Homili 22 Agustus 2015

Hari Sabtu, Pekan Biasa XX
Rut. 2:1-3,8-11;4:13-17
Mzm. 128:1-2,3,4,5
Mat. 23:1-12

Keteladanan itu penting

Fr. JohnAda seorang anak remaja yang datang dan berbicara denganku di pastoran. Ia merasakan adanya kontradiksi di dalam perlakuan orang tuanya. Mereka mau menanamkan disiplin di dalam kehidupan anak-anaknya tetapi mereka sendiri melanggar disiplin itu. Ia memberi contoh, orang tuanya menyiapkan sebuah ruangan belajar untuk dia dan adiknya di rumah. Ruangan itu bersebelahan dengan ruangan rekreasi keluarga, sekaligus tempat menonton TV atau film. Hal yang dirasakannya adalah, orang tuanya memang memiliki kemauan yang baik dengan menyediakan tempat belajar namun di saat jam belajar, mereka tidak duduk bersama dan menemani dia dan adiknya, malahan menonton sinetron kesayangan, dengan bunyi TV yang kuat. Ketika prestasinya di sekolah menurun, orang tuanya hanya bisa memarahi tanpa mengintrospeksi diri bahwa mereka juga ikut bersalah. Perbincangan dengan anak remaja ini sangat serius. Saya hanya menguatkannya supaya ia berani berbicara dengan ibu dan ayahnya. Mungkin mereka bisa mendengar keluhannya.

Banyak kali kita juga mengalami hal yang sama di dalam keluarga dan komunitas masing-masing, situasi sebagaimana dialami anak remaja ini. Banyak orang tua bisa pandai berbicara, berteori tentang sesuatu, tetapi dalam hidupnya yang praktis, ia tidak mampu melakukannya sesuai dengan perkataannya. Kata dan kalimat yang keluar dari mulut tidak sinkron dengan hidupnya yang nyata. Ada orang yang pandai menasihati dan mengoreksi orang lain, tetapi dia sendiri tidak bisa menerima orang lain untuk menasihati atau mengoreksi dia. Itulah realitas hidup manusia.

Tuhan Yesus memiliki pengamatan yang tajam terhadap kaum Farisi dan para ahli Taurat. Bagi Yesus, kaum Farisi dan para ahli Taurat itu telah menduduki kursi Musa. Nah, orang-orang Ibrani dalam dunia Perjanjian Lama memandang Musa sebagai pribadi yang memiliki kekuasaan ilahi dari Tuhan. Musa bisa memandang Tuhan dengan matanya sendiri, dan kemuliaan Tuhan itu terpancar dari wajahnya. Semua orang Israel memandang wajah Musa yang bercahaya. Dia juga meneruskan segala perintah Tuhan kepada mereka. Jadi, Musa memiliki sebuah otoritas untuk mengatur bangsa Israel dalam perjalanan kepada tanah terjanji. Orang-orang Farisi dan para ahli Taurat memiliki kelicikan, kesombongan, seolah-olah mereka itu adalah pemimpin seperti atau bahkan melebihi Musa.

Yesus menggunakan kesempatan istimewa ini untuk menasihati para murid-Nya. Ia berkata: “Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (Mat 23:3). Nah, perkataan Yesus ini memang sangat tepat. Jalan yang ditawarkan Yesus adalah supaya mengikuti pengajaran mereka, tetapi perbuatan mereka jangan diikuti. Mereka meletakkan beban-beban kepada sesamanya, mengadili sesamanya secara tidak adil. Tampak lahirianya bernuansa religius, tetapi itu hanyalah topeng saja. Mereka mencari posisi duduk yang strategis di dalam perjamuan dan rumah ibadat.

Tuhan Yesus juga memberikan nasihat-nasihat praktis kepada mereka untuk mewujudkan diri sebagai pemimpin yang baik dan rendah hati. Misalnya supaya jangan menyebut diri sebagai Rabi karena hanya ada satu Rabi yaitu Yesus Kristus dan kita adalah saudara satu sama lain. Dia juga meminta supaya kita jangan menyebut siapa pun Bapa di dunia ini karena hanya ada satu Bapa yaitu Dia yang di surga. Mereka juga jangan menyebut diri sebagai pemimpin karena hanya ada satu pemimpin yaitu Mesias. Pada akhirnya, Tuhan Yesus mengingatkan para murid-Nya supaya bersikap rendah hati. Baginya, pemimpin adalah pelayan yang setia untuk melayani tanpa menghitung-hitung pelayanannya kepada sesama.

Tuhan Yesus mau menekankan kepada kita betapa pentingnya memberikan teladan kebaikan dan kerendahan hati kepada sesama. Banyak orang harus belajar untuk berbicara sedikit dan mendengar lebih banyak. Apakah anda sudah memberi teladan yang baik kepada sesamamu? Atau hanya berbicara banyak tanpa ada pelaksanaan, tidak sesuai dengan hidup yang nyata. Tuhan Yesus juga mengingatkan kita akan sifat kepemimpinan yang rendah hati. Memimpin berarti memiliki semangat melayani lebih sungguh.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply