember. Dia adalah orang pertama yang bersatu dengan Sabda yang berinkarnasi. Dia juga menyertai Yesus sepanjang hidup Yesus puteranya.

Ketiga, St. Yusuf. Dia adalah orang yang setia dan tulus kepada Tuhan. Ia menerima Bunda Maria dan Yesus apa adanya.

Keempat, Yohanes Pembaptis. Dia adalah suara yang berseru-seru untuk memanggil orang berjalan dalam jalan Tuhan. Hidupnya sederhana, bermatiraga. Seruan tobat dan pembaptisannya mengubah hidup banyak orang untuk menyambut kedatangan Mesias.

Figur-figur ini kita temukan dalam bacaan-bacaan liturgi selama masa Adventus. Mereka menantikan kedatangan Tuhan Yesus dan mewariskannya sebagai kekayaan Gereja hingga saat ini.

Natal dalam Komunitas dan keluarga

Apa artinya natal bagi anda dan saya? Pada suatu hari saya mencari buku inspiratif tentang Bunda Theresa dari Kalkuta di perpustakaan seminari. Saya menemukan dalam sebuah buku itu, ungkapan hati Bunda Theresa dari Kalkuta tentang Natal. Judul tulisannya: “Natal adalah…”

Orang kudus modern ini menulis:

“Natal adalah setiap kali anda tersenyum kepada seorang saudara miskin yang mengulurkan tangannya kepadamu untuk dibantu. Natal adalah setiap kali anda bisa memiliki keheningan sehingga mampu mendengar sesamamu. Natal adalah setiap kali anda berani menolak prinsip-prinsip yang bisa menindas kaum pinggiran dalam masyarakat. Natal adalah setiap kali anda memberi harapan kepada sesama yang miskin dan yang tanpa masa depan karena mereka miskin secara jasmani dan rohani. Natal adalah setiap kali anda mengenal diri dengan segala kelebihan dan keterbatasanmu. Natal adalah setiap kali anda berjanji kepada Tuhan untuk lahir kembali dan mau memberi diri kepada sesama.”

Ungkapan hati Bunda Theresa dari Kalkuta ini sebenarnya mengoreksi cara pandang kita tentang Natal pada zaman ini. Apa yang ada dalam pikiran banyak orang tentang Natal saat ini? Mungkin saja ada yang berpikir bahwa Natal itu identik dengan suasana yang sangat manusiawi yakni penuh dengan aneka keramaian dan kenikmatan seperti terjadi di mall-mall dan restoran-restoran serta tempat-tempat hiburan. Ada yang mungkin berpikir bahwa Natal itu sama dengan liburan bersama keluarga dan orang yang dikasihi. Dengan cara pandang ini, perayaan Natal seolah-olah membantu orang untuk lebih bersifat hedonis daripada rohani. Seharusnya suasana Natal membantu kita untuk merenung tentang saat-saat indah di mana Tuhan Allah rela menjadi manusia yang lemah dan miskin supaya kita betul-betul memiliki martabat sebagai anak Allah. Natal seharusnya mengubah cara pandang hedonis menjadi lebih rohani, dan menggugah hati kita untuk lebih mengasihi sesama yang miskin dan membutuhkan.

Santo Paulus pernah mengungkapkan imannya tentang Tuhan Yesus seperti ini: “Yesus Kristus, walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Flp 2:6-8). Nah, sekarang coba pikirkanlah: Tuhan Yesus sebagai Anak Allah saja mengosongkan diri (kenosis), menjadi hamba, merendahkan diri dan taat sampai mati di kayu salib. Kita pun hendaknya mengambil semangat Yesus untuk kita hayati di dalam hidup ini.

Semangat Yesus dalam pikiran Paulus ini bisa kita hayati secara pribadi dan mulai dari dalam keluarga dan komunitas masing-masing. Artinya Tuhan Yesus yang sudah rela mengosongkan diri, menjadi hamba dan lahir dari rahim St. Perawan Maria juga secara rohani bisa dirasakan kelahirannya di dalam keluarga masing-masing.

Tuhan Yesus adalah Imanuel. Ia lahir di dalam sebuah keluarga sederhana, keluarga Maria dan Yusuf di Nazaret. Yesus lahir dan berada di dalam keluarga kudus Nazaret untuk menguduskannya dan menjadikannya sebagai model bagi semua kularga di seluruh dunia. Kelahiran Yesus di dalam keluarga kudus ini memiliki kekuatan dan daya tarik tersendiri bagi banyak orang untuk berjumpa dan merasakan kehadiran Allah. Orang-orang yang datang untuk melihat bayi Yesus adalah pribadi-pribadi yang sederhana, diwakili oleh para gembala. Setelah melihat Yesus di dalam keluarga kudus, mereka sangat bergembira dan memuliakan Allah (Luk 2:20). Para Majus dari Timur melihat bintangNya. Mereka juga membawa persembahan berupa emas, mur dan kemenyan untuk bayi Yesus. Konsekuensinya, hidup mereka berubah setelah berjumpa dengan Yesus dalam keluarga (Mat 2:12). Yesus lahir, makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan makin di kasihi Allah dan manusia (Luk 2:52).

Apa yang harus kita lakukan? Kita pun harus merasa bahwa Yesus juga lahir secara rohani di dalam keluarga dan komunitas masing-masing. Kelahiran Yesus secara rohani di dalam keluarga dan komunitas bisa mengubah hidup banyak orang baik di dalam keluarga dan komunitas sendiri maupun sesama untuk semakin memuliakan Allah seperti para gembala miskin, arah hidup setiap orang juga berubah menjadi lebih baik sesuai kehendak Tuhan seperti para Majus. Dengan demikian keluarga dan komunitas bisa menjadi tanda bahwa Tuhan juga hadir. Setiap pribadi semakin kuat dalam mengasihi satu sama lain. Yesus harus bertambah besar, bertambah hikmatNya di dalam hidup iman kita.

Komunitas hidup religius secara istimewa hendaknya menjadi tanda kehadiran Allah. Allah mempersatukan pribadi-pribadi dalam ikatan yang satu dan sama yakni menghayati nasihat-nasihat-nasihat Injil atau kaul-kaul kebiaraan dan karya kerasulan bersama. Allah hadir dalam komunitas, hadir juga dalam karya perutusan. Tantangan komunitas religius masa kini adalah bagaimana menghadirkan Allah dalam diri sendiri sebagai orang berkaul dan dalam karya kerasulan. Allah bisa dirasakan kehadirannya dalam kasih, kesetiaan dan tanggung jawab.

Saya mengakhiri renungan ini dengan mengutip sebuah nyanyian Daud: “Sungguh alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (Mzm 133:1). Keluarga menjadi baik, indah dan rukun karena Yesus juga lahir di dalam keluarga masing-masing. Selamat merayakan Natal 25 Desember 2014.

P. John Laba, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply