Homili 5 Oktober 2017

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XXVI
Neh 8:1-5.6-7.8-13
Mzm 19: 8.9.10.11
Luk 10: 1-12

Menjadi utusan yang bijaksana

Kita memulai perayaan syukur kita hari ini, dengan mendaraskan sebuah Antifon Pembuka, bunyinya: “Panennya banyak tetapi pekerja-pekerja sedikit. Sebab itu mohonkanlah kepada Tuan yang empunya tuaian, agar Ia mengirim pekerja-pekerja ke panenannya” (Luk 10:2). Perkataan ini diucapkan oleh Tuhan Yesus sebagai kata sambutan ketika menunjuk dan mengutus tujuh puluh murid-Nya. Mereka semua diutus untuk pergi berpasangan, bukan pergi sendiri-sendiri mendahului Tuhan Yesus ke setiap kota dan tempat yang akan dikunjungi-Nya. Para utusan biasanya mendahului yang mengutus untuk mempersiapkan tempat, manusianya dan memberi kesaksian tentang Dia yang mengutus. Kata-kata yang diwartakan oleh utusan memiliki pengaruh yang lebih sedikit dibandingkan dengan keteladanan dalam hidup. Orang melihat adanya koherensi antara kata-kata yang diucapkan dan hidup nyata yang ditunjukkan dalam kebersamaan.

Para utusan Tuhan ini diberi wejangan khusus untuk melakukan pekerjaan Tuhan bukan untuk melakukan pekerjaan mereka sendiri. Para utusan memiliki rasa tanggung jawab yang besar untuk bekerja di kebun anggur Tuhan. Lalu apa yang harus dilakukan? Tuhan Yesus mengakui bahwa tuaian memang banyak, pekerjanya sedikit. Pikiran kita tertuju kepada Gereja sebagai umat Allah. Gereja membutuhkan para pelayan untuk terlibat aktif dalam mewartakan Kerajaan Allah di mana pun dia berada. Sekali lagi mewartakan Sabda dengan kesaksian hidup bukan dengan kata-kata saja. Para pelayan Tuhan atau para pekerja memang sangat terbatas. Sebab itu Tuhan Yesus memberikan satu solusi yaitu berdoa untuk memohon panggilan. Caranya adalah memohon kapada Tuan yang empunya pekerja supaya Ia berkenan mengirim pekerja-pekerjanya itu. Pemahaman kita adalah para pekerja itu milik Tuhan. Dengan kata lain, para pelayan Gereja masa kini sepenuhnya adalah milik Tuhan. Untuk itu Gereja perlu berdoa senantiasa kepada Tuhan sang pemilik para pekerja supaya Ia murah hati supaya memberi para pekerjanya bagi Gereja. Para pekerja atau pelayan juga seharusnya tahu diri bahwa mereka adalah milik Tuhan yang bekerja bagi Tuhan.

Para utusan yang berpasangan ini mendapat wejangan untuk sadar diri bahwa mereka adalah utusan seperti anak domba yang diutus ke tengah serigala. Tuhan Yesus tahu bahwa tempat-tempat yang akan dikunjungi-Nya, yakni di daerah-daerah orang Samaria bukanlah daerah yang nyaman. Daerah-daerah itu tentu dikuasai juga oleh berbagai kejahatan. Mereka harus menyiapkan mental untuk melawan segala kejahatan dan kasih dan kebaikan Tuhan sendiri. Para utusan tidak harus mengandalkan diri mereka tetapi Tuhanlah yang harus menjadi andalan mereka. Mereka harus waspada terhadap serigala yang berbulu domba.

Para utusan harus menyerupai Tuhan yang mengutus dalam gaya hidupnya. Sebab itu Ia mengingatkan mereka supaya jangan membawa pundi-pundi, atau bekal, atau kasut. Para utusan memang harus mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Mereka juga memiliki sikap lepas bebas terhadap segala macam harta dunia seperti uang, makanan dan pakaian. Seringkali hal-hal ini menghalangi para utusan untuk melakukan tugas dan kewajibannya. Kita tidak bisa menutup mata kita, ketika menemukan para utusan yang bermata duitan, tamak dalam hal makanan dan minuman, senang mengoleksi aneka pakaian. Utusan seperti ini tidak memiliki sikap lepas bebas dan mengalami kesulitan dalam menjalani tugas dan kewajibannya sebagai utusan. Selain itu mereka dilarang untuk memberi salam kepada siapa pun dalam perjalanan. Ketika seorang memberi salam, selalu ada kemungkinan baginya untuk membanggakan diri sehingga lupa pada tugas perutusan yang sebenarnya. Dia mampu menomorsatukan dirinya dan lupa bahwa Tuhan harus selalu nomor satu.

Bagaimana sikap para utusan yang diterima di rumah-rumah penduduk? Ketika mereka memasuki sebuah rumah, mereka tidak harus tinggal diam. Mereka harus berani mengatakan damai sejahtera bagi rumah dan penghuninya. Kita mengingat kembali perkataan Tuhan Yesus ini: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu.” (Yoh 14:27). Pemahaman kita diperkaya bahwa damai sejahtera itu milik Tuhan. Tuhan menitipnya kepada kita dan tugas kita membawanya kepada sesama yang lain. Ketika kita mampu membawa damai kepada sesama yang lain maka kita benar-benar menjadi anak Allah (Mat 5:9). Maka kalau ada orang yang mendengar salam dan menerimanya maka salam itu akan tinggal bersamanya, namun kalau mereka tidak menerima salam maka salam itu akan kembali kepada para utusan yang membawanya.

Para utusan adalah abdi Tuhan. Mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan Tuhan bukan pekerjaannya sendiri. Untuk itu mereka tinggal di dalam rumah, makan dan minum di dalam rumah, sebab seorang pekerja memang patut mendapat upahnya. Sebagai utusan Tuhan, mereka menyembuhkan orang-orang sakit dan menyerukan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Sekiranya para utusan Tuhan tidak diterima dengan baik maka mereka mengebaskan debu dari kaki mereka. Namun satu hal yang harus mereka ucapkan adalah Kerajaan Allah sudah dekat. Kerajaan Allah adalah Tuhan Yesus sendiri.

Para utusan Tuhan haruslah bijaksana dalam melakukan tugas perutusan mereka. Mereka sadar diri bahwa yang mereka lakukan adalah pekerjaan Tuhan, yakni menyembuhkan orang-orang sakit dan menghadirkan Kerajaan Allah. Artinya, Tuhan Yesus harus selalu menjadi prioritas pelayanan mereka. Menjadikan Yesus sebagai prioritas pelayanan berarti mereka harus hidup sederhana supaya tetap mengandalkan Tuhan, mereka membawa damai sejahtera kepada sesama yang lain, setia dalam melakukan tugas perutusan sampai tuntas. Mereka tidak boleh melekat pada orang atau tempat tertentu tetapi berani mengebaskan debu yang ada di kaki mereka. Anda dan saya juga dapat menjadi utusan yang bijaksana.

Para utusan Tuhan menemukan kebijaksanaan sejati di dalam Kitab Suci. Mereka harus berani ber-lectio divina yakni membaca, merenungkan, mendoakan dan melakukan Sabda dalam hidupnya yang nyata. Kita mendengar kisah umat Israel dalam bacaan pertama. Mereka pernah melakukan lectio divina setelah kembali dari Babilonia dan bersekutu di dalam Bait Allah yang baru dibangun. Mereka mendengar Sabda Tuhan dengan penuh perhatian. Mereka semakin percaya bahwa Tuhan Allah kita itu senantiasa menguatkan dan membebaskan. Kehadiran Tuhan di tengah-tengah mereka sangatlah meneguhkan dan menguatkan mereka untuk menjadi utusan Tuhan yang bijaksana.

Apakah anda siap diutus sebagai utusan yang bijaksana?

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply