Homili 3 September 2016

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XXII
St. Gregorius Agung
1Kor 4:6b-15
Mzm 145:17-18.19-20.21
Luk 6:1-5

Belajar menjadi hamba dari para hamba Tuhan

imagePada hari ini Gereja Katolik mengenang St.Gregorius Agung. Ia lahir di Roma pada tahun 540. Ia mula-mula merupakan seorang politikus kawakan, kemudian meninggalkan dunia politik praktis itu dan masuk ke dalam biara hingga menjadi kepala biara (abas) di biara St. Andreas, Roma. Ia terpilih menjadi Paus dan memulai tugas kepausannya pada tanggal 3 September 590. Paus Gregorius adalah Paus pertama yang mengumumkan dirinya sebagai kepala Gereja Katolik di seluruh dunia. Ia adalah Paus yang ke-64 dan menjabat selama 14 tahun. Ia wafat pada tanggal 14 Maret 604. Paus Gregorius terkenal sebagai Paus yang rendah hati. Ia menyebut dirinya sebagai servus servorum Dei (hamba dari para hamba Allah). Gelar kepausan ini masih dipertahankan hingga saat ini. Salah satu perkataannya yang dikenal dalam Gereja adalah “Demi cinta akan Tuhan, tak henti-hentinya aku mengajarkan tentang Dia”.

Paus Gregorius Agung menunjukkan dirinya sebagai servus servorum Dei. Dia adalah seorang gembala yang baik memang seharusnya demikian. Ia rendah hati dalam menggembalakan umat yang Tuhan percayakan kepadanya. Gembala baik itu rendah hati dan mengasihi domba-dombanya. Kita boleh mengarahkan pandangan kita kepada Yesus Kristus. Ia adalah gembala yang baik, mengenal domba-domba bahkan menyerahkan nyawa bagi domba gembalaan-Nya. Kita juga boleh mengarahkan pandangan kita kepada St. Paulus. Ia adalah gembala yang rendah hati, mengabdikan dirinya sampai tuntas untuk Tuhan Yesus dan Injil-Nya.

Pada hari ini kita mendengar kelanjutan kisah kerasulan St. Paulus di Korintus. Pada saat itu Gereja di Korintus sedang berhadapan dengan dua figur pewarta Injil yakni Paulus dan Apolos. Paulus sebelumnya berkata: “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan” (1Kor 3:6). Ini berarti Paulus dan Apolos bekerja sama dalam mewartakan Injil. Sebab itu ia mengajak jemaat di Korintus untuk belajar padanya dan Apolos yakni kerendahan hati mereka sebagai abdi Tuhan Yesus Kristus. Jemaat di Korintus tidak boleh begitu saja menypmbongkan diri dengan mengutamakan Paulus atau Apolos.

Selanjutnya Paulus mengatakan bahwa Allah sudah memberi tempat yang paling rendah kepada para rasul sama seperti orang yang sudah dijatuhi hukuman mati. Para rasul itu sudah menjadi tontonan bagi dunia, bagi malaikat-malaikat dan bagi manusia. Paulus dan Apolos rela menjadi bodoh oleh karena Kristus supaya jemaat menjadi arif dalam Kristus. Paulus dan Apolos menjadi lemah, tetapi jemaat kuat. Paulus dan Apolos hina, tetapi jemaat mulia. Ini adalah teladan kerendahan hati yang ditunjukkan Paulus dan Apolos kepada jemaat di Korintus.

Paulus membeberkan berbagai penderitaan yang mereka alami sebagai rasul. Mereka mengalami rasa lapar dan haus, telanjang, dipukuli, dan hidupnya mengembara. Supaya bertahan hidup maka mereka giat melakukan pekerjaan manual yang berat. Mereka dimaki-maki dan membalasnya dengan memberkati. Mereka selalu sabar ketika mengalami penganiayaan. Mereka mengalami fitnahan tetapi mereka tetap ramah kepada semua orang. Pengalaman ini membuat mereka benar-benar serupa dengan sampah dunia. Paulus membagi pengalamannya sebagai rasul sekaligus bapa bagi jemaat dalam Kristus Yesus.

Di sini kita mendapat gambaran yang luar biasa tentang pengalaman kerasulan dari hidup st. Paulus sebagai rasul dan gembala umat. Kita boleh mengatakan bahwa ternyata tidaklah mudah menjalani tugas kerasulan di tengah jemaat dengan banyak tuntutan, banyak pikiran dan lain sebagainya. Pengalaman Paulus ini banyak dirasakan oleh para gembala di gereja lokalnya masing masing.

Saya mengingat seorang pastor rekan di sebuah paroki. Ia mengatakan suka dan dukanya dalam melayani umatnya. Ia menyiapkan misa dan homili yang bagus, namun selalu ada yang mengatakan homilinya tidak bagus. Romonya kurang kreatif maka perlu banyak membaca atau belajar dari Romo yang lain. Banyak tugas pelayanannya selalu dinilai “masih jauh dari kesempurnaan”. Inilah wajah gembala baik kita di paroki masing-masing. Setiap umat memiliki idealisme tertentu tentang para gembalanya. Mereka memilih sesuai selera, sedangkan Romonya tidak bisa melakukan pelayanannya sesuai seleranya sendiri. Ia harus menggunakan selera Yesus.

Pengalaman kerasulan Paulus sebenarnya sudah dimulai oleh Yesus sendiri. Penginjil Lukas mengisahkan bahwa pada hari Sabat, Yesus bersama para murid-Nya berjalan di sebuah ladang gandum. Pada saat itu mereka lapar sehingga mengambil bulir-bulir gandum, menggisarnya dengan tangan dan memakannya. Ini menjadi kesempatan bagi orang-rang Farisi untuk mengecam Yesus dan para murid-Nya karena dinilai tidak mematuhi Torah. Yesus mengambil contoh pengalaman Daud dan pasukannya yang memakan roti di dalam Bait Allah. Roti-roti sajian itu hanya untuk para imam. Yesus mengakhiri perkataan-Nya dengan berkata: “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat” (Luk 6:5).

Tuhan Yesus menunjukkan diri-Nya sebagai Tuhan atas segala sesuatu. Namun demikian Ia merendahkan diri-Nya sampai wafat di kayu salib untuk kita semua. Marilah kita berusaha dan belajar untuk menjadi abdi yang setia. Servus servulum Dei!

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply