Homili Hari Minggu Prapaskah IV/C – 2016

Hari Minggu Prapaskah IV/C
Yos. 5:9a,10-12
Mzm. 34:2-3,4-5,6-7
2Kor. 5:17-21
Luk. 15:1-3,11-32

Aku ingin memandang wajah kerahiman Allah

imageSeorang sahabat mengajakku supaya menyisihkan waktu sejenak pada tahun 2016 ini untuk menemaninya ke Italia dan beberapa tempat lain di Eropa. Di Italia, ia ingin mengunjungi beberapa Gereja terkenal di Roma seperti St. Petrus di Vatican, St. Yohanes Lateran, St. Paolo Fuori della murra, dan St. Maria Maggiore. Saya bertanya kepadanya: “Mengapa anda harus pergi ke Roma? Bukankah di tempat kita juga ada gereja yang bagus?” Dia menjawabku: “Aku ingin memandang wajah kerahiman Allah di sana”. Wah, sambil tertawa saya mengatakan kepadanya, “Kalau itu keinginanmu maka saya siap menemanimu, yang penting perjalanan dari Dili ke Roma dan kembali adalah tanggunganmu bukan tanggunganku”.

Saya yakin bahwa Tahun Yubileum Kerahiman Allah yang dicanangkan Paus Fransiskus memiliki pengaruh yang cukup besar bagi Gereja Katolik. Bapa Paus Fransiskus, saat membuka tahun kerahiman Allah pada tanggal 8 Desember 2015 yang lalu, mengatakan bahwa dengan membuka pintu Gereja, kita merasakan kuasa dan kerahiman Allah. Pintu Gereja menjadi pintu kerahiman (Door of Mercy) di mana setiap orang yang masuk ke dalamnya akan mengalami kasih Allah yang menghibur, mengampuni dan memberi harapan baru. Daun pintu Gereja juga, ibarat tangan Tuhan yang terbuka untuk menerima diri kita apa adanya. Kita mendapat rangkulan Tuhan dan menikmati kasih dan kerahiman-Nya.

Bapa Paus Fransiskus menulis dalam Bulla “Misericordia Vultus” bahwa Yesus Kristus menunjukkan wajah kerahiman Allah Bapa (MV,1). Satu hal konkret yang dilakukan selama dua hari sebelum Hari Minggu Prapaskah ke-IV ini adalah inisiatif “24 Hours for the Lord” yang harus dilaksanakan di setiap keuskupan. Sambil mengkontemplasikan wajah kerahiman Allah dalam sakramen Mahakudus, kita juga diundang untuk mengakui dosa-dosa kita. Sebab itu Paus Fransiskus mengharapkan agar para bapa pengakuan tetap merasakan panggilan mereka sebagai tanda utama kerahiman Allah, selalu, di mana-mana, dan dalam setiap situasi apapun untuk melayani pengakuann dosa (MV, 17).

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari Minggu Prapaskah IV ini, coba membangkitkan semangat kita untuk merasakan kerahiman Allah dengan sukacita. Dalam bacaan pertama, kita mendengar situasi setelah Yosua menyunatkan seluruh bangsa Israel saat setelah mereka memasuki tanah terjanji. Tuhan mengatakan kepadanya bahwa sejak hari itu, Ia menghapus segala cela Mesir. Ini merupakan pemurnian yang dialami bangsa Israel sebelum mereka menempati seluruh tanah terjanji. Mereka juga merayakan Paskah pada hari keempat belas bulan itu. Setelah merayakan paskah, mereka makan hasil negeri itu yaitu roti yang tidak beragi dan bertih gandum. Jadi manna yang Tuhan berikan tidak akan turun lagi karena mereka semua sudah menginjakkan kakinya di tanah terjanji.

Kita bisa membayangkan perjalanan umat Israel untuk memasuki tanah terjanji selama lebih kurang empat puluh tahun. Mereka akhirnya menginjakkan kakinya di tanah terjanji yaitu tanah Kanaan. Tanah ini menurut janji Tuhan, penuh dengan susu dan madunya (Kel 3:8). Ini adalah sukacita yang besar maka mereka merayakan paskah, artinya Tuhan lewat, mengenang kembali saat hendak keluar dari tanah Mesir dan kini saat untuk menetap di tanah terjanji. Mereka menikmati janji Tuhan dengan memakan makanan dari tanah terjanji.

Janji Tuhan Allah kepada umat Israel terpenuhi. Mereka tidak lagi menikmati manna di padang gurun, tetapi makanan dari tanah terjanji. Tuhan Allah itu baik. Maka bersama pemazmur kita berani berkata: “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan.” (Mzm 34:9). Tuhan itu baik karena menganugerahkan kerahiman-Nya kepada umat manusia. Tugas manusia adalah memuji Tuhan setiap waktu, memuliakan-Nya dan senantiasa mengarahkan pandangan kepada-Nya. Tuhan sendiri setia mendengar dan siap untuk menyelamatkan umat-Nya.

Cinta kasih Tuhan menjadi sempurna di dalam diri Yesus Kristus. St. Paulus mengatakan bahwa barangsiapa ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru. Hidup lama telah berlalu dan hidup baru telah datang. Semuanya ini bukan karena kehebatan manusia tetapi semata-mata karena kasih Allah yang mendamaikan kita dengan diri-Nya lewat Yesus Kristus. Tuhan Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya melalui Yesus Kristus Tuhan kita tanpa membuat perhitungan berapa besar pelanggaran yang sudah dilakukan manusia. Paulus juga menjelaskan kepada jemaat di Korintus bahwa sebagai rasul, ia bersama rekan-rekannya diutus untuk mewartakan pendamaian kepada semua orang.

Tugas para utusan Tuhan adalah mewartakan pendamaian. Ini adalah pekerjaan Tuhan di dalam diri para rasul sebagai utusan-Nya. St. Paulus melakukan tugasnya dengan baik. Ia mangajak jemaat di Korintus: “Berilah dirimu didamaikan dengan Allah.” Hal ini tentu menjadi tugas Gereja sepanjang zaman yaitu mewartakan pendamaian kepada semua orang. Pendamaian itu bisa dirasakan melalui pertobatan yang terus menerus. Orang berdosa bisa sadar diri, mengenal Allah sebagai Bapa yang maharahim yang mendamaikan diri-Nya dengan dunia melalui Yesus Kristus Tuhan kita.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil menghadirkan wajah Allah Bapa yang maharahim dalam sebuah perumpamaan yang bagus tentang “Bapa yang murah hati”. Dia adalah seorang Bapa yang menghormati kebebasan anak-anaknya, meskipun sebenarnya anak-anaknya menyalahgunakann kebaikannya sebagai bapa. Seorang Bapa yang senantiasa membuka tangannya untuk menerima anaknya yang sudah jatuh dalam dosa bahkan sampai level “sudah mati”.

Dikisahkan bahwa ada seorang bapa memiliki dua orang anak. Pada suatu ketika anak bungsu meminta warisan yang menjadi haknya. Ayahnya tidak keberatan untuk membagikan harta di antara mereka. Anak bungsu segera meninggalkan rumah, pergi ke sebuah negeri yang jauh. Ia berfoya-foya dan menghabiskan semua hartanya. Pada akhirnya terjadi bencana kelaparan dan ia pun jatuh melarat. Ia mencari pekerjaan dan mendapat pekerjaan sebagai penjaga babi. Ia hendak mengisi perutnya dengan makanan babi tetapi tidak ada orang yang memberinya. Ia lalu berpikir untuk kembali ke rumah bapanya karena ia percaya bahwa bapanya adalah orang baik dan memperhatikan banyak pekerja, lagi pula hidup mereka sebagai pekerja berkelimpahan. Ia pun kembali ke rumah, dan ketika hampir tiba di rumah, bapa melihat anaknya sedang menuju ke rumah. Ia pun keluar dari rumah untuk menyambut anak bungsunya. Anak itu memohon maaf karena ia telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapanya. Ia bahkan merasa tidak layak sebagai anak bapanya. Bapa itu tidak berbicara banyak. Ia memeluk dan menciumnya, meminta para hambanya untuk memberinya jubah yang terbaik, cincin, sepatu serta seekor lembu tambun sebagai syukuran karena ia telah mati dan hidup kembali.

Masalah baru muncul yakni pada pihak anak sulungnya. Anak sulung marah dengan bapanya ketika kembali dari ladang. Ia merasa heran karena ayahnya masih memperlakukan anak bungsunya dengan baik padahal ia telah berdosa. Ayahnya dengan baik hati mengatakan, “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah keounyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan di dapat kembali.” (Luk 15:31-32).

Bacaan Injil memperlihatkan tiga figur yang mewakili kehidupan pribadi kita masing-masing. Pertama, figur ayah sebagai pribadi yang murah hati. Ia menghormati kemerdekaan anak-anaknya. Apa yang menjadi hak mereka diberikannya dan ia siap menerima resiko yakni ketika anak bungsunya kembali atau anak sulungnya tidak bersyukur. Tangannya selalu terbuka untuk memberi dan menerima anak-anak apa adanya. Figur bapa adalah Tuhan Allah sendiri yang maharahim kepada semua orang. Kedua, Anak bungsu. Ia memiliki kemerdekaan, menggunakan haknya. Hanya saja ia kurang bertanggung jawab terhadap kebaikan yang sudah diberikan ayahnya. Namun ia masih sadar diri sebagai pribadi yang lemah dan mau kembali kepada bapanya. Ketiga, anak sulung. Ia lupa diri karena selalu berada di zona nyaman. Ia memang memiliki harta tetapi tidak memanfaatkannya. Apa yang menjadi milik ayahnya, itu pun menjadi miliknya. Dia tidak berempati dengan saudaranya. Anda termasuk figur yang mana?

Sabda Tuhan pada hari ini memanggil kita semua untuk senantiasa bersukacita. Kita bersukacita karena Tuhan mengantar kita ke tanah terjanji. Ziarah hidup kita menjadi sempurna. Kita bersukacita karena Tuhan mendamaikan kita dengan diri-Nya dalam Yesus Kristus. Kita bersukacita karena apa pun hidup kita, Tuhan tetap mengasihi kita apa adanya. Bersukacitalah senantiasa dan rasakanlah kerahiman Tuhan.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply