Homili 31 Agustus 2017

Hari Kamis, Pekan Bisa ke-XXI
1Tes 3:7-13
Mzm 90: 3-4.12-13.14.17
Mat 24:42-51

Terhibur sebagai hamba Tuhan!

Saya pernah mengunjungi sebuah keluarga muda. Ini menjadi kesempatan bagi keluarga muda ini untuk membagi pengalaman suka dan duka mereka. Pengalaman yang menyenangkan adalah kehadiran bayi pertama di dalam keluarga ini. Anak adalah hadiah dari Tuhan sebab itu sebagai orang tua mereka harus menerimanya apa adanya, menolong dan mendampinginya sehingga ia dapat bertumbuh dan berkembang sebagai manusia di hadapan Tuhan dan sesama. Mereka merasa terhibur oleh kehadirannya. Setiap hari mereka memeluk dan menciumnya. Mereka melihat wajah mereka pada wajah anaknya. Pengalaman yang keras adalah ketika mereka harus belajar untuk merawat bayi yang baru lahir. Kadang-kadang sebagai suami dan istri mereka saling menegur ketika lalai memperhatikan bayi yang menangis, membuang kotoran pada waktu yang tidak tepat dan lain sebagainya. Mereka perlu belajar mengontrol diri dan memberi diri bagi kebahagiaan anak. Namun demikian, mereka tetap merasa teribur dengan kehadiran anak bayi mereka ini. Anak selalu menjadi hiburan bagi mereka. Saya merasa yakin bahwa banyak keluarga juga mengalami hal yang sama dan melihat anak sebagai hiburan di dalam keluarga. Senyuman dan tangisan anak adalah hiburan di dalam keluarga.

Pada hari ini kita mendengar St. Paulus membagi pengalaman hidupnya di Tesalonika. Ia bersyukur kepada Tuhan atas rahmat panggilannya untuk menjadi rasul Yesus Kristus. Ia mengakui bahwa dalam kesesakan dan kesukaran, bersama rekan-rekannya merasa terhibur oleh jemaat di Tesalonika dan iman mereka kepada Kristus. Segala kesesakan dan kesukaran dapatlah dilewati sebab jemaat di Tesalonika bertumbuh dalam jumlah dan kualitasnya. Iman mereka juga bertumbuh dalam Tuhan. Paulus dan rekan-rekannya bahkan merasa hidup kembali, asalkan jemaat selalu teguh berdiri di dalam Tuhan.

Apa yang dapat kita pelajari dari St. Paulus? Ia adalah seorang rasul sejati. Ia mendampingi rekan-rekannya untuk memiliki satu skala prioritas yaitu kemuliaan Tuhan dan keselamatan jiwa-jiwa. Sebab itu dalam kesukaran dan kesesakan, mereka tetap setia mencari jiwa-jiwa dan menyelamatkannya. Kehadiran jemaat dan iman mereka kepada Tuhan merupakan sukacita pelayanan mereka. Banyak kali mungkin semangat dan motivasi pelayanan kita berbeda dengan St. Paulus dan rekan-rekannya. Kita belum sepenuhnya berpikir positif tentang kehidupan sesama. Kita menghitung-hitung apa yang sudah kita berikan kepada sesama, menceritakannya kepada yang lainnya. Kita mungkin juga kurang mengapresiasi orang-orang yang menjadi sasaran pelayanan kita. St. Paulus menginspirasikan kita untuk merasa terhibur dalam pelayanan, apapun situasinya karena Tuhan selalu berserta kita.

St. Paulus tidak hanya berbicara tentang pengalaman pelayanannya ini. Ia menunjukkannya dalam hidup yang nyata dengan berdoa bagi jemaat yang mendapat pewartaannya. Ia berkata: “Siang dan malam kami berdoa sungguh-sungguh, supaya kita dapat bertemu muka dan menambahkan apa yang masih kurang pada imanmu” (1Tes 3:10). Paulus menjadi pewarta dan pemimpin yang mendoakan jemaatnya di Tesalonika terus menerus supaya Tuhan selalu menyertai mereka. Harapannya adalah supaya Tuhan menambah jumlah jemaat di Tesalonika dan bertumbuh dalam kelimpahan kasih satu sama lain. Paulus juga berharap agar Tuhan menguatkan hati jemaat di Tesalonika supaya mereka tak bercacat dan kudus di hadapan Allah dan Bapa pada saat kedatangan Yesus Kristus dan para kudusnya.

Kita belajar dari St. Paulus dalam menghayati tugas perutusan kita masing-masing. Saya sebagai gembala umat tidak hanya berjanji untuk mendoakan umat yang saya layani tetapi saya berusaha untuk mendoakan mereka yang sakit, para lansia, kaum muda dan remaja, keluarga-keluarga muda, para sahabat dan kenalan dan terakhir adalah keluargaku sendiri yakni para konfrater, orang tua, kakak dan adikku. Para orang tua dalam keluarga perlu saling mendoakan sebagai pasangan hidup, mendoakan anak-anak sebagai hiburan orang tua, saling mendukung satu sama lain. Para guru di sekolah tak henti-hentinya mendoakan para siswa yang menjadi tujuan perutusannya. Melalui semua doa yang kita panjatkan kepada Tuhan maka pendampingan dan pelayanan kita dapat berhasil guna dan berdaya guna.

Pada akhir bacaan pertama, St. Paulus mengatakan: “Semoga Ia menguatkan hatimu, supaya tidak bercacat, dan kudus di hadapan Allah dan bapa kita pada waktu kedatangan Yesus, Tuhan kita, bersama semua orang kudusnya” (1Tes 3:13). Ini adalah doa yang menginspirasikan kita untuk memahami bacaan Injil Matius dalam liturgy kita hari ini. Setelah Tuhan Yesus memberi kecaman-kecaman kepada para ahli Taurat dan orang-ortang Farisi, kini Yesus focus kepada para murid-Nya dengan nasihat supaya berjaga-jaga selalu dalam menantikan kedatangan-Nya. Iman yang bertumbuh dalam kasih kepada Tuhan merupakan iman yang selalu berjaga-jaga dan bersiap siaga karena akhir dari iman semacam ini adalah kebahagiaan kekal.

Tuhan Yesus berkata kepada para murid-Nya: “Berjaga-jagalah, sebab kalian tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang” (Mat 24:42). Tuhan Yesus memberikan contoh pengalaman manusiawi berdasarkan pengalaman umum pada masa itu. Banyak orang merasa takut karena banyak pencuri yang datang pada saat yang tidak diketahui mereka sebagai tuan rumah. Sebab itu orang tentu harus selalu berjaga-jaga supaya rumah mereka jangan dibongkar. Kalau saja kita dapat berjaga-jaga terhadap tindakan para pencuri, kita juga harus selalu berjaga-jaga menantikan kedatangan Tuhan sebab saatnya itu tidak kita ketahui. Pertanyaan umumnya adalah kapan Anak Manusia akan datang? Tuhan Yesus sendiri berkata: “Tentang hari dan saat itu tidak ada seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa sendiri” (Mat 24:36; Mrk 13:32).

Lalu apa yang harus kita lakukan untuk berjaga-jaga sehingga memperoleh penghiburan abadi? Tuhan Yesus memberi kepada kita sebuah semangat untuk memiliki hati sebagai hamba yang siap melayani. Hamba yang setia itu selalu berpasrah kepada Tuhan apa pun situasinya. Ia tidak mencari kesenangan dan kepuasan sendiri. Ia tidak berlaku jahat terhadap sesama yang lain. Hamba yang baik dan setia akan merasa terhibur karena prinsipnya adalah: “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan” (Luk 17:10). Hiburan yang sangat bermakna adalah ketika kita melayani dengan tulus dan semua orang yang kita layani berubah menjadi lebih baik lagi, dekat dengan Tuhan dan selalu terarah kepada-Nya. Doa kita pada hari ini: “Penuhilah kami dengan kasih setia-Mu, ya Tuhan, supaya kami bersukacita”.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply