Mawas diri dalam berkomunikasi
Pada hari Minggu Paskah ketujuh ini kita merayakan Hari Minggu Komunikasi sedunia. Paus Fransiskus menulis sebuah pesan yang sangat menarik untuk direnungkan oleh seluruh Gereja. Tema yang diberikan oleh Bapa Suci adalah: “Mengkomunikasikan harapan dan kepercayaan pada masa kini”. Saya tertarik dengan bagian awal pesan Bapa Suci ini karena beliau memberikan data-data real situasi dunia masa kini.
Ada beberapa poin yang Bapa Suci Fransiskus kemukakan, diantaranya: Pertama, Beliau mengapresiasi kemajuan teknologi komunikasi. Hasil kemajuan teknologi komunikasi ini turut membantu setiap pribadi untuk menghasilkan berbagai kabar, berita dan informasi tercepat. Kedua, pikiran manusia itu memiliki cara kerja yang mirip dengan mesin batu kilangan, dengan mana semua informasi “digiling” hingga masuk dan dicerna dalam pikiran masing-masing. Ketiga, Bahan informasi yang diterima itu digiling oleh setiap orang sesuai kemampuannya lalu diserbarkan kepada orang lain. Keempat, buah pikiran yang diolah itu nantinya disebarkan sebagai berita atau kabar yang baik, kabar buruk dan kabar bohong (hoax). Kelima, hal yang penting dalam proses pengolahan dan penyebaran berita atau kabar adalah hati nurani. Kalau orang itu memiliki nurani yang jernih maka apa yang ditulis dan dibroadcast juga baik. Kalau nuraninya kotor maka ujaran kebencian yang menguasai postingannya.
Pesan Bapa Suci ini memang sangat aktual dalam kehidupan kita setiap hari. Kita menemukan banyak orang yang muda saja menulis berbagai ujaran kebencian di media sosial sehingga membunuh karakter banyak orang. Mari kita membuka facebook dan twitter masing-masing dan lihatlah semua statusnya. Apakah semua status yang kita posting itu menunjukkan bahwa kita masih memiliki hati nurani atau atau tidak. Apakah semua postingan kita memiliki nilai kristiani? Apakah kita berani menghindari postingan-postingan status yang dapat menimbulkan kebencian terhadap sesama? Apakah kita berani menghapus postingan, foto-foto yang dapat membodohi dan menyesatkan sesama? Ini adalah wujud nyata pesan paus bagi kita saat ini.
Salah satu dampak yang sedang kita rasakan bersama adalah situasi hidup kita sebagai golongan minoritas. Ujaran kebencian yang selalu kita dengan berupa kekerasan verbal seperti kafir, babi dan lain sebaganya. Anehnya banyak di antara kita yang tersinggung dengan kata kafir, misalnya. Kenapa anda harus tersinggung? Bukankah anda juga memiliki iman dan kepercayaan kepada Tuhan? Kalau anda memiliki iman, mengapa anda harus tersinggung ketika orang mengkafirkanmu? Ketika mendengar Kitab Suci dibakar, mengapa anda tersinggung? Orang yang mengimani Yesus yang dewasa akan tersenyum bahkan tertawa dan mengatakan: “Anda boleh membakar Kitab Suciku, gereja dan patung-patung di gereja, tetapi anda tidak akan menghancurkan iman dan kepercayaan saya kepada Tuhan Yesus Kristus.” Saya teringat pada St. Polikarpus yang berani berkata: “Delapan puluh enam tahun aku telah melayani Dia, dan Dia tidak pernah menyakiti hatiku satu kali pun; bagaimana mungkin aku dapat menghujat Raja dan Juruselamatku?”
St. Petrus memberi nasihat yang cemerlang hari ini: “Tetapi jika ia menderita sebagai orang Kristen, maka janganlah ia malu, melainkan hendaklah ia memuliakan Allah dalam nama Kristus itu”. (1Ptr 4:16). Apakah anda malu sebagai orang Kristen? Kalau anda tidak merasa malu, mengapa anda tidak berani mempertanggungjawabkan imanmu? Mari kita juga merenungkan perkataan Tuhan ini: Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” (Mat 5:11-12).
PJSDB