Homili 28 Agustus 2017

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XX1

1Tes. 1:2b-5,8b-10

Mzm. 149:1-2,3-4,5-6a,9b

Mat. 23:13-22

 

Berbaliklah kepada Allah!

 

Ada seorang pemuda pernah membagi pengalaman pertobatannya. Ia mengaku pernah jatuh ke dalam sebuah dosa yang diulanginya terus menerus selama bertahun-tahun. Baginya dosa yang dilakukannya itu sudah mendarah daging dan ia sulit untuk melepaskannya. Ia pun sudah lupa bahwa perbuatannya itu adalah sebuah dosa. Pada suatu hari Minggu dalam masa prapaskah, ia menyempatkan diri untuk mengikuti perayaaan Ekaristi, yang juga sudah lama absen dalam hidupnya. Romo itu memberikan sebuah homili yang sederhana tentang pertobatan. Ia mengulangi kalimat ini: “Berbaliklah kepada Tuhan Allah kita”. Kalimat yang diulangi beberapa kali dengan penekanan yang istimewa ini sangat menguatkannya. Baginya ini adalah awal dari pertobatannya. Dasar dari pertobatan adalah kasih karunia Tuhan. St. Agustinus yang kita peringati pestanya hari ini berkata: “Tuhan mengasihi kita masing-masing seolah-olah hanya ada salah satu dari kita”. Perkataan ini memang sangat tepat sebab ketika kita jatuh ke dalam dosa, Tuhan selalu mencari, menemukan dan menyelamatkan. Sama seperti satu domba yang tersesat yang dicari oleh sang gembala dengan rela meninggalkan yang ke Sembilan puluh Sembilan lainnya.

Pada hari ini kita mendengar bacaan-bacaan Kitab Suci yang sangat meneguhkan. St. Paulus dalam bacaan pertama menunjukkan dirinya sebagai seorang rasul Yesus yang sejati. Ia mengatakan kepada jemaat di Tesalonika bahwa ia bersama rekan-rekannya selalu mengenang dan mendoakan jemaat yang dilayaninya. Mereka selalu mengingat amal iman jemaat, kasih dan ketekunan harapan di hadapan Tuhan. Ketiga kebajikan teologal atau kebajikan ilahi yakni iman, harapan dan kasih ini selalu menjadi pedoman hidup bagi jemaat. Paulus dan kawan-kawannya mensyukuri pelayanan mereka kepada Tuhan dengan menyadarkan jemaat bahwa Tuhan Allah terlibat dalam memilih mereka menjadi anak-anak-Nya. Ia juga meneguhkan mereka bahwa khabar sukacita yang diwartakannya bukanlah kata-kata yang biasa melainkan kekuatan dalam Roh Kudus dan kepastian yang kokoh.

Paulus menaikan syukurnya kepada Tuhan karena warta keselamatan melalui Injil Tuhan Yesus Kristus itu begitu nyata dan menguatkan. Umat di Tesalonika begitu antusias menerima warta Injil dan iman mereka yang teguh kepada Tuhan Allah. Iman mereka menjadi nyata dalam perbuatan-perbuatan baik yang mereka kerjakan bagi sesama yang lain, terutama semangat pertobatan yang mereka lakukan dalam Tuhan dan disaksikan oleh banyak orang. Paulus berkata: “Sebab mereka sendiri berceritera tentang kami, bagaimana kami kamu sambut dan bagaimana kamu berbalik dari berhala-berhala kepada Allah untuk melayani Allah yang hidup dan yang benar, dan untuk menantikan kedatangan Anak-Nya dari sorga, yang telah dibangkitkan-Nya dari antara orang mati, yaitu Yesus, yang menyelamatkan kita dari murka yang akan datang.” (1Tes 1:9-10).

Pengalaman akan Allah selalu ditandai dengan pertobatan yang terus menerus. Pertobatan memang bersifat pribadi namun memiliki daya transformatif yang luar biasa. Artinya pertobatan pribadi dapat mengubah hidup sesama yang lain, membantu mereka untuk ikut mengalami Allah dalam hidup pribadi mereka. Paulus mengisahkan pengalaman Gereja di Tesalonika untuk mengatakan bahwa pertobatan jemaat itu memiliki daya transformatif yang luar biasa bagi orang lain. Jemaat di Tesalonika menunjukkan semangat pertobatan dengan kerelaan untuk menyambut sesama, kemampuan untuk berbalik kepada Tuhan Allah dari berhala-berhala, semangat pelayanan kepada Allah. Pertobatan yang radikal ini merupakan bagian dari persiapan untuk menyambut kedatangan Tuhan.

Apa yang terjadi kalau kita tidak berbalik kepada Tuhan? Bacaan Injil Matius mengajak kita untuk merenung lebih dalam kata-kata kecaman Yesus kepada para ahli Taurat yang bersikap munafik. Yesus mengecam para ahli Taurat dan orang-orang Farisi karena mereka bersikap munafik. Sikap mereka yang munafik ini menutup pintu-pintu kerajaan sorga di depan orang lain. Sikap hidup mereka menghalangi banyak orang untuk bersatu dengan Tuhan. Mereka merampas hak hidup orang-orang lemah seperti para janda, munafik karena doa-doa mereka yang panjang. Mereka hanya dapat mempertobatkan orang tetapi selanjutnya mereka menjerumuskannya ke dalam neraka.

Yesus mengecam para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang berlaku sebagai pemimpin yang buta. Mereka selalu mengingatkan orang lain untuk bersumpah hanya demi emas Bait Suci bukan demi Bait Suci sebagai rumah Tuhan. Bersumpah demi persembahan bukan bersumpah demi mezbahnya. Padahal bersumpah demi Bait Suci berarti bersumpah demi Dia yang bersemayam di dalamnya. Bersumpah demi Mezbah berarti bersumpah demi segala sesuatu yang ada di atasnya. Maka bersumpah demi Sorga berarti bersumpah demi takhta Allah dan demi Dia yang bertakhta atau bersemayam di atasnya.

Mari kita melihat diri kita sendiri. Banyak kali kita kesulitan dalam membangun semangat pertobatan. Hati kita masih terikat oleh kesombongan diri dan aneka kejahatan yang ada menguasai diri kita. Kita bisa menyerupai para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang tidak bertobat tetapi menghalangi orang-orang lain untuk bersatu dengan Tuhan. Memang setiap tutur kata, setiap perbuatan kita memiliki daya untuk mengubah kehidupan sesama menjadi lebih baik atau sebaliknya.

Kita belajar dari St. Agustinus. Hari ini kita memperingati hari pertobatannya. Ia pernah berkata: “Adalah kesombongan yang mengubah malaikat menjadi setan; adalah kerendahan hati yang membuat manusia menjadi malaikat.” Bagaimana dengan anda dan saya? Maukah kita menjadi setan dan dikecam Yesus dengan kata “celakalah dan munafik” atau menjadi malaikat yang siang dan malam melayani Tuhan?

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply