Homili 1 September 2016

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XXII
1Kor 3:18-23
Mzm 24:1-2.3-4ab.5-6
Luk 5:1-11

Pengalaman saja belum cukup bro!

imagePada suatu kesempatan saya diundang oleh seorang sahabat untuk merayakan misa syukur keberhasilannya dalam dunia kerja. Ia baru saja mendapat promosi jabatan ke tingkat yang lebih tinggi di dalam perusahaan tempat dia bekerja. Ia merasa perlu bersyukur kepada Tuhan karena hal ini bukan semata-mata usahanya sendiri tetapi karena kasih karunia dan kebaikan Tuhan. Perayaan misa syukur berlangsung dengan meriah bersama keluarganya. Usai perayaan Ekaristi, beliau diberi kesempatan untuk memberikan kata sambutan. Ia mengatakan rasa syukurnya kepada Tuhan karena kasih karunia-Nya tanpa batas sudah sedang dialaminya. Promosi kenaikan jabatan di dalam perusahaan merupakan bukti bahwa Allah adalah kasih. Allah sungguh-sungguh mengasihinya apa adanya.

Ia mengakui bahwa pengalaman kerja saja belum cukup. Pengalaman kerja akan berguna apabila orang berani untuk mentaati semua peraturan dan aturan main di dalam perusahaan tersebut. Orang harus rendah hati untuk mendengar dengan baik. Ketika seorang bisa mendengar dengan baik maka ia bisa mentaati dan kalau ia bisa mentaati maka ia mampu mengasihi. Maka baginya, pengalaman saja belumlah cukup, orang harus selalu siap untuk mendengar, siap untuk menerima koreksi persaudaraan tertentu sehingga bisa berkembang dalam kariernya. Ia sendiri mengalami promosi jabatan karena mengikuti resep sederhana ini.

Pada hari ini kita mendengar kelanjutan kisah Yesus di dalam Injil Lukas. Setelah menyembuhkan banyak orang sakit, ia mendedikasikan waktu-Nya untuk mewartakan Injil dan memanggil para mitra kerja yang akan diutus-Nya sebagai rasul untuk menjala manusia. Ketika itu Ia berdiri di pinggir danau Genezaret. Nama danau disebut Genezaret untuk menunjukkan locus, secara geografis. Danau ini memiliki panjang 21km dan lebar 11km. Di pinggir danau ini terdapat kota-kota penting yang saat itu menjadi pusat perniagaan. Orang-orang yang hendak berziarah ke Yerusalem pasti melewati Galilea untuk berbelanja.

Yesus sudah mengenal Simon karena rumahnya sering menjadi markas perjumpaan dengan cikal bakal para murid-Nya di masa depan. Ia naik ke atas perahu Simon untuk mengajar banyak orang yang sudah lama menunggu pengajaran-Nya. Setelah mengajar Ia meminta Simon untuk bertolak ke tempat yang lebih dalam (duc in altum). Di tempat yang dalam itu Simon boleh menebarkan jala untuk menangkap ikan. Simon merasa bahwa perintah Yesus ini lucu. Dia lebih berpengalaman sebagai nelayan sedangkan Yesus bukan seorang nelayan. Sebab itu Simon berkata: “Guru telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa. Tetapi atas perintah-Mu, aku akan menebarkan jala juga”. (Luk 5:5). Simon mengandalkan pengalamannya sebagai nelayan tulen namun ia  juga memiliki kemampuan untuk mendengar, merefleksikan dan mengikuti perintah Yesus. Ini adalah jalan terbaik bagi kita semua. Pengalaman akan berbuah kalau kita terbuka kepada Tuhan untuk mengikuti kehendak-Nya.

Buah dari ketaatan Simon untuk ber-duc in altum dan menebarkan jala untuk menangkap ikan sungguh luar biasa. Mereka menangkap sejumlah besar ikan sehingga jala mereka sudah mulai koyak. Simon pulih imannya kepada Yesus dan mengakui bahwa pengalaman saja belum cukup. Tuhan lebih berkuasa. Ia tersungkur di depan Yesus dan mengakui keberdosaannya. Teman-teman Simon yakni anak-anak Zebedeus juga mengalami hal yang sama dengan Simon. Yesus meneguhkan Simon dengan berkata: “Jangan takut. Mulai sekarang engkau akan menjala manusia.” (Luk 5:10). Mereka meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Yesus.

Kisah Injil ini kaya dengan pesan-pesan rohani yang luar biasa. Tuhan selalu memiliki rencana bagi semua orang. Semua perintah-Nya mengubah seluruh hidup orang tersebut. Kita melihat kehidupan Simon dan teman-temannya. Mereka berubah, bertobat sehingga berani meninggalkan segalanya dan mengikuti Yesus. Para murid pertama membantu kita menyadari bahwa berpegang teguh pada pengalaman saja belumlah cukup. Kita harus menggunakan telinga untuk banyak mendengar dan siap menerima koreksi persaudaraan. Dengan demikian wawasan kita akan semakin luas dan kita boleh berhasil dengan sebaik-baiknya, sebagaimana dialami Simon dan teman-temannya. Terlepas dari Tuhan Yesus, kita tidak bisa berbuat apa-apa.

Tuhan Yesus menjadikan Simon dan teman-temannya penjala manusia. Artinya mereka akan beralih profesi dari hidup lama sebagai nelayan menjadi mitra-Nya untuk mensejahterakan manusia secara lahir dan bathin. Para murid Yesus nantinya tidak hanya membaptis orang untuk menjadi pengikut Kristus saja, tetapi mereka juga mensejahterakan manusia secara lahiria. Orang bisa memuji dan memuliakan Tuhan kalau perut mereka kenyang.Maka manusia yang masuk dalam jala Tuhan itu sungguh-sungguh sejahtera lahir dan bathin.

Untuk menjadi penjala manusia maka butuh sebuah kebijaksanaan khusus. St. Paulus dalam bacaan pertama mengingatkan jemaat di Korintus supaya mereka jangan menipu diri sendiri. Ada di antara mereka yang berpikir bahwa mereka berhikmat di mata dunia. Paulus mengatakan bahawa mereka sebaiknya menjadi bodoh supaya bisa behikmat di hadirat Allah. Hikmat dunia adalah kebodohan bagi Allah. Paulus menyadarkan jemaat di Korintus supaya mereka yakin bahwa hidup mereka sepenuhnya ada di tangan Tuhan. Sebab itu mereka harus sadar diri sebagai milik Kristus yang juga merupakan milik Allah.

Mengikuti Kristus dari dekat berarti menjadi milik Allah sendiri. Sebab itu perlu komitmen untuk setia dalam mengikuti-Nya. Orang yang setia akan berani menyerahkan dirinya secara total, kemauan, pikiran, keinginan dan ambisi pribadinya dalam tangan Tuhan. Mari kita belajar dari Simon dan teman-temannya. Mereka terpilih menjadi penjala manusia karena taat kepada Kristus. Kita pun boleh membuka diri untuk taat kepada Kristus, sehingga bisa menghasilkan buah dalam usaha dan karya kita.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply