Homili 10 Juli 2015

Hari Jumat, Pekan Biasa XIV
Kej. 46:1-7,28-30
Mzm. 37:3-4,18-19,27-28,39-40
Mat. 10:16-23

Rekonsiliasi yang menghidupkan

Fr. JohnSaya pernah diundang untuk memimpin sebuah ibadat rekonsiliasi keluarga. Sebelumnya, keluarga ini mengalami sebuah masalah yang dianggap sebagai aib keluarga. Anak gadis yang dibanggakan sebagai anak serba bisa ketahuan hamil sebelum menikah di Gereja. Pria yang menghamilinya adalah pacarnya namun ia beda iman sehingga keluarga si gadis itu menolak. Si gadis itu diusir dari rumah. Ia mencari tempat penginapan hingga melahirkan anak sulungnya. Pada suatu hari Minggu, orang tua gadis ini mengikuti perayaan Ekaristi di Gereja. Romo yang memimpin Ekaristi memberikan sebuah homili tentang seni mengampuni di dalam keluarga. Homili Romo itu memang sederhana tetapi keluarga itu merasakan sebuah kuasa yang besar. Mereka mengalami kesadaran baru untuk mencari dan menemukan putri dan cucu mereka. Perjumpaan dan persekutuan kembali menjadi sebuah rekonsiliasi yang hidup. Orang tua sudah redah emosi dan menerima anak mereka apa adanya. Dalam ibadat rekonsiliasi itu saya mengatakan kepada keluarga itu bahwa Tuhan juga turut bekerja untuk mempersatukan mereka. Setelah ibadat rekonsiliasi, mereka melanjutka berbagai urusan untuk pemberkatan di Gereja. Keluarga muda itu bahagia saat ini.

Kita mendengar kisah keluarga Israel (Yakub) di dalam Kitab Kejadian. Israel sangat menyayangi anaknya Yusuf. Ia lahir saat Israel sudah memasuki usia senja. Yusuf lalu menjadi sasaran kebencian dari saudara-saudaranya sehingga mereka menganiaya dia dan menjualnya ke tanah Mesir. Yusuf melihat bahwa kehadirannya di Mesir adalah sebuah rencana Tuhan baginya untuk menyelamatkan seluruh keluarga Israel. Pikiran Yusuf ini bukan tanpa dasar. Ketika terjadi kelaparan hebat di Tanah Kanaan, Israel menyuruh anak-anaknya pergi ke Mesir untuk membeli gandum. Yusuflah yang memiliki hak penuh untuk menjual gandum kepada rakyat Mesir dan daerah-daerah lainnya termasuk tanah Kanaan. Ia menyelamatkan keluarga besar Israel dari bahaya keparan.

Pada hari ini kita mendengar sisi lain dari kehidupan keluarga Israel. Para saudara Yusuf sudah mendapat pengampunan dari Yusuf. Mereka kembali ke tanah Kanaan untuk menjemput Yakub ayahanda mereka, karena Yusuf ingin bertemu dengannya. Peristiwa eksodusnya keluarga besar Israel dari tanah Kanaan menuju ke negeri asing yakni Mesir masuk dalam sejarah Israel. Israel melewati tempat-tempat tertentu seperti Bersyeba. Di sini Israel mempersembahkan kurban sembelihan kepada Yahwe. Kurban persembahan Israel ini disambut baik oleh Tuhan.

Apa rekasi dari Tuhan? Ia tetap memperhatikan Yakub. Ia mengulangi kembali janji-janji-Nya kepada Yakub: “Akulah Allah, Allah ayahmu, janganlah takut pergi ke Mesir, sebab Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar di sana. Aku sendiri akan menyertai engkau pergi ke Mesir dan tentulah Aku juga akan membawa engkau kembali; dan tangan Yusuflah yang akan mengatupkan kelopak matamu nanti.” (Kej 46:3-4). Perkataan Tuhan ini dipatuhi oleh Yakub. Ia meninggalkan tanah terjanji menuju ke negeri asing yakni Mesir. Yusuf pun meninggalkan istanah menuju ke Gosyen untuk menjumpai ayahandanya. Sebuah perjumpaan yang mengharukan, sebuah rekonsiliasi hidup pun terjadi. Yusuf sudah dianggap mati karena hasil tipuan saudara-saudaranya bahwa hewan liarlah yang telah merengut nyawanya. Sementara dalam perjumpaan itu, Israel dan seluruh keluarganya menyatakan sukacita yang besar karena bisa melihat kembali Yusuf. Yusuf memeluk ayahnya dan menangis terharu. Israel berkata: “Sekarang bolehlah aku mati, setelah aku melihat mukamu dan mengetahui bahwa engkau masih hidup.” (Kej 46:30).

Kisah keluarga Yakub merupakan kisah semua keluarga manusia. Ketika terjadi perlakuan khusus terhadap anak-anak dalam parenting maka dampaknya juga akan langsung dirasakan di dalam keluarga tersebut. Di kalangan anak-anak akan muncul benih-benih kemarahan, dendam dan iri hati. Ada anak-anak yang sadar atau tidak sadar mengatakan bahwa mereka belum merasakan kasih sayang orang tuanya, atau orang tuanya pilih kasih. Tuhan Yesus dalam bacaan Injil mengatakan situasi-keluarga-keluarga sebelum Ia datang kembali ke dunia: “Orang akan menyerahkan saudaranya untuk dibunuh, demikian juga seorang ayah akan anaknya. Dan anak-anak akan memberontak terhadap orang tuanya dan akan membunuh mereka.” (Mat 10:21).

Di dalam bacaan Injil kita mendengar wejangan-wejangan Tuhan kepada para murid-Nya supaya memiliki daya tahan dan daya juang yang besar dalam menghadapi setiap kesulitan. Tuhan Yesus berkata, “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” (Mat 10:16). Dengan mengatakan “domba” dan “serigala” kita bisa menyadari bahwa Tuhan sudah mengetahui kesulitan-kesuitan yang akan dihadapi oleh para murid-Nya. Di sini Tuhan Yesus menuntut para murid-Nya untuk bersikap bijaksana, perlu sifat yang cerdik dan tulus, adaptasi diri yang bagus supaya pewartaan Injil dan Kerajaan Allah bisa berjalan dengan baik.

Situasi ini tentu berbeda dengan apa yang dinubuatkan nabi Yesaya. Ia mengatakan bahwa serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya. (Yes 11:6; 65:25). Situasi penuh keharmonisan di alam semesta merujuk pada masa kedatangan Tuhan Yesus Kristus untuk mengadili orang yang hidup dan mati. St. Paulus mengatakan bahwa keharmonisan semesta alam sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi. (Ef 1:10; Why 11:15). Namun untuk mencapai keharmonisan itu, para murid mengalami penganiayaan dan perlawanan dari orang-rang yang melawan Injil dan Kerajaan Allah.

Yesus mengingatkan para murid-Nya untuk selalu mawas diri terhadap semua orang. Ia berkata, “Karena Aku, kamu akan digiring ke muka penguasa-penguasa dan raja-raja sebagai suatu kesaksian bagi mereka dan bagi orang-orang yang tidak mengenal Allah.” (Mat 10:18). Dalam situasi yang sulit, para murid harus tetap percaya kepada-Nya. Setiap kesaksian dari para murid bukan berasal dari diri mereka sendiri melainkan dari Bapa. Dialah yang akan memampukan para murid untuk bersaksi tentang Yesus Putera-Nya. Bagi orang yang bertahan, keselamatan merupakan miliknya.

Sabda Tuhan pada hari ini membuka wawasan kita untuk berani membangun rekonsiliasi dalam hidup kita. Kita belajar dari keluarga Yakub di mana terjadi sebuah rekonsiliasi yang hidup. Hidup dengan semangat rekonsiliasi terhadap diri sendiri, terhadap sesama akan memampukan kita untuk mengatasi segala persoalan dan kesulitan di dalam hidup kita.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply