Homili 17 Februari 2016

Hari Rabu, Pekan Prapaskah I
Yun. 3:1-10
Mzm. 51:3-4,12-13,18-19
Luk. 11:29-32.

Tuhan saja menyesal

imageAda seorang guru di sekolah yang merasa heran ketika memperhatikan perilaku beberapa siswa yang bertindak kasar terhadap temannya sampai ia mengalami cedera tertentu. Rasa heran itu muncul dalam pikiran guru karena ia tidak mendengar kata maaf sebagai ungkapan penyesalan mereka, tidak ada wajah bersalah, malah mereka masih sempat tertawa terbahak-bahak melihat teman kelasnya berjalan pincang masuk ke dalam kelas. Ia sempat bertanya, apa yang salah dalam diri anak-anak sekolah lanjutan ini sehingga mereka tidak merasa bersalah dan tidak menyesal ketika berlaku kasar terhadap temannya. Ia berusaha untuk membangun kesadaran mereka supaya mereka bisa bersahabat dengan siapa pun. Mereka juga dibantu untuk belajar menyesali dosa dan salah yang sudah mereka lakukan terhadap sesamanya. Dari pengalamannya ini, ia lalu mengakui bahwa banyak kali kita juga tidak meneyesali segala dosa dan salah yang sudah kita perbuat.

Pada hari ini kita mendengar dalam bacaan-bacaan liturgi, khususnya tentang kisah kehidupan nabi Yunus. Sebelumnya Yunus mendapat panggilan dari Tuhan untuk mewartakan seruan tobat kepada penduduk kota Niniwe yang saat itu melakukan banyak kejahatan di mata Tuhan. Namun Yunus malah melarikan dirinya ke Tarsis, jauh dari hadapan Tuhan. Dalam perjalan dengan kapal ke Tarsis ia mengalami musibah. Ada badai besar melanda kapal itu sehingga kapal yang ditumpanginya itu nyaris tenggelam. Ketika itu Yunus sedang tidur dengan tenang di bagian paling bawah kapal itu. Selanjutnya, Yunus pun kena undi dan meminta supaya dirinya dibuang ke dalam laut. Ketika itu juga ia ditelan oleh seekor ikan besar. Ia tinggal di dalam perut ikan itu tiga hari dan tiga malam (Yun 1:1-17). Atas kejadian itu Yunus berdoa dalam perut ikan. Ia percaya bahwa dalam kesulitan apa pun Tuhan pasti akan tetap memperhatikannya (Yun 2:1-10).

Yunus merasa berdosa dan menyesali semua dosanya di hadapan Tuhan. Oleh karena itu Tuhan masih percaya kepadanya sehingga memintanya untuk kedua kalinya supaya pergi ke Niniwe untuk menyerukan pertobatan. Niniwe digambarkan sebagai kota yang luas, dan bisa dikelilingi selama tiga hari. Kali ini Yunus taat kepada Tuhan. Ia pergi ke Niniwe dan pada har pertama ia berseru: “Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan.” (Yun 3:4). Ketika mendengar rencana Tuhan ini maka orang-orang Niniwe menunjukkan iman dan kepercayaan mereka kepada Tuhan dengan bertobat. Mereka mengumumkan puasa dan mengenakan kain kabung kepada semua anak-anak dan orang dewasa.

Warta pertobatan Yunus juga didengar oleh raja kota Niniwe. Ia turun dari singgasananya, menanggalkan jubahnya dan menyelubungkan dirinya dengan kain kabung dan duduk di atas abu. Di sini kita melihat bagaimana raja menunjukkan teladan pertobatan, dan kerendahan hatinya di hadapan Tuhan. Ia percaya bahwa ia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu. Raja lalu menyerukan puasa total bagi manusia dan segala ternaknya untuk tidak makan dan minum air. Manusia harus menunjukkan semangat pertobatannya dengan mengenakan kain kabung dan menyerukan pertobatannya di hadirat Tuhan. mereka harus berkata jujur kepada Tuhan karena dosa dan salah yang sudah mereka lakukan di hadapan Tuhan. Harapan mereka adalah, Tuhan bisa berpaling dari murka-Nya atas mereka.

Apa yang terjadi di pihak Tuhan ketika menyaksikan pertobatan orang-orang Niniwe? Tuhan melihat semangat pertobatan orang-orang Niniwe maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Iapun tidak jadi melakukannya. Hal yang indah di pihak Tuhan yaitu ia masih menyesali rancangan-Nya. Dia baru merancang saja masih menyesal, manusia sudah melakukan kejahatan kepada sesamanya tidak menunjukkan penyesalan apapun.

Yunus menyerukan pertobatan dan orang Niniwe benar-benar berbalik kepada Tuhan. Malapetaka yang dirancang Tuhan tidak sempat dialami oleh kaum Niniwe. Mengapa? Karena yang terjadi sesungguhnya adalah pertobatan radikal manusia dan ternaknya. Ada ungkapan kerendahaan hati mereka di hadirat Tuhan bahwa mereka memang sungguh-sungguh orang berdosa. Tuhan menunjukan kerahiman-Nya kepada mereka. Maka kisah Yunus ini membuka pemahaman kita tentan wajah Allah yang penuh kerahiman.

Dalam bacaan Injil, kita mendengar ungkapan kekecewaan Yesus kepada orang-orang sezaman-Nya. Mereka meminta tanda yang membuktikan jati diri-Nya di hadirat manusia. Yesus memberi cap kepada mereka sebagai angkatan yang jahat karena mereka boleh menyaksikan segala kasih Tuhan, mendengar sabda-Nya namun masih menuntut sebuah tanda. Tuhan Yesus merendahkan diri-Nya dengan menyamakan diri-Nya seperti Yunus. Yunus pernah tinggal dalam perut ikan tiga hari dan tiga malam, demikian Anak Manusia akan tinggal dalam perut bumi selama tiga hari dan tiga malam. Yunus menyerukan pertobatan di Niniwe dan membuat banyak orang kembali kepada Tuhan, Yesus akan mempersembahkan diri-Nya untuk menyelamatkan semua orang berdosa. Yesus lebih dari Salomo, lebih dari Yunus.

Banyak kali kita bangga dan mengakui diri kita sebagai pengikut Kristus, tetapi sesungguhnya hidup pribadi kita jauh dari Tuhan. Kita suka mencobai Tuhan dalam doa dan permohonan, memaksa Tuhan untuk mengikuti kehendak kita. Kita lupa bahwa Tuhan mengasihi dan memberi segala sesuatu yang kita butuhkan di dalam hidup ini. Setelah mengalami hidup seperti itu, tidak ada kata menyesal di hadirat Tuhan. Itulah hidup kita di hadirat-Nya.

Pada hari ini pikiran kita dibuka untuk merasakan kasih dan kerahiman Tuhan. Ia begitu baik dan mengasihi kita apa adanya. Satu hal yang kita belajar dari Tuhan adalah Ia masih menyesali rancangan-Nya bagi manusia yang berdosa dan bertobat kepada-Nya. Mengapa kita tidak menyesal ketika jatuh dalam dosa, ketika menyakiti hati sesama dan Tuhan? Bertobatlah dan baharuilah hatimu.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply