Homili 9 September 2016

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXIII
1Kor. 9:16-19,22b-27
Mzm. 84:3,4,5-6,12
Luk. 6:39-42

Aku harus mewartakan Injil!

imageSeorang tokoh awam di Gereja selalu mengajak teman-temannya untuk membaca Kitab Suci, merenungkan dan melakukan Sabda dengan mewartakannya kepada semua orang. Ia mengatakan bahwa mewartakan Sabda itu tidak harus dengan suara tetapi dengan hidup kristiani yang baik. Ketika mendengar ajakan tokoh awam ini saya merasa senang karena ada kesadaran di dalam Gereja bahwa semangat evangelisasi itu bukan monopoli kami para pastor, biarawan dan biarawati tetapi tugas dari kita semua sebagai orang yang dibaptis. Beato Paulus VI dan St. Yohanes Paulus II dalam banyak kesempatan menghimbau Gereja Katolik untuk tetap bersemangat dalam melakukan Evangelisasi Baru. St. Yohanes Paulus II mengatakan bahwa pusat dari seluruh Evangelisasi Baru adalah pada pribadi Yesus Kristus. Jiwa dari Evangelisasi Baru adalah Roh Kudus dan Belas kasih Allah adalah kabar gembira dalam evangelisasi. Ini berarti evangelisasi adalah sebuah keharusan dalam hidup Kristiani.

Pada hari ini kita berjumpa dengan sosok St. Paulus, seorang rasul besar, misionaris agung dalam Gereja perdana. Ia tidak kenal lelah mewartakan Injil, mengalami banyak penderitaan dan kemalangan. Ia dihina, dicaci maki, masuk dan keluar penjara demi Injil Yesus Kristus. Ia percaya akan perkataan Yesus: “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela, dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacitalah dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga.” (Mat 5:11-12). Paulus merasa dikuatkan oleh Tuhan dalam segala kelemahannya. Ia berkata: “Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus, sebab jika aku lemah maka aku kuat.” (2Kor 12:10).

Pada hari ini kita mendengar sharing pengalaman Paulus yang indah tentang semangat evangelisasinya di antara bangsa-bangsa. Ia mengatakan kepada jemaat di Korintus bahwa memberitakan Injil bukanlah suatu alasan baginya untuk memegahkan diri. Dia tidak mencari popularitas, tidak mencari pujian tetapi menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang berkomitmen dan setia kepada panggilannya untuk menjadi rasul Yesus Kristus. Ia mewartakan Injil sebagai sebuah keharusan. Ia tegas berkata: “Celakalah aku bila aku tidak memberitakan Injil”. (1Kor 9:16). Ia mengaku mewartakan Injil bukan karena kehendaknya sendiri melainkan sebuah tugas penyelenggaraan yang ditanggungkan Tuhan kepadanya.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah ia sebagai pewarta Injil memiliki upah tertentu? Ia mengakui bahwa upahnya adalah bahwa ia boleh memberitakan Injil tanpa upah. Ia malah menjadi abdi bagi semua orang supaya bisa memenangkan jiwa-jiwa mereka. Ia membawa semakin banyak orang kepada Tuhan Yesus Kristus. Ia menjadi segala-galanya bagi semua orang demi Injil dan berusaha untuk mendapat bagian di dalam Injil yang diwartakannya. Pada akhirnya Paulus mengatakan: “Aku melatih dan menguasai tubuhku sepenuhnya, jangan sampai aku sendiri ditolak sesudah memberitakan Injil kepada orang lain.” (1Kor 9:27).

Pengalaman Paulus ini mengantar kita semua kepada sebuah pemahaman bahwa mewartakan Injil itu adalah tugas utama seorang rasul. Rasul itu harus tekun penuh komitmen, setia dan jujur dalam menjalani kerasulannya. Dengan sakramen pembaptisan kita semua mendapat panggilan hidup kristiani sebagai rasul di dalam Gereja. Namun demikian banyak kali kita juga tidak menunjukkan diri kita sebagai rasul. Hidup kita jauh dari harapan untuk menjadi rasul. Kepentingan dunia lebih menguasai hidup kita dari pada kepentingan surgawi. Hati kita lebih tertuju kepada harta yang fana dan lupa mencari harta surgawi.

Satu hal yang menghalangi relasi kita dengan Tuhan dan sesama adalah kebiasaan hidup yang tidak sejalan dengan rencana Tuhan. Kebiasaan yang dimaksud adalah menghakimi sesama, selalu melihat kelemahan sesama, bersikap streotip, suka mencurigai dan lain sebagainya. Semua ini bisa terjadi karena kita kurang mengenal diri masing-masing. Kita selalu berpikir jauh lebih hebat dar orang lain, padahal kita lupa bahwa masih ada orang lain yang lebih baik dari diri kita.

Tuhan Yesus berkata: “Mengapa engkau melihat selumbar dalam mata saudaramu, sedangkan balok dalam matamu sendiri tidak kauketahui?” (Luk 6: 41) Kita sering menjadi orang munafik yang lebih suka melihat selumbar dalam mata saudara-saudari kita sedangkan di mata kita ada balok besar yang sulit digeser dalam penglihatan rohani kita. Sikap suka mengakimi, selalu berpikiran negatif bukanlah sikap heroik kristiani. Sikap kristiani adalah rendah hati, berkomitmen untuk melayani sebagai abdi Tuhan.

Kita mewartakan Injil dengan sukacita seperti Paulus. Di bulan Kitab Suci Nasional ini, baiklah kita mebiasakan diri dalam hal-hal praktis ini: membiasakan diri mambaca, merenungkan dan mewartakan Sabda dalam hidup yang nyata. Mewartakan sabda adalah upah yang besar bagi kita sebagaimana dialami St. Paulus. Mewartakan Sabda dengan tidak melihat kelemahan-kelemahan di dalam diri sesama. Mewartakan Sabda dengan menghadirkan Yesus sumber sukacita sejati.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply