Maria ikut menderita Bersama Kristus
Apakah Bunda Maria juga ikut menderita bersama Yesus Putranya? Ini adalah sebuah pertanyaan umat dalam pendalaman iman di sebuah lingkungan. Kalau kita merenungkan kehidupan Bunda Maria bersama Yesus Puteranya, kita akan menemukan bahwa Bunda Maria dari awal panggilannya sebagai Bunda Yesus mengalami banyak penderitaan. Dia dipanggil oleh Tuhan ketika barusan bertunangan dengan Yusuf. Oleh karena itu dia sendiri bingung dan berkata kepada malaikat Gabriel bagaimana mungkin ia bisa hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki yang akan dinamainya Yesus, kalau ia sendiri belum bersuami. Malaikat meyakinkannya bahwa Roh Kudus akan turun ke atasnya dan kuasa Allah akan menguasainya (Luk 1: 35).
Bagi saya, pengalaman hidup Bunda Maria ini adalah sebuah sukacita bagi umat manusia karena kehadiran Maria sebagai Hawa baru di mana pintu keselamatan manusia terbuka lebar-lebar. Tetapi bagi Maria, sebenarnya ini adalah sebuah awal penderitaannya. Ia harus siap memulai penderitaannya bersama Yesus Puteranya di hadapan umum. Perjalanan jauh ke Ein Karem untuk membantu Elizabeth diwarnai pengorbanan diri sebagai seorang ibu muda yang sedang hamil muda. Perjalanan jauh dari Nazaret ke Betlehem, peristiwa kelahiran Yesus di mana Maria dan Yusuf harus mencari tempat menginap. Hanya kandang hewan yang menjadi tempat yang pas bagi keluarga kudus dari Nazaret.
St. Alfonsus Liguori pernah menulis tentang dukacita Bunda Maria. Ia menyebutnya sapta dukacita Bunda Maria.
Pertama, nubuat Simeon pada saat Yesus dipersembahkan di bait Allah. Sesuai tradisi Yahudi, anak laki-laki sulung dipersembahkan di dalam bait Allah. Orang tuanya membawa serta sepasang burung tekukur, dan dua ekor anak burung merpati. Mereka berjumpa dengan Simeon, seorang yang benar dan saleh. Ia sangat bersukacita ketika berjumpa dengan bayi Yesus. Setalah itu, ia memandang Bunda Maria dan berkata: “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri–,supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang.” (Luk 2:34-35). Segala sukacita Bunda Maria berubah menjadi dukacita.
Kedua, Melarikan Yesus ke Mesir (Mat 2:13). Ramalan Simeon menjadi nyata. Herodes merasa bahwa ia memiliki seorang pesaing baru. Ketika para majus dari Timur melihat bintangnya, mereka pun berangkat mengikuti bintang itu untuk menyembah-Nya. Mereka sempat singgah di Yerusalem. Di sana mereka bertemu dengan Herodes dan bertanya tentang raja Israel yang baru lahir. Dampak perjumpaan itu adalah anak-anak kecil tanpa salah dibunuh. Tuhan melalui Malaikat-Nya mengingatkan Yusuf untuk membawa Yesus dan Maria mengungsi di Mesir. Perjalanan ke Mesir memakan waktu yang lama, melewati padang gurun. Keluarga kudus tinggal di negeri asing sampai Herodes wafat. Mereka pun kembali ke Nazaret. Maria menderita bersama Yesus, Putranya karena tinggal di negeri asing.
Ketiga, Ketika berusia dua belas tahun Yesus hilang di dalam Bait Allah (Luk 2: 41-52). Ini merupakan perayaan paskah tahunan. Keluarga-keluarga Yahudi berziarah ke Yerusalem. Yesus juga merupakan seorang peserta ziarah, tetapi kemudian Ia tidak kembali bersama orang tua-Nya. Maria dan Yusuf kembali ke Yerusalem dan mencari-Nya selama tiga hari. Ketika bertemu, Maria bereaksi: “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami. Ayah dan aku cemas mencari Engkau.” (Luk 2:48). Maria menyimpan segala perkara di dalam hati dan merenungkannya.
Keempat, Perjumpaan Bunda Maria dengan Yesus saat Ia menjalani hukuman mati. Dalam ibadat jalan salib, stasi ke empat, kita merenungkan perjumpaan antara Bunda Maria dengan Yesus Anaknya. Komentar terhadap stasi keempat jalan salib ini adalah Maria berdiri di pinggir jalan salib yang dilewati oleh Putranya. Mereka saling beradu pandang. Maria melihat kesedihan Putranya dan turut menanggung segala penghinaan dan kesakitan bersama Dia. Setia kepada orang yang kuat dan berkuasa, itu lebih mudah daripada setia kepada teman yang namanya jelek dan dimusuhi banyak orang. Maria menderita, ia ikut memanggul salib bersama Yesus Putranya di dalam hati.
Kelima, Yesus wafat di kayu salib. Ia memikul salib ke Golgotha, penuh dengan penderitaan fisik. Maria menyaksikan Putranya tanpa salah menderita secara tragis. Di bawah kaki salib, Maria berdiri dan memandang Putranya hingga wafat di kayu salib. Maria sebagai Hawa baru ikut memberi andil yang besar untuk keselamatan manusia. Ia hanya menangis tanpa mengatakan apa-apa karena ia berjanji untuk menyimpan segala perkara di dalam hatinya.
Keenam, Lambung Yesus ditikam dan Jenazah-Nya diturunkan dari Salib. Yesus sudah wafat di kayu salib setelah berteriak dengan suara nyaring: “Eloi Eloi lama sabachtani.” Untuk menegaskan bahwa Ia sungguh sudah wafat maka lambung-Nya ditikam. Dari lambung-Nya keluar darah dan air sebagai lambang sakramen-sakramen di dalam Gereja. Maria berdukacita karena ketika jenasah Yesus diturunkan dari salib, ia sebagai ibu memangku jenasah Yesus. Kita bisa membayangkan bagaimana Maria sebagai ibu menderita menyaksikan jenasah Yesus Anaknya yang tidak bersalah.
Ketujuh, Yesus dimakamkan. Bunda Maria menyaksikan pemakaman Yesus Putranya (Yoh 19: 41-42). Boleh dikatakan bahwa ini adalah puncak dukacita dari Bunda Maria. Ia merelakan Putranya menderita bagi manusia. Maria pasti menyadari bahwa Tuhan Bapa di Surga yang memiliki kehendak bagi Yesus.
Permenungan tentang keikutsertaan Bunda Maria dalam penderitaan Yesus Putranya mau mengungkapkan bahwa Bunda Maria memiliki rasa empati yang besar kepada Yesus Putranya. Ia tetap memiliki hati sebagai seorang ibu yang rela menderita demi kebahagiaan anaknya. Belajar dari Bunda Maria, mari kita juga berempati dengan sesama yang lain. Jangan pernah merasa rugi ketika mengorbankan diri, waktu dan tenaga demi kebaikan sesama. Stabat mater dolorosa!
PJSDB