Selalu jatuh cinta pada si pendosa
Anda pasti merasa heran ketika mendengar kisah kehidupan orang-orang tertentu yang memilih untuk menjalani sebuah kehidupan yang ekstrim. Misalnya, ada seorang pria yang gagah perkasa memilih untuk menikahi seorang wanita cacat sehingga tidak bisa berjalan. Setiap hari, sang suami harus menggendong pasangannya untuk masuk ke dalam kamar, ke dalam mobil bahkan rela menggendongnya di dalam mall. Banyak orang tentu bisa saja memandang rendah sang suami itu atau mungkin sang istri yang cacat. Kita semua memang memiliki kecendrungan untuk melihat yang lemah, cacat atau tidak sempurna di dalam hidup pribadi dan sesama.
Tuhan Yesus selalu mengalami hal yang ekstrim di dalam hidup-Nya. Kita bisa mengingat peristiwa kelahiran-Nya di Berlehem di mana Yesus sebagai Tuhan pasti sudah tahu akan tempat kelahiran-Nya namun Ia tetap konsisten untuk memilih Betlehem dengan segala kekurangan dan kelebihannya sebagai tempat kelahiran. Tentu saja tujuannya adalah supaya manusia bisa melihat wajah Allah yang penuh kasih. Ia datang dan hidup dalam kesederhanaan supaya manusia memiliki martabat baru sebagai anak. Kematian-Nya di atas kayu salib juga merupakan hal yang ekstrim.
Dari bacaan Injil, kita mendengar bagaimana Tuhan Yesus jatuh cinta dengan seorang yang dianggap berdosa yaitu Lewi, anak Alfeus. Nama Lewi berarti menggabungkan diri. Nama ini menunjukkan jati dirinya di mana ketika Tuhan Yesus memanggilnya, ia segera menjawabi panggilan Tuhan dengan menggabungkan dirinya dengan Tuhan. Dia menjamu Tuhan di rumahnya. Ia menjadi baru dalam Kristus. Mengapa demikian? Karena Tuhan Yesus mengasihinya apa adanya. Ia bersabda: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” (Mrk 2:17).
Bagaimana dengan kita?
PJSDB