Homili 24 Februari 2016

Hari Rabu, Pekan Prapaskah II
Yer. 18:18-20
Mzm. 31:5-6,14,15-16
Mat. 20:17-28

Menderita bersama Yesus!

image“Saya tidak pernah mau merasakan sebuah penderitaan apa pun di dunia ini!” Demikian perkataan seorang ibu ketika memulai sharing pengalamannya dalam sebuah rekoleksi keluarga. Ia melanjutkan sharingnya: “Ini merupakan harapan dan keinginan saya supaya bebas dari berbagai penderitaan. Namun harapan dan pengalaman nyata memang selalu berbeda. Ketika masih muda saya mengalami PHK sehingga harus pontang-panting mencari pekerjaan baru. Setelah beberapa bulan menikah, saya mengalami kecelakaan lalu lintas dan kaki saya patah. Anak kami yang sulung mengalami cacat mata dan harus menggunakan kacamata seumur hidup. Sekarang ini saya juga memiliki penyakit darah tinggi. Lihatlah bahwa harapan saya dari awal tidak berhasil. Penderitaan datang silih berganti. Namun satu hal yang membanggakan saya adalah keluarga kami bahagia. Tuhan menyertai kami dan kami juga merasa dekat dengan Tuhan.” Semua peserta rekoleksi mendengar sharing ibu ini dengan penuh perhatian. Ada yang mengatakan bahwa pengalaman ibu ini mirip dengan pengalaman pribadinya sehingga merasa diteguhkan.

Saya berpendapat bahwa setiap orang yang mencari kebahagiaan di dunia ini pasti mengalami penderitaan tertentu. Penderitaan itu bisa di atasi dengan semangat rela berkorban. Tanpa semangat rela berkorban maka orang itu tidak bisa keluar dari penderitaannya. Salah satu bagian dari semangat rela berkorban adalah mempercayakan diri kepada Tuhan. Kita harus berani berpasrah dan menaruh seluruh harapan kita kepada Tuhan sebab mengandalkan diri sendiri untuk keluar dari penderitaan hanyalah sia-sia saja.

Pada hari ini kita bertemu dengan sosok nabi Yeremia. Ia adalah nabi yang vokal, memberikan banyak kritik sosial kepada orang-orang sezamannya supaya berlaku adil dan jujur. Oleh karena itu ada banyak orang tersinggung dan berniat jahat terhadapnya. Orang-orang yang memiliki rencana jahat juga merupakan orang-orang dekatnya. Inilah kesepakatan untuk melawan Yeremia: “Marilah kita mengadakan persepakatan terhadap Yeremia, sebab imam tidak akan kehabisan pengajaran, orang bijaksana tidak akan kehabisan nasihat dan nabi tidak akan kehabisan firman. Marilah kita memukul dia dengan bahasanya sendiri dan jangan memperhatikan setiap perkataannya!” (Yer 18:18).

Apa reaksi dari nabi Yeremia dengan adanya persekongkolan ini? Yeremia tidak mengandalkan dirinya sendiri. Ia mengandalkan Tuhan dalam persoalan hidupnya. Ia berdoa memohon supaya Tuhan memperhatikan dan mendengar seruan doa serta pengaduannya. Ia bahkan memohon supaya Tuhan tidak memberikan hukuman kepada orang-orang yang memusuhinya. Inilah doa nabi Yeremia: “Perhatikanlah aku, ya Tuhan, dan dengarkanlah suara pengaduanku! Akan dibalaskah kebaikan dengan kejahatan? Namun mereka telah menggali pelubang untuk aku! Ingatlah bahwa aku telah berdiri di hadapan-Mu, dan telah berbicara membela mereka, supaya amarah-Mu disurutkan dari mereka.” (Yer 18:19-20). Yeremia adalah orang benar yang tidak mau membalas kejahatan dengan kejahatan. Ia berdoa supaya Tuhan membalas kejahatan mereka dengan kebaikan. Amarah Tuhan menjadi surut karena doa-doa Yeremia.

Masa Prapaskah adalah masa di mana kita juga merenungkan penderitaan Tuhan Yesus Kristus. Ia berbicara terus terang tentang penderitaan-Nya di dalam bacaan Injl hari ini. Inilah perkataan-Nya: “Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya Ia diolok-olokkan, disesah dan disalibkan, dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan.” (Mat 20:18-19). Tuhan Yesus mengatakan dengan terus terang tentang Paskah-Nya, mulai dari penderitaan hingga kebangkitan-Nya yang mulia.

Menurut saya, perkataan Yesus tentang penderitaan-Nya di kayu salib merupakan sebuah bentuk pelayananan-Nya. Ia diutus Bapa ke dunia untuk melayani manusia dan mendamaikan manusia dengan Bapa. Yesus adalah damai kita. Dia mendamaikan kita dengan Bapa dengan penderitaan-Nya. Namun pada saat yang sama, menurut catatan penginjil, muncul sikap ambisius yang ditunjukkan oleh anak-anak Zebedeus yakni Yakobus dan Yohanes. Ibu dari kedua murid ini mengetahui dengan baik keadaan anak-anaknya serta keinginan hati mereka. Karena itu ia berani datang, menyembah Yesus dan memohon tempat yang layak di sisi kanan dan kiri Yesus.

Reaksi Yesus sebagai pelayan sejati terungkap dalam perkataan-Nya ini: “Kamu tidak tahu, apa yang kamu minta.” Yesus tahun bahwa para murid-Nya ini akan meminum cawan penderitaan, yakni cawannnya Yesus sendiri tetapi bahwa ambisi pribadi mereka tidak sesuai dengan cawan itu. Lagi pula kedudukan yang baik itu adalah hak dari Bapa surgawi bukan hak Anak yaitu Yesus. Keadaan komunitas Yesus saat itu menjadi tegang karena ulah kedua bersaudara ini. Namun demikian, Yesus  mempersatukan mereka semua. Ia menjelaskan sikap hidup yang tepat bagi seorang murid yakni: orang yang mau menjadi besar haruslah menjadi pelayan. Orang yang mau menjadi terkemuka harus menjadi hamba. Yesus menunjukkannya dengan teladan hidup-Nya sendiri, yakni Ia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani, bahkan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengajak kita untuk bertahan dalam penderitaan dengan meletakkan seluruh harapan kita kepada Tuhan. Nabi Yeremia menderita namun ia membaktikan diri kepada Tuhan dan Tuhan meneguhkannya. Tuhan Yesus menderita supaya memberi keselamatan kepada kita semua. Kita semua diingatkan untuk meminta kepada Tuhan apa yang dikehendaki-Nya bukan apa yang kita kehendaki. Banyak kali kita tidak tahu meminta kepada Tuhan dalam doa dan harapan-harapan kita. Mungkin permintaan itu hanya sebatas mencari harta, kekuasaan dan popularitas. Masa prapaskah menjadi kesempatan bagi kita untuk berbalik kepada Tuhan dan bertahan dalam penderitaan kita.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply