Homili Hari Minggu Biasa ke- XX/C – 2016

Hari Minggu Biasa ke-XX/C
Yer 38:4-6.8-10
Mzm 40:2.3.4.18
Ibr 12:1-4
Luk 12:49-53

Mataku tertuju kepada Yesus

imageSaya memulai hari Minggu ini dengan mendengar sebuah lagu ciptaan Ir. Niko, berjudul: “Mataku tertuju pada-Mu”. Inilah syair lagunya: “Mataku tertuju pada-Mu, segenap hidupku kuserahkan pada-Mu. Bimbing aku masuk rencana-Mu, untuk membesarkan Kerajaan-Mu. Ku mau mengikuti kehendak-Mu ya Bapa, Ku mau selalu menyenangkan hati-Mu.” Syair lagunya memang sederhana namun memberi banyak inspirasi kepada saya untuk membaca dan merenungkan Sabda Tuhan pada hari Minggu ini. Permenungan saya adalah bahwa setiap orang yang sudah dibaptis mendapat panggilan untuk terus menerus memandang Yesus sang Penebus dan berusaha mengikuti-Nya dari dekat. Sambil mata kita tertuju pada Yesus dan memandang-Nya, kita berani berjanji untuk tidak ragu-ragu mengikuti-Nya. Yesus sendiri mengatakan bahwa Ia datang membawa api ke dunia dan menghendaki agar api itu tetap menyala. Api adalah Roh-Nya sendiri yang membangunkan kita dari kelesuan dan kemalasan. Hanya Dia yang mampu menganugerahkan iman kepada kita dan membawa kita kepada kesempurnaan iman melalui pengurbanan-Nya di atas kayu salib.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari Minggu ini membantu kita untuk memiliki mata iman yang tetap tertuju kepada Yesus. Ia diutus Bapa ke dunia untuk menebus dosa-dosa kita. Ia rela menderita di atas kayu salib hingga wafat dan bangkit pada hari ketiga. Ia menderita karena mengatakan kebenaran yakni penebusan berlimpah dari Bapa. Namun manusia memiliki hati yang keras sehingga tidak mampu menerima-Nya. Penolakan terhadap Yesus masih ada di dalam Gereja masa kini. Banyak orang hanya mengakui diri sebagai orang beragama Katolik, namun hidup mereka bukanlah sebagai orang kristen sejati.

Di dalam bacaan pertama, kita berjumpa dengan figur nabi Yeremia. Ia diutus oleh Tuhan untuk mengoreksi cara hidup umat Israel yang begitu jauh dari mata Tuhan. Mereka memiliki hati yang keras, suka bersungut-sungut melawan Tuhan. Mereka memilih membelakangi Tuhan. Untuk itu Tuhan menyuruh Yeremia bernubuat supaya dapat membalikan arah hidup mereka kepada-Nya. Artinya, Tuhan menghendaki pertobatan mereka. Namun reaksi mereka sangatlah negatif. Para pemimpinnya mendatangi raja Zedekia seraya meminta supaya Yeremia dihukum mati. Alasannya adalah melalui nubuat-nubuatnya, Yeremia sudah melemahkan semangat prajurit-prajurit dan juga semangat masyarakat pada umumnya. Mereka menilai Yeremia sebagai orang yang tidak pro kesejahteran bangsa.

Raja Zedekia seakan mencuci tangannya. Dia tidak menunjukkan wibawa kepemimpinannya sehingga dia hanya mengizinkan mereka untuk melakukan apa saja yang mereka mau untuk Yeremia. Mereka memasukkan Yeremia ke dalam sumur berisi lumpur milik Pangeran Malkia. Untung ada Ebed-Melekh yang berhasil mempengaruhi raja Zedekia sehingga ia mengijinkan supaya Yeremia dapat diselamatkan dari kematiannya di dalam sumur berlumpur.

Kisah ini mengarahkan mata kita kepada Tuhan. Ia menunjukkan kasih dan kerahiman-Nya kepada nabi-Nya sebagai orang benar. Nabi Yeremia memberi kritik sosial dalam nubuat-nubuatnya untuk mengoreksi cara hidup umat Israel yang bobrok. Namun sangat disayangkan karena mereka tidak membuka dirinya, siap untuk menerima koreksi persaudaraan dari Tuhan melalui nabi Yeremia. Mereka malah mau membunuhnya. Orang benar selalu dilindungi Tuhan dalam seluruh hidupnya.

Banyak kali kita pun merasakan pengalaman nabi Yeremia. Kita mendapat berbagai penderitaan dari orang-orang di sekitar kita yang tidak mau membuka dirinya untuk menerima koreksi persaudaraan. Mereka suka membenarkan dirinya dan berpikir bahwa mereka tidak berdosa. Mungkin anda dan saya memiliki kebiasaan seperti ini dan patutlah kita berjanji kepada Tuhan untuk bermetanoia.

Semangat untuk bermetanoia atau mengubah kiblat hidup seratus persen kepada Tuhan itu penting dan harus. Dalam semangat yang sama, penulis surat kepada umat Ibrani mengajak kita untuk menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Semangat bermetanoia untuk layak mengikuti Yesus Kristus dari dekat dapat kita lakukan dengan terus menerus memandang Yesus. Mata kita tetap tertuju kepada Yesus. Semangat yang sama pernah dialami oleh ketiga rasul inti yakni Petrus, Yakobus dan Yohanes di atas gunung setelah menyaksikan kemuliaan Tuhan Yesus. Mereka mengangkat kepala dan melihat Yesus seorang diri saja (Mat 17:8).

Mata iman kita hendaknya tetap tertuju kepada Yesus seorang diri saja. Dialah yang menganugerahkan iman kepada kita dan menyempurnakan iman kita dengan pengurbanan-Nya di atas kayu salib. Yesus memberi teladan rela menderita untuk keselamatan banyak orang. Pada akhirnya kita semua diajak: “Janganlah kamu menjadi lemah dan putus asa sebab dalam pergumulanmu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah” (Ibr 12:4). Hanya Yesus saja yang melakukan semuanya dengan sempurna. Belajar dari Yesus, kita pun dapat melakukan perngorbanan diri tertentu dalam hidup setiap hari. Kita perlu bermatiraga supaya dapat merasakan kasih dan kerahiman Allah.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil menujukkan diri-Nya sebagai hamba Yahwe yang siap menderita bagi keselamatan kita. Ia mengatakan bahwa kedatangan-Nya ke bumi adalah untuk melemparkan api dan mendambakan supaya api itu selalu menyala! Api dalam Kitab Suci selalu berkaitan dengan diri Allah sendiri dan tindakan-Nya bagi manusia. Kita mengingat kisah Musa melihat belukar menyala tanpa dimakan api (Kel 3:2). Tuhan selalu meneguhkan orang-orang Ibrani dalam perjalanan di padang gurun dengan tiang api. Ini menandakan kehadiran Tuhan dan penyertaan-Nya tanpa henti (Kel 13:21-22). Nabi Elia memohon supaya Tuhan menurunkan api dari langit untuk menunjukkan Allah dan kuasa-Nya bagi orang-orang Israel yang sedang menyembah berhala (1Raj 18:36-39).

Api juga menjadi lambang kemuliaan Allah (Yeh1:4.13) dan kekudusan-Nya (Ul 4:24), Kehadiran-Nya sebagai pelindung (2Raj 6:17), keadilan-Nya (Ze 13:9) dan kekudusan-Nya (Yes 66:15-16). Api juga menjadi lambang Roh Kudus. Yohanes Pembaptis bersaksi bahwa Yesus akan membaptis dengan Roh Kudus dan api (Mat 3:11-12; Luk 3:16-17). Pada hari raya Pentekosta, Roh Kudus turun atas para rasul dan Bunda Maria dalam wujud lidah api (Kis 2:3). Maka baik dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, api selalu menjadi lambang pemurnian diri, dan membersihkan jiwa dan raga kita. Api menjadi simbol kekudusan, menjauhkan kita dari ketakutan duniawi, membantu kita untuk menyembah dan memuliakan Allah.

Tuhan Yesus menghendaki agar api cinta kasih-Nya tidak pernah padam dalam hidup kita. Roh-Nya mentertai kita hingga akhir zaman. Roh menyadarkan kita kepada kasih dan kerahiman Bapa. Roh Tuhan senantiasa memurnikan, menguduskan dan menguatkan kita semua. Tuhan Yesus juga mengharapkan agar kita loyal, terbuka kepada-Nya sehingga dapat merasakan damai sejahtera-Nya. Orang-orang yang tidak membuka diri-Nya kepada Tuhan Yesus dan Injil-Nya akan mengalami banyak pertentangan danm pemisahan mulai dari dalam rumahnya sendiri.

Pada hari ini mata kita tertuju kepada Tuhan Yesus Kristus. Dia menunjukkan wajah kerahiman Bapa kepada kita semua. Mari kita memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Mari kita membuka mata iman kita kepada-Nya supaya merasakan api cinta kasih-Nya. Roh Kudus-Nya mengajar kita tentang bagaimana mengalami kerahiman Allah. Terima kasih Tuhan Yesus.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply