Homili 25 Agustus 2015

Hari Selasa, Pekan Biasa XXI
1Tes. 2:1-8
Mzm. 139:1-3,4-6
Mat. 23:23-26

Kerelaan untuk berbagi dalam kasih

Fr. JohnAda seorang bapa, membagi pengalaman hidup berkeluarga dalam sebuah rekoleksi keluarga tentang perjuangan hidupnya untuk memberi teladan kepada anak-anaknya. Ia mengaku bahwa ternyata menjadi ayah yang baik bagi anak-anak dalam keluarga itu tidaklah mudah. Setiap hari ia harus berbicara dan bertindak sebagai ayah yang baik. Ia harus memilih kata-kata yang tepat, yang tidak akan menyakiti hati atau memanjakan anggota keluarganya. Pada mulanya ia merasa kesulitan, namun ia memiliki komitmen untuk bisa mengatasi semua kesulitan yang ada. Ia rela membagi waktu, bakat dan kemampuan untuk tinggal bersama keluarganya. Kerelaan untuk berbagi ini memiliki dampak yang positif dalam diri anak-anaknya. Mereka merasakan kehadirannya sebagai ayah dan anak-anak juga merasa dikasihinya. Kehadiran ayah adalah kehadiran yang aktif bukan pasif. Pengalaman bapa ini sangat meneguhkan hati para peserta rekoleksi keluarga terutama para ayah untuk menjadi yang terbaik di dalam keluarga.

Pada hari ini, kita mendengar St. Paulus membagi pengalamannya sebagai rasul dalam suasana mengharukan di Tesalonika. Ia mengaku bahwa kedatangannya bersama rekan-rekannya ke Tesalonika itu bukan hal yang sia-sia saja. Mereka telah mengalami penganiayaan dan penghinaan di Filipi, namun dengan bantuan Allah, mereka semua beroleh keberanian untuk memberitakan Injil Allah kepada jemaat dalam perjuangan yang berat. Paulus juga mengatakan bahwa semua nasihatnya tidak lahir dari kesesatan atau dari maksud yang tidak murni dan juga tidak disertai tipu daya. Sebaliknya, karena Allah telah menganggap mereka layak untuk mempercayakan Injil kepada mereka. Mereka berbicara, bukan untuk menyukakan manusia, melainkan untuk menyukakan Allah yang menguji hati manusia (1Tes 2:4). Semangat berbagi, dalam hal ini berbagi sabda Tuhan (Injil) bertujuan untuk menyukakan hati Tuhan dan membawa orang untuk akrab dan bersatu dengan-Nya.

Berkaitan dengan semangat untuk mewartakan Injil, Paulus mengatakan bahwa dalam kerasulannya, ia bersama rekan-rekannya tidak bermulut manis, tidak pernah mempunyai maksud loba yang tersembunyi, tidak pernah mencari pujian dari manusia. Hal yang mereka lakukan adalah mereka berlaku ramah seperti seorang ibu mengasuh dan merawat anaknya. Paulus dengan tegas mengatakan bahwa ia bersama rekan-rekannya bukan hanya rela membagi Injil Allah kepada jemaat di Tesalonika, mereka bahkan rela menyerahkan hidupnya sendiri kepada jemaat karena kasih. Semangat berbagi menjadi sempurna ketika orang bertumbuh dalam kasih.

Semangat berbagi hendaknya bukan sekedar sebuah slogan tetapi sebuah kenyataan dalam hidup. Kita belajar dari Tuhan Yesus, bagaimana ia berbagi dengan manusia. Ia membaktikan diri-Nya sampai tuntas dengan menderita sengsara, wafat di kayu salib dan bangkit dengan mulia. Semangat berbagi dari Tuhan Yesus selalu kita kenang di dalam Ekaristi. Sama seperti roti yang diambil, dipecah-pecah, dibagikan dan disantap, demikian hidup kita juga seharusnya demikian. Kita haruslah mampu memberi diri kepada Tuhan dan sesama. Hal ini bisa kita lakukan dengan sempurna kalau kita bisa mampu mengasihi.

Kemampuan untuk bisa berbagi dengan sesama juga menjadi nyata dalam semangat untuk memperjuangkan keadilan, belas kasih dan kesetiaan. Ketiga hal ini merupakan mata rantai yang menyatukan satu sama lain sehingga harus dilakukan dan jangan diabaikan. Apabila kita tidak mampu melakukannya maka kata yang tepat bagi kita adalah “Celakalah” karena hidup kita menyerupai para ahli Taurat dan kaum Farisi. Mereka hanya melihat hal-hal lahiriah saja. Para ahli Taurat dan kaum Farisi juga dianggap munafik oleh Yesus dan mendapat kata “Celakalah” karena mereka hanya melihat hal-hal lahiriah saja tetapi di dalam hati mereka, ada keinginan jahat untuk merampas dan rakus. Yesus mengajak mereka untuk membersihkan hati dalam arti bertobat sehingga dengan demikian mereka bisa tunjukkan kesucian kepada sesamanya.

Tuhan Yesus juga mengecam para pemimpin Yahudi yang buta dengan situasi hidup mereka. Mereka sangat teliti melihat kotoran dalam cawan seperti nyamuk, ditapis dan dibuang tetapi unta, hewan kotor itu ditelan begitu saja. Para pemimpin memiliki kecenderungan untuk memperhatikan kesalahan orang lain padahal ia sendiri memiliki kesalahan yang banyak.

Kecaman-kecaman Yesus terhadap para ahli Taurat dan kaum Farisi adalah kecaman bagi kita semua. Banyak di antara kita juga mirip dengan para ahli Taurat dan kaum Farisi yang cenderung melihat hal-hal lahiriah, legal tetapi tidak memperjuangkan keadilan, belas kasih, dan kesetiaan. Hidup kita menjadi indah karena kita saling berbagi dengan sesama dalam situasi apa saja. Kita saling berbagi karena Tuhan sendiri melakukannya bagi kita. Mari berbagi!

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply