Homili 15 Januari 2016

Hari Jumad, Pekan Biasa I
1Sam. 8:4-7,10-22a
Mzm. 89:16-17,18-19
Mrk. 2:1-12

Menyoal kekuasaan Allah

imageAda seorang anak sedang merasa memiliki relasi yang tidak harmonis dengan orang tuanya. Ia mengakui selalu bertentangan dengan orang tuanya dan belum berani untuk menyatu dengan mereka dalam perbedaan. Hal yang membuat saya heran adalah, ia sendiri tidak merasa memiliki masalah dalam membangun relasi dengan orang tuanya. Menurutnya, orang tuanyalah yang memiliki masalah dalam membangun relasi dengannya, bukan dia. Prinsipnya adalah: orang tua memiliki urusan sendiri, ia sebagai anak juga memiliki urusan sendiri. Maka ia tidak menyukai sikap orang tuanya yang selalu memasuki kehidupannya dan ikut campur tangan dengan semua hal yang sedang ia pikir dan kerjakan. Saya mengingatkannya: “Coba tutup matamu sejenak, minta maaf kepada Tuhan, minta maaf kepada orang tuamu karena kesombongan yang sedang menguasai hidupmu.”

Banyak kali kita mudah sekali bersikap seperti anak muda dalam kisah ini. Kita pun bersifat egois dan sombong sehingga sulit untuk mendengar Tuhan dan sesama, khususnya orang tua. Lihatlah bahwa anak muda ini benar-benar buta terhadap kehadiran orang tuanya. Mereka telah melahirkan dan membesarkannya dengan cara mereka sebagai orang tua, namun anak ini tidak pernah menyadari kasih sayang serta kebaikan mereka. Ia malah menyoal kekuasaan mereka di dalam hidupnya. Sikap yang sama juga sering terjadi dalam relasi dengan Tuhan. Banyak kali kita menuntut hal-hal yang aneh dari Tuhan dalam doa-doa pribadi dan komunitas. Kita menyoal kekuasaan Allah di dalam hidup kita.

Pada hari ini kita mendengar kisah kehidupan anak-anak Israel di hadapan Tuhan dalam Kitab Pertama Samuel. Mereka adalah bangsa terpilih dan mereka pun merasa bahwa keterpilihan adalah segalanya. Mungkin mereka lupa akan kisah Musa dan Harun saudaranya. Tuhan memilih Musa untuk memimpin umat Israel menuju ke tanah terjanji dan mendiaminya. Namun ini bukanlah menjadi jaminan bahwa mereka akan masuk ke tanah terjanji. Tuhan berkata kepada Musa dan Harun: “Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka.” (Bil 20:12). Sabda Tuhan sungguh terlaksana!

Dikisahkan dalam bacaan pertama bahwa pada suatu hari semua tua-tua Israel berkumpul dan datang menjumpai Samuel di Rama. Mereka menilai Samuel sudah tidak kompeten lagi dalam memimpin mereka karena usianya sudah tua. Mereka lalu memintanya untuk mengagangkat salah seorang supaya menjadi raja mereka seperti orang-orang asing. Nah mereka sedang lupa bahwa Tuhan adalah raja mereka. Mereka mau serupa dengan orang-orang kafir yang mengangkat raja manusiawi. Samuel mendengar permintaan mereka, dan ia berkonsultasi dengan Tuhan dalam doa. Tuhan mengatakan kepada Samuel untuk mengikuti keinginan mereka. Alasan Tuhan adalah mereka bukan menolak Samuel, melainkan Tuhanlah yang mereka tolak. Dialah raja mereka!

Tuhan juga menitip pesan kepada Samuel supaya mengingatkan anak-anak Israel kalau mereka menginginkan seorang raja selain Tuhan. Anak laki-laki keturunan mereka yang bertubuh bagus akan dijadikan pekerja kasar yang menarik kereta kuda, mereka juga menjadi kepala pasukan dan kemiliteran mereka. Mereka membajak ladang, menuai hasil pertanian, membuat perkakas dan senjata. Anak-anak perempuan dijadikan juru rempah-rempah, juru masak dan juru makanan. Mereka bekerja di ladang anggur dan zaitun. Hasil pertanian akan dibagi juga sebagai perpuluhan kepada raja. Ada juga yang menjadi budak raja. Nah ketika semua ini mereka alami sendiri maka mereka tentu akan berteriak meminta tolong kepada Tuhan karena rajanya lalim maka Tuhan juga tidak akan menjawab mereka. Bangsa Israel tegar tengkuk. Mereka tetap menuntut untuk memiliki raja. Tuhan pun mengingatkan Samuel supaya mengikuti kehendak mereka. Konsekuensinya adalah Tuhan tidak akan menjawab mereka.

Lihatlah betapa sombong dan egoisnya orang Israel. Mereka suka menuntut lebih dari yang Tuhan kehendaki. Meminta seorang raja berarti menomorduakan Tuhan yang selalu setia kepada mereka. Mereka terlampaui memaksa Tuhan supaya Tuhan taat kepada mereka. Konsekuensinya adalah Tuhan juga tidak akan menjawab mereka, ketika mereka meminta tolong kepada-Nya. Kita boleh melihat kisah ini dengan berkata: “Gue banget!” Banyak kali kita menyoal kekuasaan Allah. Kita mau supaya Tuhan menjadi sebagaimana pikiran dan kehendak kita. Kita bersalah! Tuhan tidak sama dengan kita.

Dalam bacaan Injil, Markus mengisahkan tentang sebuah mukjizat yang di lakukan Yesus di Kapernaum. Ia sedang berada di rumah Simon. Banyak orang mencari-Nya dan memohon kesembuhan. Di antara mereka ada seorang lumpuh yang digotong empat orang. Karena tidak ada tempat maka mereka membongkar atap rumah dan menurunkannya tepat di hadapan Yesus. Tuhan Yesus melihat iman orang lumpuh maka Ia berkata: “Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!” Perkataan Yesus ini menimbulkan sebuah perilaku menyoal kekuasaan Yesus.

Apa yang terjadi? Para ahli Taurat yang hadir pada peristiwa itu berkata dalam hati bahwa Yesus sedang menghujat Allah. Bagi mereka, hanya Allah saja yang bisa mengampuni dosa manusia. Yesus tahu isi hati mereka sehingga Ia bertanya mengapa mereka berpikir dalam hati mereka seperti itu. Yesus menunjukkan kuasa-Nya dengan menyembuhkan orang lumpuh itu secara rohani dan fisik. Orang boleh menyoal kekuasaan Tuhan, tetapi Tuhan akan tetap menunjukkan kuasa-Nya untuk menyelamatkan manusia. Orang yang melihat mukjizat ini takjub dan berkata: “Hal seperti ini belum pernah kita lihat.” (Mrk 2:12).

Mari kita memeriksa bathin kita. Berkali-kali kita menyoal kekuasaan Tuhan. Kita berlaku demikian karena kita belum sepenuhnya percaya kepada Tuhan. Kita meragukan kekuasaan Tuhan karena kita lebih mengandalkan diri, mengandalkan kekuatan duniawi dan melupakan kekuasaan Tuhan. Andai kita mengandalkan Tuhan maka dunia ini akan lebih indah.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply