Orang Lerek juga berpikir global
Adalah Nelson Mandela. Ketika masih muda, di sekitar tahun 60-an, dikenal sangat frontal terhadap kaum berkulit putih yang menindas orang berkulit hitam di Afrika Selatan. Dalam bahasa Afrika disebut apartheid (apart: memisahkan dan heid: sistem hukum). Jadi sistem apartheid itu memisahkan manusia berdasarkan ras, dilakukan oleh orang berkulit putih di Afrika Selatan pada abad ke-20 sampai sekitar tahun 1990. Nelson Mandela dan teman-temannya berusaha supaya hak-hak hidup mereka juga bisa diakui. Ia dipenjarakan selama hampir 27 tahun. Setelah keluar dari penjara, ia dipilih menjadi pemimpin Afrika Selatan. Ia melakukan gerakan-gerakan untuk membangun negaranya. Salah satunya adalah dengan membangun sebuah sistem pendidikan yang baik di negaranya. Tentang pendidikan, Mandela pernah berkata: ”Pendidikan adalah senjata yang paling ampuh yang bisa mengubah seluruh dunia.”
Tentu saja di kampung Lerek dan sekitarnya tidak ada gerakan apartheid seperti di kampung halamannya Nelson Mandela (Afrika selatan). Tetapi dalam hal-hal tertentu ada kemiripan, misalnya dalam dunia pendidikan. Pada tahun 60-an, situasi ekonomi masih sangat sulit sehingga banyak orang muda, remaja di Lerek dan sekitarnya tidak bisa menikmati pendidikan yang baik dan merata seperti sekarang ini. Lagi pula sekolah-sekolah hanya di bangun di daerah tertentu, dengan jarak yang jauh, biaya pendidikan dan biaya hidup yang cukup tinggi. Makanan harus diisi di kantong atau karung dan dipikul oleh manusia, berjalan kaki puluhan kilometer. Pikirkanlah kembali suka dan duka berjalan kaki dari Lerek ke Lewoleba. Usaha yang keras ini menantang orang untuk berjuang menjadi manusia.
Dalam situasi yang sulit muncul tokoh-tokoh tertentu yang hidup di kampung Lerek tetapi memiliki wawasan global untuk memanusiakan manusia muda di sana. Inilah deretan nama-nama yang akan selalu dikenang sepanjang zaman di Lerek: Gala Weka, Leyong Benolo, Leo Lado Watun, Arnoldus Tue Watun, Wilem Beleta Tolok, Yohanes Baha Tolok, Viktor Nimo Wutun, Paulus Uran, Blasius Lalung dan tokoh-tokoh lainnya. Dari pihak Gereja, figur pater Yohanes Knoor, SVD juga memilik andil yang besar bagi pedidikan di Lerek, dengan dukungan dari Sekolah Dasar Katolik Lerek yang sudah ada. Kelihatan dari nama-nama ini ada generasi muda dan generasi yang sudah mapan di Lerek saat itu. Di kampung Lerek juga sudah ada pikiran untuk menata sistem ekonomi lokal. Ada tiga badan usaha yang punya andil besar untuk mendirikan SMP Lerek yakni Koperasi Sepakat (ketuanya Bapak Leo lado Watun), Koperasi Sudi Mampir (Ketuanya Bapak Andreas Patal Tolok) dan Koperasi Koda Dei (Ketuanya Bapak Willem Beleta Tolok).
Dari deretan nama-nama di atas, mereka duduk bersama dan membentuk sebuah panitia sederhana. Mereka memilih Bapa Leo Lado Wathun sebagai ketua, bendaharanya adalah Bapak Arnoldus Tue Wathun. Penasihatnya adalah kepala desa Lerek Bapak Agustinus Leyong Tolok dan penasihat rohani Pater Yohanes Knoor, SVD. Strategi apa yang dilakukan oleh panitia ini? Mereka tidak bisa mengandalkan masyarakat yang sedang hidup sulit secara ekonomi saat itu. Mereka memohon bantuan ketiga badan usaha atau semacam kooperasi di Lerek untuk memberikan sumbangannya. Ketiga badan usaha ini menyumbang masing-masing Rp.100. Artinya bahwa dana awal untuk membangun sekolah ini adalah Rp. 300. Modal Rp. 300 untuk membangun sebuah sekolah! Jumlah yang sedikit ini lama kelamaan menjadi besar karena saya percaya Tuhan memberkati niat baik orang-orang Lerek saat itu.
Sebuah sekolah tentu membutuhkan tempat yang nyaman untuk belajar. Diceritakan bahwa Pater Yan Knoor, SVD mengijinkan supaya kegiatan belajar mengajar dilakukan di ruangan Balai Pengobatan darurat yang terletak di samping pastoran paroki Lerek. Bapa Agustinus Leyong dengan kuasanya sebagai kepala desa, meminta masyarakat untuk berpartisipasi membangun gedung sekolah di atas fondasi bekas pesanggrahan Belanda. Tempat ini diusulkan oleh Mama Gelu Pelile Laga Wathun. Setelah memiliki gedung sendiri maka sekolah ini mulai bertumbuh, melewati masa-masa yang sulit, memasuki masa keemasan, mengalami masa sulit lagi akhirnya mati di usia ke-43.
Ketika mendengar kisah-kisah awal berdirinya sekolah ini, saya merasa bahwa orang Lerek saat itu sudah berpikir secara global. Dengan sarana yang sederhana, sumber daya manusia yang ada mereka mau mencerdaskan anak-anak muda dan remaja di Lerek dan sekitarnya. Sekarang deretan nama-nama itu ada yang sudah kembali kepada Bapa di Surga, tetapi ada juga yang masih hidup dan patut kita hargai. Satu hal yang menarik perhatian kita adalah kerja sama antara pemerintah dan Gereja saat itu. Gereja hadir sebagai kekuatan rohani yang menyatukan semua orang, memberikan ruang untuk mendukung karya pendidikan, tanpa harus menjadikannya sebagai sekolah katolik. Sudah ada kepercayaan kepada kaum awam untuk mengabdi Tuhan di dunia ini.
P. John Laba Tolok, SDB