Jangan pernah berhenti di tengah jalan!
Saya pernah ditegur oleh seorang pengendara lain di belakang saya karena ia berpikir bahwa saya sengaja berhenti di tengah jalan sehingga menghalanginya, padahal di depan saya ada seekor anak babi yang tidur dengan tenang. Setelah dia memperhatikan sendiri anak babi yang sedang lelap itu, ia tersenyum dan mengatakan “sorry mas” lalu masuk kembali ke mobilnya. Sementara orang yang berdiri di pinggir jalan membantu mengusir anak babi itu. Kejadian sederhana ini selalu saya ingat setiap kali mengendarai mobil melewati jalan yang sama.
Permenungan saya menjadi lebih serius lagi setiap kali mengingat kejadian ini. Saya berpikir bahwa hidup pribadi saya juga serupa dengan pengalaman mengendarai mobil melewati jalan raya atau lorong. Andaikan dalam menjalani hidup ini, saya berhenti di tengah jalan maka tentu akan mengganggu orang-orang yang berada di belakang saya. Apalagi berhenti tanpa ada sebuah alasan yang jelas. Andaikan saya melakukan suatu pekerjaan dan berhenti di tengah jalan tanpa ada alasan yang jelas maka saya tentu menimbulkan kesulitan bagi banyak orang. Tentu saja kita boleh berhenti mejalani sebuah kegiatan karena alasan tertentu namun sedapat mungkin berusaha untuk tidak menggangu kehidupan pribadi orang lain.
Mari kita masuk ke dalam diri kita masing-masing. Berapa kali kita menimbulkan kesulitan bagi orang lain karena rasa ingat diri yang begitu menguasai hidup kita. Kita mencari kepuasan diri sendiri dan mengabaikan kebersamaan. Kita sering merasa diri buta dan tuli terhadap kepentingan bersama. Salah satu contoh sederhana adalah barang milik umum biasanya kurang diperhatikan dari pada barang milik pribadi. Mobil milik kantor bisa nabrak sana dan nabrak sini. Kalau mobil pribadi diperhatikan dengan baik, takut menabrak dan merusak tubuh mobil.
Sikap-sikap ini sering mendukung kita untuk berhenti di tengah jalan dan menjadi sandungan bagi sesama lain. Saya teringat pada sharing pengalaman Paulo Coelho. Ia mengatakan: “Setelah lama menyetir mobil, baru saya sadari bahwa peringatan untuk tidak berhenti di tengah jalan juga berlaku dalam menjalani kehidupan”. Saya memberi jempol kepada Coelho karena beliau menyadarkan saya untuk maju terus dalam hidup ini, apa pun kesulitannya. Kalau pun ada kesulitan, Tuhan yang saya imani jauh lebih agung dan luhur. Dia akan membuka pintu dan jendela lain supaya saya dapat keluar.
Apakah anda juga sering berhenti di tengah jalan? Anda merasa macet dan sulit untuk maju? St. Petrus menghibur kita semua dengan perkataan ini: “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada Tuhan, sebab Ia yang memelihara kamu.” (1Ptr 5:7). Apakah anda masih kuatir juga?
Salam damai,
PJSDB