Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XIX
Yeh 16:1-15.60.63
MT. Yes 12:2-3.4abcd.5-6
Mat 19:3-12
Berjuang untuk setia selamanya
Saya pernah diundang untuk merayakan misa syukur untuk memperingati sepuluh tahun pernikahan sebuah pasangan suami dan istri. Perayaan Ekaristi berjalan dengan baik. Usai perayaan, pasangan suami istri yang berbahagia ini membagikan pengalaman kebersamaan mereka selama sepuluh tahun pertama hidup bersama. Mereka bergantian berbicara dengan pokok pikiran yang sama. Pertama-tama mereka mengajak kami untuk memperhatikan tulisan pada setiap souvenir, bunyinya: “Kami berjuang untuk setia selamanya”. Mereka mengaku bahwa sebelum menikah, mereka berdua duduk untuk merencanakan sebuah keluarga baru yang indah, yang sama-sama mereka dambakan. Mereka berdua sepakat dan berkomitmen untuk menghayati janji perkawinan yakni setia dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit dan saling mencintai sampai maut memisahkan mereka. Pada saat mereka sudah tinggal bersama-sama di dalam satu keluarga maka mulailah mereka berjuang untuk mewujudkan komitmen bersama ini. Mereka berdua sama-sama mengakui bahwa untuk mewujudkan komitmen cinta kasih yang benar, membutuhkan perjuangan setiap saat, mempertajam kemampuan mendengar dan menyimak dan memperkuat kemampuan untuk mengampuni tanpa batas. Dengan demikian pintu kesetiaan pun akan terbuka lebar. Semua undangan yang hadir memperhatikan ungkapan hati pasutri ini sambil berefleksi tentang keluarga masing-masing.
Hari ini kita bersama-sama merenungkan tentang keluarga. Paus Fransiskus dalam Eksortasi Apostolik Post-Sinodal “Amoris Laetitia” (AL) mengatakan bahwa Tuhan Allah memiliki rencana untuk membentuk keluarga-keluarga manusia. Hal ini dapat kita temukan pada bagian awal Kitab Suci. Di sana kita membaca: “Allah menciptakan manusia sesuai dengan gambar-Nya sendiri, laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27). Kutipan ini hendak menegaskan bahwa “gambar Allah” itu merujuk pada sebuah pasangan hidup yaitu “pria” dan “wanita”. (AL, no. 10). Sebab itu panggilan hidup sebagai suami dan istri adalah bagian dari rencana Allah yang indah, dan bukan semata-mata berasal dari keinginan manusiawi belaka. Sebab itu sangat dibutuhkan kesetiaan sebagai suami dan istri sampai maut memisahkan.
Dalam dokumen yang sama, Paus Fransiskus juga menyebutkan tantangan-tantangan keluarga masa kini. Salah satunya adalah krisis perkawinan yang melanda banyak keluarga. Berkaitan dengan ini, ia berkata, “Sebuah krisis dalam hubungan sepasang suami dan isteri mengganggu kemantapan keluarga dan, lewat perpisahan dan perceraian, dapat membawa pada akibat yang serius terhadap orang dewasa, anak-anak dan masyarakat secara umum, melemahkan ikatan perorangan dan kemasyarakatan” (AL, no. 31). Keluarga-keluarga perlu kembali kepada komitmen perkawinan mereka supaya mereka bisa setia dan saling mengasihi selamanya. Gereja juga membuka dirinya sesuai ajakan Paus Fransiskus supaya menerima pasangan-pasangan tertentu yang pisah ranjang atau bercerai. Kerahiman Allah harus benar-benar mereka rasakan.
Penginjil Matius hari ini mengisahkan tentang kedatangan orang-orang Farisi kepada Yesus untuk mencobai-Nya. Mereka bertanya kepada-Nya tentang boleh tidaknya seorang suami menceraikan istrinya. Tuhan Yesus mengingatkan mereka untuk kembali kepada rencana awal dari Allah ketika menciptakan manusia. Dalam Kitab Kejadian dikatakan: “Maka Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27). Sebagaimana dikatakan di atas bahwa sejak semula manusia diciptakan sebagai sebuah pasangan. Maka Tuhan sudah menentukan finalitas dari setiap pribadi: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej 2:24). Di sini terjadi sebuah persekutuan fisik dan rohani yang sangat mendalam. Pasutri bukan lagi dua melainkan satu sehingga menurut Yesus, apa yang sudah dipersatukan Allah janganlah diceraikan oleh manusia (Mat 19:6). Perkataan Yesus ini mengafirmasi persekutuan yang tidak terpisahkan antara suami dan istri.
Rupa-rupanya jawaban Yesus ini tidak diterima oleh mereka. Mereka sekali mencobai-Nya dengan bertanya: “Jika demikian, mengapa Musa memerintahkan untuk memberi surat cerai jika orang menceraikan istrinya?” (Mat 19:7). Perkataan kaum Farisi ini berdasar pada Kitab Ulangan: “Apabila seorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkan ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumah” (Ul 24:1). Yesus dengan tegas mengatakan kepada mereka bahwa Musa “memberikan ijin” bukan “memerintahkan” mereka untuk melakukannya. Semuanya karena ketegaran hati mereka, padahal sejak penciptaan manusia tidak pernah ada perceraian. Sikap kaum Farisi ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengerti dengan baik kehendak Tuhan di dalam hidup mereka.
Belakangan ini kita berjumpa dengan pribadi-pribadi dalam keluarga yang tegar hati. Banyak suami dan istri yang tegar hati sehingga tidak setia di dalam perkawinan mereka. Pasangan-pasangan muda kadang-kadang masih membuka pintu hati untuk kehadiran orang-orang lain. Berbagai acara reunian teman seangkatan bisa menimbulkan cinta lama bersemi kembali (clbk) yang ujung-ujungnya adalah relasi khusus yang tidak diinginkan sebagai pasutri. Sebab itu masing-masing orang harus belajar dari pengalaman hidupnya untuk setia.
Mari kita belajar juga dari sikap Tuhan yang begitu setia dengan umat Israel. Nabi Yehezkiel bersaksi bahwa umat Israel juga tegar hati kepada Tuhan. Namun Tuhan setia menyertai mereka dalam situasi apa pun. Ia sudah berjanji maka janji-Nya itu harus dipenuhi-Nya juga. Ia menunjukkan kasih setia dan kerahiman-Nya dengan mengampuni dosa-dosa mereka. Tuhan berlaku demikian maka betapa indahnya kalau para suami dan istri itu saling mengampuni dan menerima satu sama lain. Pasutri memang perlu berjuang untuk setia selama-lamanya.
PJSDB