Homili Hari Minggu Biasa XV/C – 2016

Hari Minggu Biasa XV/C
Ul 30:10-14
Mzm 69:14.17.30-31.33-34.36ab
Kol 1:15-20
Luk 10:25-37

Kerahiman Allah mempersatukan semua orang

imageKita memasuki Hari Minggu Biasa ke-XV/C. Antifon pembuka dalam perayaan syukur hari Minggu ini merupakan sebuah doa dari Raja Daud, bunyinya: “Dalam kebenaran, aku memandang wajah-Mu, dan aku akan puas waktu menyaksikan kemuliaan-Mu” (Mzm 17:15). Raja Daud percaya bahwa Tuhan Allah itu maharahim dan kerahiman-Nya itu mempersatukan semua orang berdosa. Ia sendiri memiliki banyak kelemahan namun ia akan memandang wajah Allah dalam kebenaran bahkan ia puas merasakan kerahiman Allah dalam kemuliaan-Nya. Permenungan kita tentang kerahiman Allah yang mempersatukan semua orang akan menjadi lebih kaya karena kita berhadapan dengan pertanyaan tentang kasih. Apakah kita sungguh-sungguh mengasihi Allah? Apakah kita juga sungguh-sungguh mengasihi sesama kita? Yohanes dalam suratnya mengatakan: “Jika seorang mengatakan “Aku mengasihi Allah” dan membenci saudaranya, maka ia seorang pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya. Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya” (1Yoh 4:20-21).

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada Hari Minggu Biasa ke-XV/C ini mengarahkan kita semua kepada kasih dan kerahiman Allah yang mempersatukan semua orang. Dalam bacaan pertama kita mendengar bagaimana Musa mengingatkan bangsa Israel tentang keluhuran Sabda Tuhan. Ia berkata: “Hendaklah engkau mendengar suara Tuhan, Allahmu, dengan berpegang pada perintah dan ketetapan-Nya yang tertulis dalam Kitab Taurat ini; dan hendaklah engkau berbalik kepada Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu.” (Ul 30:10). Hal yang menarik perhatian kita dari perkataan Musa adalah meminta Israel untuk memiliki kemampuan mendengar.

Bangsa Israel terbiasa dengan kata “dengarlah” (shema) Israel. Orang yang yang mendengar dengan baik akan mentaati dan ketika mentaati dengan sendirinya akan mengasihi. Maka Musa mengingatkan bangsa Israel untuk mendengar suara Tuhan, mentaati segala perintah dan ketetapan dan mengasihi Tuhan Allah dengan berbalik kepada-Nya dengan segala totalitas hidupnya. Berbalik kepada Allah merupakan tanda pertobatan untuk merasakan kerahiman dan kasih Allah. Musa menambahkan, bahwa Sabda Tuhan itu sangat dekat yakni “di dalam mulutmu, di dalam hatimu dan hendaklah engkau melaksanakannya” (Ul 30:14).

Musa dalam bacaan pertama ini membantu kita untuk menyadari bahwa pengalaman akan kerahiman Allah yang mempersatukan setiap pribadi itu dimulai dari kemampuan pribadi kita untuk mendengar suara Tuhan. St. Paulus dengan tepat mengatakan bahwa iman timbul dari pendengaran dan pendengaran oleh Firman Kristus (Rm 10:17). Mari kita bertanya, apakah kita memiliki kemampuan untuk mendegar suara Tuhan yang begitu dekat di dalam mulut dan hati kita? Apakah kita mampu melakukan Firman Tuhan dengan baik?

St. Paulus dalam bacaan kedua memfokuskan perhatian kita pada Pribadi Kristus. Bagi Paulus, Kristus adalah gambar Allah yang tidak kelihatan (Kol 1: 15). Meskipun dikatakan gambar Allah yang tidak kelihatan namun St. Paulus menunjukkan jati diri Kristus kepada jemaat di Kolose. Jati diri Kristus yang dimaksud adalah bahwa Dia adalah yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan. Segala sesuatu diciptakan Bapa di dalam Dia, yang ada di surga dan di bumi, yang kelihatan dan tidak kelihatan. Kristus adalah kepala tubuh, yang sulung, pertaman bangkit dari kematian. Kristus adalah kepenuhan Allah dan oleh Dia Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya. Pendamaian antara Allah dengan manusia menjadi nyata dalam salib-Nya.

Paulus menggambarkan Kristus, yang diurapi sebagai tanda kerahiman Allah. Paus Fransiskus mengatakan bahwa Yesus Kristus men unjukkan wajah Kerahiman Bapa. Apa yang dikatakan Bapa Suci ini sejalan dengan pengajaran St. Paulus kepada jemaat di Kolose. Kristus merupakan gambaran Allah yang tidak kelihatan sekaligus merupakan kepenuhan Allah. Allah sendiri bahkan mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya melalui Yesus Kristus, dalam darah dan salib-Nya. Salib adalah merupakan bahasa kerahiman Allah bagi manusia. Benarlah doa kita: “Sebab dengan salib suci-Mu, Engkau telah menebus dunia”.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil memberikan sebuah perumpamaan yang populer tentang orang Samaria yang murah hati dan menjadi sesama bagi orang lain. Tuhan Yesus mula-mula didatangi oleh seorang ahli Taurat yang bertanya tentang apa yang harus dilakukannya untuk memperoleh hidup kekal. Tuhan Yesus tidak membuat teori yang baru tentang kasih tetapi mengulangi apa yang sudah dikatakan dalam Taurat tentang mengasihi Tuhan dan sesama. Ahli Taurat itu berusaha membenarkan dirinya di hadapan Tuhan maka ia bertanya kepada Yesus: “Siapakah sesamaku manusia?” (Luk 10:29).

Tentu saja ini menjadi kesempatan bagi Yesus untuk berkatekese dengan sebuah cerita yang menarik. Ada seorang Yahudi yang turun dari Yerusalem menuju ke Yeriko. Ia jatuh ke tangan para penyamun yang merampok, memukuli sampai babak belur dan meninggalkannya di pinggir jalan. Orang Yahudi pertama yang lewat di jalan itu adalah seorang imam, ia hanya melihat dan lewat begitu saja. Orang kedua adalah seorang Lewi, juga hanya lewat begitu saja. Orang ketiga bukan seorang Yahudi tapi seorang Samaria. Orang Samaria sebenarnya adalah musuh bagi orang Yahudi. Namun ia tergerak hati oleh belas kasihan. Ia turun dari keledainya, merawat orang Yahudi ini dengan membalut luka-lukanya, menyiraminya dengan minyak dan anggur. Ia mengangkatnya ke atas keledai tunggangannya dan membawanya ke penginapan dan merawatnya. Ia masih memberikan dua dinar kepada pemilik penginapan dengan pesan apabila biaya perawatannya lebih maka ia akan menggantinya ketika pulang. Yesus bertanya “siapakah yang bertindak sebagai sesama manusia” kepada ahli Taurat itu. Ia menjawabnya: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya” (Luk 10: 37). Yesus berkata kepadanya: “Pergilah dan perbuatlah demikian”.

Tuhan menunjukkan belaskasih dan kerahiman-Nya kepada orang yang berharap kepada-Nya. Ketika mengalami penderitaan dan kemalangan, ketika jatuh dalam dosa maka hal yang terpenting adalah berpasrah kepada Tuhan yang Maharahim. Ia akan menunjukkan belas kasih-Nya kepada kita semua. Kerahiman Allah mempersatukan manusia. Ia memberikan sabda-Nya yang dapat mengubah hidup manusia. Ia mengutus Yesus Putra-Nya sebagai tanda kerahiman karena mendamaikan segala sesuatu dengan Salib-Nya. Ia memiliki hati yang penuh belas kasih kepada manusia yang menderita dan berharap kepada-Nya. Apakah kita juga dapat merasakan kerahiman Allah yang mempersatukan kita dengan sesama manusia?

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply